Hari ini tepat di mana Livia berulang tahun, dan itu artinya hari ini juga merupakan hari pernikahannya yang tengah laksanakan dengan begitu mewah. Sosok gadis itu telah memakai gaun putih panjang dan sangat cantik, cocok sekali di tubuhnya yang mungil.
Namun, kondisi perasaan Livia sedang tak baik-baik saja. Dia terlihat seperti melamun ketika dirinya masih di rias oleh dua orang perias. Ya
"Nona, sangat cantik sekali. Coba lihatlah ke cermin," Ucap salah satu perias itu membuat kesadaran Livia kembali lagi.
"Apa sudah selesai?" Livia tak menanggapi soal dirinya yang sangat cantik setelah di make-up oleh kedua perias itu. Namun, malah balik bertanya tentang pekerjaan mereka.
"Sudah, Nona."
"Kalau begitu, kalian boleh keluar dari sini," kata Livia membuat dua wanita itu saling memandang.
"Baik, Nona. Kami permisi dulu ...."
Setelah itu, Livia pun di tinggalkan sendirian oleh mereka. Livia bukan malah kesepian namun, lega karena hal tersebut. Gadis itu bangkit dan segera menuju pintu kamarnya. Dia mengunci rapat pintu tersebut sebelum memulai aksinya.
Livia bergegas menukar baju pengantinya dengan pakaian biasa yang akan menyamarkan aksinya. Apa yang akan Livia lakukan? Yah, dia akan melakukan pelarian dari acara pernikahannya. Livia telah mempunyai rencana besar yang saat ini telah dia jalankan.
Seorang gadis yang memakai jacket putih sebatas paha dan celana jeans putih itu sedang mengintip dari balik pintu kamarnya. Merasa aman, gadis itu mulai bergerak keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah tangga. Sebelum mulai melangkah dia mengintip takut-takut ke arah lantai bawah, setelah itu barulah dia turun dari lantai secepat yang dia bisa.
Gadis itu tak lain adalah Livia. Dia sedang berlari ke arah sebuah pot besar yang berjarak dua meter darinya dan bersembunyi di sana. Livia melihat para tamu undangan hampir memenuhi ruangan rumahnya karena saking banyaknya kerabat keluarga yang di datang di acara ini. Gadis itu meneguk salivanya kasar. Untunglah dia seperti terlihat transparan dengan pakaian serba putihnya.
Kini Livia menatap serius pada pintu rumah yang terbuka dan memperlihatkan sosok kedua orang taunya yang sedang berada di sana menyambut para tamu undangan yang masih terus berdatangan.
Kini gadis itu memutar tubuhnya, "Sangat tidak mungkin aku bisa kabur lewat pintu utama. Sepertinya aku harus lewat pintu belakang rumah!" Ucap Livia memperkirakan berapa persen kemungkinan dia bisa melarikan diri dari jalan utama yang tentu paling cepat. Kalau dia lewat pintu belakang, dia harus berputar dan akan memakan waktu yang lebih lama.
"Kamu pasti bisa, Livia. Ayo, semangat!" ucapnya menyemangati dirinya sendiri. Livia mengambil ancang-ancang untuk berlari karena dia melihat seorang pelayan rumahnya sedang sibuk lalu lalang keluar dari dapur.
"Pak, Mama akan melihat Livia di kamar ya. Papa tunggu di sini okey?" Livia mendebar suara ibunya yang sedang berbicara dengan ayahnya tepat di samping pot persembunyiannya.
Livia menggigit bibir bawahnya karena takut menghilangnya dirinya akan di ketahui secepatnya. Apalagi kini ibunya telah menaiki tangga rumah dan menuju ke kamarnya.
Livia fokus pada tujuannya, dia melihat pelayan wanita itu kembali keluar dari dapur dan di situlah kesempatan Livia untuk berlari sekuat tenaga ke pintu dapur. Dan akhirnya dia bisa menghirup udara segar dari taman belakang ruamhnya saat ountu telah di bukanya.
"Tak ada waktu istrahat, Livia ... Hos ... Hos ... Ayo kita lanjutkan pelarian ini!" Tekadnya.
Livia kembali berlari sekencang mungkin berputar halaman rumahnya yang cukup luas.
"Huh, akhirnya aku sampai di motor kesayanganku ...." Livia naik ke motor Scoopy pink miliknya. Dia meraba kantong jacketnya untuk mengambil kunci namun, matanya langsung membulat karena ga mendapati kuncinya, "Astaga apa terjatuh saat aku lari tadi, ya?" Livia turun kembali dan mengecek ke sekelilingnya.
Dan akhirnya dia melihat kunci motornya berada di dekat mobil putih yang terlihat baru tiba. Livia segera ke sana untuk mengambil kuncinya.
"Livia ... kenapa kamu ada di sini?"
Gadis yang sedang berjongkok di samping mobil itu langsung menengadahkan kepalanya melihat sosok yang baru keluar dari mobil putih dan berbicara padanya.
"Ga- Galen?" Ucap Livia terbata-bata.
Livia tak menyangka pemilik mobil ini adalah calon suaminya sendiri. Tidak - bukan, Livia tak pernah ingin menjadi calon istri dari Galen. Tak pernah sekalipun.
Dengan sekali uluran tangan, Livia mengambil kuncinya dan berlari kembali menuju motornya. Mesin motornya telah berbunyi bersamaan dengan suara beberapa orang yang meneriaki namanya saat ini. Mereka tak lain adalah ayah dan ibunya serta, kedua orang tua dari Galen.
Mata gadis itu membola kala melihat beberapa pengawal ayahnya kini sedang berlari menghampirinya, mungkin untuk menangkapnya dan di paksa melangsungkan pernikahan. Tak ingin itu terjadi, Livia langsung melajukan motornya dan pergi dari halaman rumahnya.
"Ya Tuhan ... Kenapa pengawal pribadi Papa masih mengikutiku? Aku harus bergegas!" Livia melajukan lebih cepat lagi motornya agar dia tak tertangkap.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan Livia mengangkatnya tanpa menghentikan motornya.
"Iya, Di? Oh, sebentar lagi aku sampai di lokasi. Kamu siap-siap ya, dah sampai ketemu!"
Sesingkat itu pembicara mereka. Kurang lebih 10 menit akhirnya dia sampai di sebuah butik. Dia melihat Diana dan Kian yang telah menunggu di luar pintu butik.
Diana terlihat buru-buru menghampiri Livia, "Buruan kamu masuk ke dalam. Aku akan mengalihkan perhatian mereka," ucap Diana dan naik ke atas motor Livia.
"Di ... Kamu hati-hati ya," Kata Livia.
"Tenang aja, aku yakin pasti mereka semua tertipu denganku. Ya sudah cepat kamu masuk dan ganti baju! Aku pergi ya, bye!"
Diana melajukan motornya seperti seorang pembalap internasional, dan bergabung dengan para penggunaan kendaraan lain di jalan raya. Anak buah suruhan Bima, ayah dari Livia itu. Para pengawal itu langsung saja meneruskan pengejaran setelah melihat kembali Livia kembali nampak.
Motor yang di gunakan memanglah motor Livia namun, yang mengendarainya tentu saja bukan gadis itu. Dia tak lain Diana, sahabat baik Livia yang berperan sebagai pengalih perhatian dengan berpura-pura sebagai Livia. Diana sebelumnya telah memakai jaket dan celana putih, agar dirinya di kira Livia. Rencana itu berhasil 100%.
Sementara itu, Livia telah menukar pakaiannya menjadi seba putih namun, hanya dres sebatas lutut. Segelah siap, Kian keluar lebih duku dari butik dan mengamati situasi sekelilingnya. Setelah aman, Mereka berdua keluar dari sana dan menaiki taksi menuju temoat tujuan mereka saat itu.
"Jantungku berdebar kencang, Kian. Aku takut ...." Ucap Livia meremas tangannya yang telah berkeringat dingin.
"Tenanglah, Vi. Semua pasti berjalan sesuai yang kamu mau. Kita berdoa sama-sama ya?" Kian mencoba menenangkan Livia dengan tersenyum, "Aidan telah menantikan hari ini sejak lama, namun akhirnya kalian akan menikah sebentar lagi. Aku tak sabar kalian sah menjadi pasangan!" Ucap Kian memeluk Livia dari samping.
"Aku patut berterima kasih pada kalian semua, terutama kalian. Kamu dan Diana telah banyak membantuku," tak terasa air mata Livia mengalir di pipinya.
Menyadari sahabatnya menangis, Kian menghapus jejak air mata itu dan menarik kedua sudut bibir Livia agar menyerupai senyuman. "Tetap tersenyum, Livia. Jangan menangis di hari bahagiamu ini, oke?"
Gadis mungil itu mengangguk tanpa bicara.
-Bersambung....