-This World by Selah Sue-
Di sisi kawasan ibu kota.
Tanpa diduga, pria itu telah menyaksikan penuh acara perdana Annabeth di salah satu restoran di Jakarta. Meskipun pria misterius itu telah menutup wajahnya dengan topi hitam dan kacamata baca, tidak bisa dimungkiri jika wajah rupawannya tidak bisa seutuhnya tersamarkan sehingga beberapa wanita mengaguminya. Namun, dia mengabaikan mereka dengan pandangan yang terus terarah ke layar televisi.
Kian lama dia menyaksikan acara tersebut, beberapa urat di kedua tangannya terlihat kian menegang. Dia mengepalkan kedua jemarinya, menahan amarah meluap di hatinya. Ia mendecakkan lidah dan mengatupkan mulutnya. Dengan segera dia meninggalkan tempat itu tanpa keraguan.
Dia merasakan emosi bergejolak di dalam tubuhnya sepenuhnya. Namun, dia tidak mampu meluapkannya saat sedang berjalan keluar dari tempat itu. Pengalihannya hanya satu, yaitu pada rencana yang dibuatnya.
Saat telah berada di dalam mobil, dengan diam dia memandang lurus ke depan. Dia melihat sebuah poster iklan besar dari produk ternama yang dimodeli oleh Annabeth Heller. Wanita itu tersenyum cantik di sana. Namun, dia sama sekali tidak menyukai senyuman itu. Apalagi dia sangat membencinya setelah Mark Corbin.
"Annabeth … Heller. Kita sudah menghirup udara yang sama. Kau menyadarinya?" Senyuman sinis ia tujukan ke poster tersebut.
Kemelut kemarahan semakin dirasakannya. Mengganjal pikirannya dan lagi-lagi membuatnya harus mengalihkan semua itu. Langsung saja dia menyalakan radio tambahan yang diletakkan di atas dash mobilnya. Dia mendengarkan satu demi satu suara yang berhasil disadapnya, mencari petunjuk untuk rencana yang telah dibuatnya.
Dia meretas panggilan-panggilan itu dari sinyal yang dipancarkan oleh ribuan device yang ada di negara itu. Tanpa menunggu lama, dia menujukan sadapannya pada salah satu panggilan yang sedang aktif.
Tommy Bagaskara Cakrawangsa. Pria itu menikmati percakapan Tommy yang berbicara dengan bahasa Indonesia. Dia bisa dengan mudah mengerti percakapan Tommy seutuhnya. Namun, seutas ingatan kecil datang kepadanya.
"Kau tidak bisa dengan mudah mendengar ataupun melacak panggilan Mister Mark maupun Nona Annabeth dengan benda aneh semacam ini. Mereka yang menjadi kaki tangan setia The Order of Two Red Eyes bisa dengan mudah menghapus jejak itu. Bukankah terdengar sangat genius?"
Begitu kata seseorang yang sempat dia temui sebelumnya. Kembali ia mendecakkan lidah dengan helaan berat. Dengan segera dia meninggalkan tempat itu, melajukan mobil mengikuti arus jalanan ibu kota.
֎֎֎֎
Tiga hari kemudian.
Hari kebebasan pun akhirnya di depan mata. Hari ini Mark Corbin bisa kembali mencium udara kebebasan dengan kedua tangan yang dia rentangkan lurus ke samping.
Dia tak lagi mengenakan pakaian tahanan berwarna oranye, melainkan pakaian musim dingin yang menjadi ciri khasnya, bahkan sebelum dia dipenjara. Kesan elegan nan rapi dengan rambut yang disisir ke belakang kembali dia tunjukkan kepada siapa yang berada di sekitarnya saat ini. Padahal semua orang juga tahu jika tidak penah ada musim dingin di Indonesia. Namun, Mark malah tampak menikmati pakaian yang dikenakannya tanpa sedikit pun merasa gerah.
"Selamat Mister Mark Corbin," sahut salah seorang petugas yang tak dikenalnya.
Mark hanya menatap datar petugas itu, kemudian mengalihkan pandangannya ke depan tanpa merespons apa pun. Dia mulai melangkah dengan tenang seakan tanpa membawa beban apa pun. Beberapa polisi penjaga menemani langkahnya menuju luar lapas.
Seorang polisi senior mendekati Mark Corbin dengan mengeluarkan senyuman lepas, melangkah berat akibat tubuh gemuk padatnya. Dengan beraninya dia menyejajarkan langkahnya dengan Mark Corbin,
"Eh, Mister Mark. Kurasa aku dan yang lainnya pasti akan sangat merindukanmu di tempat ini. Tapi kau tak perlu cemaskan kami semua yang ada di sini. Kami semua pasti akan menjaga diri kami dengan sangat baik. Percayalah." ucapnya berbisik.
Mark memandang dingin pria tua nan gemuk itu dengan tatapan yang cukup menusuk. Dia mengendus penjilatan dari polisi itu. Namun, pria tua itu kembali berbicara tanpa beban sama sekali,
"Tapi aku pasti akan menantikanmu untuk bertamu kembali ke tempat ini. Untukmu, semua pintu lapas di tanah air akan dibuka dengan sangat lebar. Percayalah kepadaku! Aku akan menjamumu dengan sangat istimewa hingga bisa membuatmu datang lagi dan lagi. Bagaimana?" tawarnya dalam kekehan kecil.
Namun, Mark Corbin justru mulai menikmatinya.
"Dan kudengar orang-orang yang bersedia menjadi anak buahmu semakin banyak saja, Mister Mark. Apa kau juga sudah mengetahuinya? Hufh …! Aku selalu kagum kepadamu," lanjutnya.
"Jadi, karena anggotamu yang di luar lapas semakin banyak, apa kau bisa menyuruh orang-orangmu di sini melakukan sesuatu agar semua yang ada di sini mengikuti perintahmu saja? Ya … dengan sedikit paksaan juga akan lebih baik. Setidaknya aku tidak perlu berbisik seperti ini dengan yang lainnya setiap hari," Dia meringis kemudian.
Ucapan itu membuat Mark semakin menikmatinya. Diar melengkungkan kecil senyumannya dan merangkul bahu polisi itu dengan kuat. Melepaskannya kemudian dan menepuk kecil pundak polisi aneh itu sambil berbisik mengikuti gayanya,
"Tidak ada yang tidak bisa kulakukan. Ingatlah itu." Dia menepuk pundak polisi itu kembali sebelum melepasnya.
Polisi tua nan gemuk itu seketika menyunggingkan lebar senyumannya. Dia mengisyaratkan kepada seorang anak buah yang mengikuti langkahnya di belakang beberapa isyarat hal yang hanya mereka kira hanya mereka yang mengerti. Namun, Mark tahu benar isyarat apa yang sedang mereka gunakan dalam berkomunikasi saat ini. Dia pun tersenyum miring.
Akhirnya, tibalah mereka di pintu depan lapas. Mark Corbin menyisir rambutnya dengan dua tangan. Ia berbalik penuh menghadap para petugas yang ada di tempat itu dengan sikap arogannya. Bahkan, wajahnya juga sedikit dinaikkan untuk menunjukkan siapa yang sebenarnya berkuasa di tempat ini.
"Aku sangat menyukai tempat ini. Tapi aku akan merombaknya sedikit untuk menyesuaikannya dengan aliranku. Kau tahu apa maksudku?" tanyanya kepada seorang penjaga pintu yang berdiri tepat di sampingnya.
Sudah pasti penjaga itu tidak mengerti apa maksudnya. Dia membiarkan saja Mark Corbin berbicara asal-asalan dan segera membuka pintu lapas secara perlahan. Lalu, semua yang diam-diam menjadi anggota dari The Order of Two Red Eyes memberikan penghormatan terakhir mereka kepada Mark Corbin yang akan meninggalkan tempat itu. Begitu juga dengan pria tua yang berbicara dengannya tadi.
Sejujurnya, tidak ada alasan apa pun yang membuatnya berada di lapas itu. Bahkan, alasan mengapa dia bisa berada di tempat itu juga masih menjadi misteri bagi banyak orang. Karena apabila dilihat lagi, masuknya Mark Corbin ke penjara seperti sebuah kesengajaan.
Dia pun melangkah keluar dari tempat itu dan menemukan bahwa kegaduhan yang datang dari para reporter yang haus akan berita tentangnya. Sahutan demi sahutan tak terdengar jelas. Foto demi foto atas dirinya mereka dapatkan dengan seenaknya. Namun, Mark Corbin tetap tenang dalam posisinya, menatap semuanya secara bergantian dan membiarkan sekumpulan anak buahnya mendorong jauh mereka agar tidak menyentuhnya sama sekali.