Setelah Azam semakin mendekati Isabel, Isabel segera memarahi Azam, selayaknya seorang Ibu memarahi anaknya.
"Mas Azam, jangan lari-lari dong. Kan, Mas Azam masih sakit. Nanti kalau Mas Azam sakit lagi, aku yang repot. Aku yang pusing, dan yang pasti, aku yang akan dipersalahkan oleh keluarga kita," omel Isabel. Azam hanya menjadi pendengar yang baik saja. Dia tidak ingin membantah ucapan Isabel. Memang benar apa yang telah dikatakan oleh Isabel, dia memang salah.
"Hehe ... iya, maafin, Mas Azam ya, Isabel," ucap Azam dengan nada suara yang sangat lembut.
"Hemm ..." Isabel malas untuk meladeni Azam. "Sudah lah, sekarang kita pergi kekantin saja, aku sudah sangat lapar. Apa Mas Azam tidak lapar?" lanjut Isabel.
"Mas sangat lapar," ungkap Azam.
Lalu mereka berdua pun pergi kekantin untuk mencari makan.
Setelah sampai dikantin mereka segera memesan makanan. Dan tak butuh waktu lama, makanan yang mereka pesan pun datang. Kini keduanya sedang menikmati makanan mereka, tidak ada yang berbicara diantara keduanya saat makan.
Sekarang mereka telah selesai makan, perutnya telah terisi penuh. Tidak ada keluhan untuk minta diisi lagi.
"Alhamdulillah," ucap Azam setelah selesai makan.
Isabel mengambil selembar tisu yang tersedia dimeja mereka, lalu mengelapkan secara lembut kemulutnya.
"Isabel, lalu bagaimana dengan keadaan Icha sekarang? Apa bayinya sudah lahir?" tanya Azam yang sedari tadi sudah penasaran.
"Sudah, bayinya kembar. Dan ya, Mas tahu ga? Ternyata Pak Amir, orang yang tidak sengaja aku tabrak itu, ternyata Suaminya Icha, loh ... Mas Azam pasti terkejut. Hahaha ... sama aku juga," terang Isabel.
"Benar kah? Jadi ternyata mereka Suami Istri. Bukan kah, terlihat sekali, Icha lebih cocok menjadi anaknya, dibanding Istrinya. Hahaha ... ada-ada saja," ungkap Azam.
"He'em, mereka ternyata Suami Istri. Aku aja masih syok dengernya. Tapi ada cerita dibalik itu semua. Nanti deh aku ceritain sama Mas Azam," tutur Isabel.
"Sekarang saja lah, Mas sudah penasaran," kekeh Azam.
"Ih ... nanti lah, sekarang aku kenyang banget, males untuk berbicara apapun," jelas Isabel.
"Kamu nih, Mas udah penasaran tahu," ucap Azam.
"Bodo amat," ucap Isabel sambil menjulurkan lidahnya.
"Awas ya kamu," kesal Azam.
"Apa hah? Nanti saja lah, aku ceritain sambil jalan. Aku juga belum tahu ceritanya, gimana Pak Amir bisa berada ditengah jalan seperti tadi," tutur Isabel.
"Iya, terserah kamu," ucap Azam.
Sesuai ucapannya, Isabel menceritakan segalanya pada Azam. Azam dibuat tertawa sekaligus prihatin dengan nasib Icha. Azam tertawa mendengar kekonyolan kemarahan Icha pada Pak Amir. Dia juga prihatin pada Icha, harus menikah karena hutang, seperti difilm-film saja. Tapi dia juga senang, akhirnya Icha bisa mencintai suaminya, Azam juga berharap suatu saat dia akan dicintai oleh Isabel.
Azam terus saja tertawa, tanpa memperdulikan Isabel.
"Sudah, Mas. Jangan tertawa terus. Aku kasihan loh sama Icha. Ini Mas malah ketawa," kesal Isabel.
"Bukan begitu, Isabel. Mas hanya merasa lucu mendengar Icha marah pada Pak Amir, dan Pak Amir nurut saja saat disuruh pergi oleh Icha, haha ..." ucap Azam.
"Itu tandanya, Pak Amir sangat menyangi dan mencintai, Icha. Pak Amir rela melakukan apapun demi Icha," terang Isabel.
"Mas Azam juga sangat mencintai dan menyangi Isabel. Mas rela dan ikhlas melakukan apapun demi Isabel. Mas rela bertaruh nyawa dan berkorban jiwa hanya untuk Isabel," aku Azam.
Hening seketika, suasananya menjadi canggung. Namun akhirnya emosi Isabel terpancing juga mendengar pengakuan Azam. Isabel bukannya terharu atau merasa tersentuh dengan ucapan Azam, dia justru merasa marah mendengarnya.
"Diam, Mas! Cukup! Jangan berucap apapun lagi!" marah Isabel.
Azam hanya terdiam. Bukannya tidak berani mengakui cintanya, dia hanya tidak ingin merusak suasana. Baru saja Isabel bisa berbicara baik padanya, terus harus kembali membuatnya marah hanya karena pengakuan cintanya.
Mereka pun kembali melanjutkan tujuannya untuk menjenguk Icha.
Saat sampai didalam ruangan Icha, Azam dan Isabel terlihat biasa saja, seolah tidak terjadi hal apapun pada mereka berdua. Isabel tersenyum dengan begitu manisnya melihat kedua bayi Icha berada dalam gendongan ibunya.
"Hai, Icha," sapa Azam
"Mmm ..." Icha masih bingung dengan nama Azam. Dia mengingat-ngingat kembali nama Azam.
"Mas Azam, namanya Azam," ucap Isabel membantu mengingatkan Icha.
"Oh iya, Mas Azam, hehe," ucap Icha.
"Icha, di mana Pak Amir. Apa dia belum kembali dari mushola?" tanya Isabel yang sejak masuk tidak melihat Pak Amir diruangan tersebut.
"Tadi Mas Amir pergi kekamar mandi," tutur Icha.
"Oh ... mmm ... boleh aku menggendong salah satu bayimu?" tanya Isabel.
"Tentu saja, ini, gendong lah!" terang Icha. Isabel pun mengambil salah satu bayi Icha untuk ia gendong.
Isabel tampak begitu menyukai bayi Icha.
Cukup lama mereka berada diruangan Icha. Lalu beberapa saat kemudian, Pak Amir keluar dari kamar mandi. Jujur saja Azam masih merasa kesal saat mengingat kejadian tadi dimobil. Saat Pak Amir tidak sengaja mencium pipinya.
"Eh, ada kalian. Bu Isabel dan ..." ucap Pak Amir yang sama seperti Icha, lupa dengan nama Azam.
"Mas Azam," ucap Isabel.
"Oh iya, Pak Azam," ucap Pak Amir.
Azam hanya diam saja, dia sangat malas untuk berbicara. Sekarang Azam jadi ingin cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini.
"Pak Amir, tadi kenapa ya? Pak Amir bisa pas-pasan lewat? Dan tidak sengaja tertabrak oleh mobil yang ternyata didalam mobil tersebut, ada Istri Pak Amir," tanya Isabel yang penasaran.
"Sebenarnya, saat dijalan tadi saya tidak sengaja melihat Icha berada didalam mobil yang Bu Isabel, kemudikan," ucap Pak Amir.
"Terus?" tanya Isabel kembali.
"Lalu, saya ingin menghentikan mobil itu, tapi rasanya sangat tidak mungkin. Mobilnya terlalu cepat. Akhirnya saya putuskan untuk melakukan hal yang sedikit berbahaya. Saya mendorong gerobak sayur yang nganggur di sana, supaya tertabrak oleh mobil, Ibu, dan Bu Isabel bisa menghentikan mobilnya," terang Pak Amir.
"Ya ampun, Pak Amir ... itu sangat berbahaya loh, Pak. Pak Amir hampir mencelakakan nyawa Saya, Mas Azam, Icha, dan nyawa Pak Amir sendiri. Pak Amir sadar ga? Pak Amir hampir saja membuat Saya dan Mas Azam diamuk warga," kesal Isabel. Isabel tidak habis fikir dengan jalan keluar yang Pak Amir buat. Rasanya Isabel ingin marah pada Pak Amir.
"Saya tahu, Bu. Saya menyadari perbuatan saya sangat salah. Tolong maafkan saya," ucap Pak Amir sambil menempelkan kedua tangannya, memohon ampun pada Isabel.
"Entah lah, Pak. Saya sangat kecewa dengan perbuatan, Bapak," terang Isabel.
Pak Amir merasa sangat bersalah, dia menyadari keteledorannya. Sedangkan Icha, dia merasa tidak enak hati pada Isabel dan Azam. Icha tidak menyangka suaminya bisa senekat itu.