Chereads / Dekat Tak Tergenggam / Chapter 7 - Hari Terakhir

Chapter 7 - Hari Terakhir

Kiya mengusap dahinya yang mulai berkeringat. Bukan karena lelah, namun sinar matahari kali ini seakan membakar permukaan kulit wajah dan tubuhnya yang putih.

"Capek, ya?" Ujar Raka yang berada disebelah Kiya.

"Gak!"

Tanjakan yang lumayan tinggi membuat Kiya berulang kali terperosot kebawah, sedangkan teman kelompoknya yang lain sudah berjalan terlebih dahulu. Raka dengan siaga mengulurkan tangan kanannya ke arah Kiya, namun Kiya masih berusaha keras untuk mendakinya sendiri.

"Ayo, kita udah ketinggalan jauh loh!"

"Ya udah, sana lo pergi! Tinggalin gue aja!" tegas Kiya.

Raka mengusap rambutnya ke belakang. Tangan kanannya terulur lagi, dia tidak akan melakukan apa yang Kiya perintahkan.

Hati dan pikiran Kiya seakan beradu, dia ingin menerima uluran tangan itu jika saja itu bukan tangan Raka. Kiya tidak tau kesalahan apa yang dibuat oleh Raka, hingga membuatnya sangat muak seperti ini. Kiya menatap Raka yang sedang tersenyum penuh arti kearahnya, lalu tangannya terangkat menanggapi uluran tangan Raka. Kedua bola mata mereka bertemu. Mereka masih terdiam dalam kesunyian, hingga akhirnya Raka menggenggam tangan Kiya dan menarik tangan cewek itu hingga Kiya terkejut lalu melangkahkan kakinya untuk sampai keatas.

Saat kaki Kiya sudah sedikit lagi sampai, tiba-tiba ada ranting pohon didepannya, membuat kaki Kiya tersandung. Raka yang masih menggenggam tangan Kiya langsung menangkap tubuh mungil Kiya yang hampir terjatuh ke bawah. Raka memeluk tubuh Kiya, membuat Kiya terlonjak kaget.

Kiya mendorong tubuh Raka agar menjauh. "Modus mulu lo!"

"sama-sama!" sahut Raka.

Kiya terkekeh. "Makasih!"

Raka tersenyum tipis. Kiya mengalihkan pandangannya dari mata Raka yang menatapnya dalam. "Udah yuk lanjut!" Raka menarik tangan Kiya lalu menggenggamnya dan mengajaknya berjalan. Kiya hanya melongo, tidak berusaha melepaskan genggaman diantara mereka.

***

Tepat siang ini, anggota Mapala sampai di puncak Gunung Slamet. Kiya dan teman-temannya yang lain menghembuskan nafas lega sekaligus kagum pada keindahan alam yang tertangkap pada pandangan. Kiya memang sudah terbiasa melihat pemandangan didepannya, namun kali ini seakan berbeda baginya, ada warna baru yang muncul dipendakian kali ini, rasa kesal nya pada cowok yang kini sedang berkumpul dengan anggota Mapala cowok. Tidak sadar sudut bibir Kiya terangkat, dia tersenyum pada cowok pengganggu itu.

"Gue seneng banget deh, Ki," ujar Riri sambil mengarahkan kamera depan kearahnya dan Kiya. "Akhirnya cita-cita gue kesampaian juga, ya."

"Apalagi gue, Ri, bahagia banget malah!"

Riri cekikikan. "Ya iyalah ada someone special!"

Kiya menggeleng. "Bukan!" sahutnya cepat. "Karena ada lo, lah! peak!" Kiya memiting leher Riri.

Riri menyenggol bahu Kia, dia senang jika menggoda Kiya hingga membuat pipi Kiya bersemu merah. "Jangan munafik Kiya sayang!"

Kiya mulai jengkel, malas meladeni Riri yang selalu menggodainya. Dari pada Kiya harus diam bersama Riri yang masih menggodanya, Kiya memutuskan untuk berjalan dan meninggalkan Riri yang belum berhenti usil.

"Tuh kan malu nih yeee," Riri berteriak pada Kiya yang mulai menjauh dari pandangannya, "Cinta kok gengsi, sih!"

Gara-gara perkataan Riri yang baru saja keluar dari mulutnya, membuat puluhan pasang mata memandang Kiya dengan tatapan menyelidik. Kiya tidak suka menjadi pusat perhatian orang lain. Dalam hatinya bersyukur karena Raka tidak mendengar bahkan menyadari perkataan Riri dari tadi. Sambil berjalan, Kiya mengelus dadanya dan menggelengkan kepala melihat tingkah laku sahabatnya.

Di sisi lain ada Raka dan Aji yang masih sibuk mendirikan tendanya, tanpa bantuan Alan ataupun yang lainnya. "Dikit lagi nancep nih, Rak," Aji bersemangat saat tenda sudah mendekati kata sempurna, karena dia sudah tidak sabar untuk merebahkan tubuhnya yang sangat letih karena setengah hari mendaki.

"Pegang yang bener dong Ji, jangan miring gitu!"

Raka masih serius menancapkan paku dengan batu digenggamannya, namun alih-alih pandangannya langsung berbelok ketika menyadari bahwa bidadari surga nya lewat tepat disebelahnya. Sendirian. Raka segera berdiri dan mengintruksikan Aji agar melanjutkan pekerjaan mereka yang hampir selesai.

"Ck," Aji berdecak kesal, "Kiya lagi, Kiya mulu, Kiya terus....!!" Aji menggelengkan kepalanya melihat Raka yang sudah jalan beriringan dengan Kiya.

Kiya mendengus pelan saat menyadari sosok yang tidak diundang sudah berada tepat disebelahnya, "Hobby lo gak ada yang lain, apa? Selain gangguin kehidupan dan keseharian gue yang indah sebelum ada lo?!"

Raka memberikan cengiran lebar yang tercetak diwajahnya lalu memandang Kiya yang mencebik. "Ada.....mencintai kamu!"

"Basi!" Kiya berhenti, diikuti oleh Raka yang juga ikut berhenti. "Bisa gak sih berhenti gangguin gue?" geramnya. Kiya menatap Raka lalu berdecak kesal.

"Aku gak akan berhenti gangguin kamu! Sampai mati Ki,"

Kiya menempeleng kepala Raka, tidak habis fikir Raka yang dapat berbicara sehoror itu, "Cowok kaya lo tuh....banyak!"

"Dimana?"

Kiya melanjutkan jalannya menuju pohon besar yang terlihat menyejukkan, "Di pasar!"

Raka tertawa pelan, "Emangnya aku cabe?"

"Bukan! Tapi, terong!"

Raka tertawa. tawanya terdengar lebih nyaring dari yang biasanya Kiya dengar. Kiya terbawa situasi dan akhirnya ikut tertawa bersama Raka, seakan mereka sudah saling kenal sejak lama. Kiya menjadi tidak terlalu canggung jika bersama Raka. Namun, perasaan itu dia tepis lagi jauh-jauh. Kiya menggeleng-geleng lalu menghentikan tertawanya dan duduk di bawah pohon rindang di depannya.

"Kamu lucu kalau lagi ketawa,"

Kiya memandang Raka yang masih berdiri menatapnya, kini Kiya membiarkan senyum itu keluar untuk cowok menyebalkan itu.

"Manis juga!" gumamnya pelan.

***

Hari ini kegiatan Mapala selesai. Dari tadi pagi Kiya dan anggota yang lain sudah berjalan turun dari Gunung untuk pulang. Di perjalanan, Kiya mengobrol banyak bersama Raka. Sejak sore itu mereka sudah terlihat lebih dekat, namun bukan berarti Kiya sudah membuka hatinya untuk cowok itu.

Dan saat ini, Kiya sedang berada di dalam mobil milik Ayahnya Kiya, menuju ke rumahnya, bertemu Mama, Papa, dan Kakak-kakak nya yang pasti sangat merindukannya. Kakak-kakaknya Kiya memang sedikit berlebihan jika Kiya yang pergi untuk menginap, walau hanya sehari. Sesampainya, Kiya turun dan keluar dari mobil. Riri menurunkan kaca mobilnya.

"Gue balik duluan, ya? bye!"

Riri tesenyum lalu melambaikan tangan ke arah Kiya. Kiya membalasnya dengan melambaikan tangannya hingga mobil Riri menghilang dari paenglihatannya. Dia langsung berjalan masuk ke dalam rumah. Rumahnya tampak sepi, lampu rumah pun sudah mati. Begitu masuk ke dalam rumah, Kiya melirik pada jam tangannya yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Kiya berjalan menaiki semua anak tangga untuk menuju kamarnya. Saat Kiya memegang gagang pintu kamarnya, kepalanya menengok menatap Doni yang sedang membawa segelas susu.

"Udah pulang kamu?"

Kiya berbalik menghadap Doni, Kakak pertamanya. Dia tersenyum tipis. "Iya, Kak, capek banget."

Doni sebenarnya berniat untuk membuka obrolan panjang bersama adik bungsunya, namun dia kurungkan niatnya kembali saat mendengar jawaban Kiya yang sepertinya benar-benar kelelahan. Padahal Doni rindu sekali dengan adik bungsunya itu, mengingat pekerjaan kantor yang menguras waktu dan tenaganya. Tapi hanya itu yang bisa Doni lakukan untuk menggantikan posisi Adrian, Papanya. Suatu saat nanti.

"Kak Doni?" Kiya melambaikan tangannya didepan wajah Doni. Doni seperti sedang memikirkan sesuatu namun Kiya tidak ada niatan untuk ingin tau urusan orang.

"Ehh—" Doni mengerjap. Kiya membuyarkan lamunanya tentang pekerjaan yang selama ini sangat membebaninya. "Ya udah, kamu istirahat sana! selamat tidur." Doni menarik tengkuk Kiya lalu mencium dahinya singkat.

Kiya tersenyum. Kiya merasa sangat merindukan prilaku Kakaknya yang manis itu. Doni melanjutkan berjalan dan masuk ke dalam kamarnya yang berada disebelah kamar Kiya. Kiya memegang gagang pintu kamarnya dan membukanya, lalu masuk dan menguncinya dari dalam. Kiya mendekati kasur berukuran besar, lalu merebahkan tubuhnya. Kiya menatap langit-langit kamarnya, tapi tiba-tiba sosok Raka kembali datang dalam bentuk bayangan.

"Cowok gila ngapain dateng-dateng ke otak gue sih!"

Kiya menelungkupkan tubuhnya dan matanya mulai terpejam, lalu mulai membawa ruhnya ke alam mimpi.

***

Raka sedang berada didapur, mengambil minuman di kulkas lalu ditenggaknya. Dia merasa tenggorokannya sudah mengering gara-gara Aji dan Alan yang menginap malam ini di rumahnya. Raka berjalan menuju kamarnya lagi untuk melanjutkan pembicaraan konyol bersama para sahabatnya.

"Kamu belum tidur?"

Raka segera menoleh dan mendapati Rafael sedang duduk di sofa ruang tengah, menghadap ke layar televisi yang menyala.

"Iya, Yah," jawabnya, Raka menoleh pada jam dinding besar yang menunjukan pukul sebelas malam. Dia memutuskan untuk bergabung dengan Ayahnya, Raka duduk disebelah Rafael yang masih menghadap ke layar televisi. "Ayah sendiri kenapa belum tidur?"

Rafael menghembuskan nafas. "Sedang memikirkan kakakmu yang keras kepala." Rafael mengambil remote dan mengecilkan volume TV. "Bagaimana? Kamu sudah punya calon belum?"

Raka terkekeh. "Belum, Yah, calon nya jinak – jinak merpati."

Rafael tertawa pelan lalu menepuk bahu Raka, "Sama seperti Bundamu, kapan – kapan kenalin ya ke Papa."

Raka mengangkat tangannya lalu mengacungkan jempolnya ke Rafael. Sudut bibir Raka terangkat, dia selalu tersenyum ketika Kiya dengan tiba – tiba mengganggu fikirannya. Baru beberapa jam berpisah dengan Kiya, dia sudah merindukan ocehan berisik mulut manisnya.

Suara langkah kaki terdengar, membuat Ayah dan anak itu menoleh mencari sumber suara itu. Aji berjalan sambil menghentakan kaki nya kesal, lalu duduk di sofa yang diperuntukan untuk satu orang. "Sialan banget temen lo!"

"Temen lo juga kali,"

Aji diam – diam mencibir. Tangan nya mengambil toples makanan di atas meja di depan nya. "Makanan yang tadi gue beli di habisin sama temen lo tuh! Baru gue tinggal sebentar. Emang—"

Rafael berdehem lumayan keras. Membuat Aji menjadi tersenyum kikuk karena baru menyadari ada si pemilik rumah. "Eh ada om, gimana kabarnya om?" Aji mengambil punggung tangan Rafael lalu menciumnya. Raka menahan tawa nya saat melihat Aji dan Rafael di hadapannya.

"Baik,"

Aji menganggukkan kepala. "Chelsea kemarin menang, ya, om?"

Raka menatap Aji yang sedang fokus menonton televisi. Dia yakin setelah ini Ayahnya dan Aji pasti akan mencelanya karena hanya dia yang mendukung Barcelona sebagai tim Sepak Bola yang paling baik dari yang lain.

"Iya, Ji, kamu juga suka, ya?" Rafael mengambil segelas kopi di hadapannya lalu di minum. "Sering – sering main ke sini, ya!"

Aji melirik Raka yang sedang menatap nya dalam. Dalam hati nya dia tertawa jahat karena biasanya Raka lah yang selalu mengejeknya setiap kali Chelsea tanding. "Chelsea lebih baik dari tim Sepak Bola yang lain, ya, om?"

Raka mengusap wajah nya dengan kedua telapak tangan nya. "Yah, Raka ke atas, ya?"

Rafael menggangguk dalam diam. "Aji, sini aja! Temenin, om!"

Mata Aji melotot ke arah Raka seakan berbicara, "Awas lo!" sedangkan yang di pelototi malah tersenyum mengejek lalu segera berdiri dan berjalan pergi meninggalkannya dengan Rafael.

Raka membuka knop pintu kamar nya. Menggelengkan kepala pelan sambil berdecak, baru sebentar kamarnya ditinggal, tapi sudah seperti ada badai yang datang. Sedangkan Alan sedang asyik menonton televisi sambil duduk menyandar pada kepala tempat tidurnya. "Gue mau ngomong sama lo, nih!"

"Apaan?" tanya Alan tanpa menoleh dari layar televisi.

Raka berjalan mendekat lalu membaringkan tubuhnya di kasur. "Gak jadi," Raka sebenarnya ingin menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan Kiya, tapi matanya seakan tidak bisa diajak kompromi, dia mengantuk.

Alan memandang Raka heran. "Pasti Kiya, 'kan?

Raka segera mengangkat tubuhnya dan duduk di sebelah cowok itu. "Iya, gue mau ajak dia jalan."

Alan mengangkat sebelah alisnya. "Jalan?" tanyanya, Alan mengambil handphone di nakas sebelah tempat tidur lalu memainkannya. "Lo bego, ya?"

"Kok, bego?"

"Kiya tuh cewek cantik, lo bawa motor atau mobil, kek. Masa jalan,"

Raka menjitak kepala Alan."Lo yang bego!Tolol.Idiot.Maksud gue itu pergi ke suatu tempat.Jalan – jalan."

Alan mengangguk paham."Bilang dong dari tadi!"

Raka menghembuskan nafas panjang lalu mulai mencari ttempat yang nyaman untuk tidur."Jangan ganggu! Gue mau tidur."

"He'em,"

Sebelum Raka terbawa ke alam mimpi, dia membayangkan wajah Kiya yang selalu membuatnya tersenyum. Raka berharap malam ini Kiya datang menemani mimpinya.

*