Raka membanting pintu rumahnya dengan kesal, mengingat Alan dan Aji yang sudah membohonginya. Mereka berdua mengatakan akan ke acara anak Mapala dan pasti akan ada Kiya disana. Tapi ini apa? Di sepanjang acara, batang hidung Kiya tidak juga muncul, membuatnya naik darah. Tetapi malam ini Raka berencana untuk mengajak jalan Kiya, tadi juga dia sudah mengirimkan pesan singkat ke Kiya namun belum ada balasan hingga detik ini. Raka melirik pada arloji yang terpasang ditangannya, menunjukan pukul 17.40 WIB. Mungkin Raka akan langsung ke rumah Kiya jam tujuh nanti, untuk meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua Kiya.
"Raka, abang kamu ingin bicara!"
Raka menoleh, melihat Ayahnya yang mengulurkan tangannya memberikan gagang telpon. Dia tidak ingin melampiaskan kekesalannya pada keluarganya, lalu Raka meraih gagang ponsel itu dan mendekatkan ke telinganya dan Ayahnya langsung berjalan pergi meninggalkan Raka sendiri.
"Halo,"
"Gimana kabar lo? Kuliahnya lancar kan? Jangan bikin Ayah tambah setres lo!"
Raka menghela napas. "Ada juga lo yang selalu bikin Ayah banyak pikiran!"
Terdengar suara tertawa diujung telpon. "Akhir bulan ini gue akan kesana!" ujarnya. "Ada sesuatu yang belum gue selesaikan!" lanjutnya.
Raka mengambil bangku disebelah meja telpon lalu duduk disana. "Terserah lo aja deh, bang. Lo lagi gak ada masalah disana kan?" tanyanya.
"Enggak, kok. Ya udah gue mau lanjut kerja dulu ya."
"Oke, bye!"
"Bye,"
Raka meletakkan gagang telpon itu ke tempat semula, kemudian berjalan ke arah tangga menuju kamarnya. Setelah sampai di anak tangga teratas, langkahnya mendadak cepat dan masuk kedalam kamarnya. Kamar berwarna putih dengan banyak figura besar terpajang di dinding. Raka berjalan dan duduk di sofa, berhadapan ke layar televisi.
Dirumah yang lumayan besar, terdengar suara dua orang lelaki dewasa yang sedang beradu argumentasi, sedangkan satu orang anak muda yang berusia 20 tahun terduduk disofa menghadap ke layar televisi, namun telinganya menangkap baik-baik pertikaian diantara Ayah dan Kakaknya.
Lelaki tua berumur sekitar 40 menahan tangan anak lelakinya yang berjalan membawa koper besar. "Kamu jalani saja dulu! Semuanya akan baik-baik saja." Ujarnya.
"Ayah kenapa sih gak bisa ngerti Tara, Yah, aku anak Ayah kan?" Tara berhenti berjalan, tubuhnya berbalik menghadap Ayahnya.
"Iya nak, kamu juga harus mengerti posisi Ayah! Ayah tidak mungkin melempar tanggung jawab kepada adikmu Raka!"
Tara menggeleng. "Semenjak Bunda gak ada, semuanya emang berubah!" ujarnya. Tangannya terangkat, lalu mengusap wajahnya sambil menghembuskan napas panjang. "Tara akan pikirkan lagi, Ayah. Tapi sekarang aku butuh sendiri!"
Rafael menghela napas lalu melepaskan cekalannya pada anak bungsunya, membiarkan Tara berbalik dan berjalan pergi meninggalkan rumah yang selama ini mereka tempati.
Sekelibat masa lalu hadir saat Raka mengingat perkataan Kakak semata wayangnya yang akan berkunjung ke Indonesia. Dia tidak ingin kedatangan Tara menciptakan pertikaian lagi dengan Ayahnya, sama seperti saat Tara memutuskan untuk pergi dan pindah ke apartementnya, kemudian pindah lagi ke negara asing, menuruti kemauan Papa. Yaitu, Sydney.
Raka mengubah posisi duduknya, membaringkan tubuhnya di sofa. Dia memejamkan matanya sambil melipat kedua tangan diatas dadanya. Raka mencoba mengenyahkan masa lalu keretakan keluarganya, membiarkan dirinya terlelap dengan posisi senyaman mungkin di sofa.
***
"Bangun, sayang!" Amelia membangunkan anaknya yang masih bergulet dengan selimutnya, sudah lima belas menit Amelia mengguncang tubuh Kiya namun tidak juga kunjung bangun. "Bangun, Ki, ada temen kamu!"
Kiya menguap lebar. "Siapa sih? Aku ngantuk!"
"Eh—siapa ya? Namanya Ra—raja. Eng..."
Kiya melotot kaget, lalu segera terduduk dan menatap Mamanya. "Raka?"
Amelia mengangguk. "Iya, iya. Raka. Hehehe..."
Kiya lansung beranjak bangun dari tempat tidurnya. Dia menguncir rambutnya asal, kemudian berlari pelan ke arah pintu dan menarik knop pintu sampai terbuka. Kakinya melangkah keluar kamar.
"Kamu gak ganti baju dulu, Ki? Mau pergi kok pakai baju tidur." Suara Amelia berteriak dari dalam kamar Kiya.
Kiya memelankan langkahnya saat melihat Raka sedang duduk disofa ruang tamu, dan mengobrol dengan Doni, Kakaknya. "Kak, aku perlu ngomong dulu sama Raka." Ujarnya sambil menatap Raka tajam.
"Oke, oke." Doni beranjak dari duduknya dan berjalan meninggalkan Kiya bersama Raka diruang tamu.
Kiya duduk disofa khusus satu orang. "Lo ngapain kesini?"
"Habisnya kamu gak bales pesan aku."
"Oh, jadi lo yang sms gue?"
Sambil tersenyum, Raka menganggukkan kepalanya pelan.
"Gue sibuk!"
"Sibuk tidur?"
"Ccckk—"
"Gue tunggu lima belas menit dari sekarang, atau besok lo akan mendengarkan berita heboh dikampus bahwa kita resmi berpacaran!" Raka memotong perkataan Kiya dengan cepat.
Kiya terlonjak kaget. "Lo gila?"
"Tiga puluh detik berlalu..."
"RAKA!"
Tanpa berpikir lama, Kiya langsung berlari ke arah kamarnya dengan menghentakan kakinya kesal. Kenapa semua cowok diciptakan hanya untuk memerintah dan tidak mau tau dengan arti sebuah penolakan.
Kiya sekarang sudah berdiri dihadapan Raka dengan nafas yang terengah-engah. Untung saja tadi sore dia sudah mandi, jadi tadi hanya perlu cuci muka dan mengganti pakaiannya saja.
"Telat satu menit! Kamu dihukum,"
Amelia datang membawa satu gelas teh hangat untuk tamunya, lalu menyimpannya dimeja. "Ayo, diminum."
Sebenarnya Raka tidak haus sama sekali, namun karena dia belajar tata cara bertamu yang sopan maka dia mengambil gelas itu dan meminumnya hingga habis. "Terima kasih Mam—Eh maksudnya Tante." ujarnya sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Saya pinjam anak gadisnya ya, Tant?"
"Iya, tapi dikembalikan dengan utuh tanpa lecet sedikitpun!" sahut Amelia sambil tertawa pelan.
Kiya cemberut saat mendengar jawaban Amelia. Dalam hatinya menggerutu kesal kepada Raka yang mencari perhatian anggota keluarganya. "Mama... emangnya aku barang, apa?" rengeknya manja.
Amelia mengusap rambut anak bungsunya. "Udah sana! nanti kemaleman," Kiya mendengus kesal, lalu menarik punggung tangan kanan Amelia dan menciumnya. Kiya melangkahkan kakinya keluar rumah terlebih dahulu dengan kesal.
Raka mengikuti apa yang Kiya lakukan, mencium punggung tangan Amelia. "Ake pamit ya, Tante." ujarnya. Dia berbalik dan hendak berjalan menyusul Kiya.
"Assalamualaikum," tegur Amelia mengingatkan.
Raka menoleh saat Amelia dengan blak-blakan menegurnya. Dia tersenyum tipis. "Wa'alaikumsallam." jawabnya canggung. Raka kembali berjalan kearah pintu yang terbuka lebar, saat sudah berada diluar dia langsung menarik knop pintu dan menutupnya.
"Ada hukuman loh untuk kamu." Raka menggoda Kiya lagi.
"Masa bodo!"
Kiya berjalan kearah pintu mobil, hingga Raka menekan tombol untuk membuka kunci mobil. Belum sempat Raka berucap, Kiya sudah masuk kedalam mobil sedan hitam miliknya.Kalau saja waktu itu Kiya tidak mempunyai niat melihat ke Raka yang sedang di jadikan bahan rebutan cewek, dia tidak akan diganggu oleh Raka sampai detik ini.
Selama perjalanan tidak ada yang membuka suara. Raka masih fokus menatap jalan didepannya, sedangkan Kiya menatap keluar jendela, melihat pemandangan dari dalam kaca mobil.
Raka melirik Kiya yang masih menatap kearah luar. "Kiya, diem aja nih?" ujarnya pelan.
"Terus maksud lo gue harus ketawa-ketawa atau nari-nari India didalam mobil, gitu?" jawab Kiya dengan ketus.
Raka cengengesan. "Bukan begitu juga kali. kamu lucu banget sih, jadi mau peluk!" sesekali bola matanya melirik kearah Kiya yang sedang berkutat pada ponselnya.
Raka mengarahkan mobilnya melewati gerbang tinggi dan memberhentikannya dihalaman rumah itu, dia keluar dan mengitari mobilnya lalu segera membukakan pintu mobil untuk Kiya. Tetapi Kiya sama sekali tidak berteriak histeris atau tersipu malu dengan semua perlakuan manis Raka kepadanya. Raka memang manis, namun itu semakin membuat Kiya tidak berani membuka hatinya untuk Raka atau siapapun yangmemiliki tingkat famous yang tinggi. Kiya sangat menghindari itu. Dipikiran Kiya juga tidak terlintas akanmendapatkan pacar dengan satu Universitas dengannya.
Kiya melihat sebuah rumah sederhana yang bertuliskan "Panti Harapan" di atas pintu masuknya. "Kita mau ngapain kesini?"
"Dinner! Ya...walaupun bukan dinner romantis seperti yang kamuharapkan."
Kiya terkekeh lalu menyikut lengan Raka. "Lebay lo! Gue juga gak suka dinner-dinner romantis gitu apalagi kalau yang ngajak elo! Ogah banget."
"Oh,ya? Wow." Sahut Raka. tangannya terangkat, kemudian memencet tombol disebelah pintu, dua hingga tiga kali.
TING...NONGG...