Bagai seleb yang berjalan di karpet merah, kelima perempuan itu melangkahkan kakinya dengan anggun sembari menggeret koper masing-masing. Matahari masih berada di timur dengan 45 derajatnya.
Klotak-klotak suara roda koper, tak juga bisa menyamarkan bunyi berisik mulut yang tak henti bergerak. Mereka bahkan sampai hafal dengan pola basi kalimatnya. Diawali dengan, "Hei, itu mereka! Tahu tidak? Katanya mereka itu... bla.. bla.. bla..". Bagaimana bisa keempatnya tak hafal jika kalimat itu terus di putar ulang layaknya kaset rusak selama perjalanan mereka?
Walaupun begitu, keempatnya sama sekali tidak berniat menunduk. Dagu itu selalu 90 derajat, tak pernah turun sedikitpun walau satu angka.
"Mereka tak tahu yang sebenarnya terjadi, jadi kuharap kalian tidak memasukkan kata-kata itu kedalam hati." ujar salah satu dari mereka setelah sempat menekan tombol lift. Keempat lainnya mengangguk, bahkan ada yang diam tak menanggapi.
Lalu tak lama kemudian pintu lift terbuka, dan masuklah mereka berlima.
Canggung merayapi kelimanya setelah lift mulai bergerak naik. Kelimanya sibuk dengan aktivitas masing-masing, kebanyakan adalah menatap keindahan alam dari belakang kaca lift yang tembus pandang.
Nyatanya, pepohonan rindang yang ditanam di sisi kanan-kiri jalan tak pernah sekalipun membuatmu merasa bosan memandang. Gedung-gedung apartemen dan perkantoran, billboard-billboard yang menarik minat untuk menghabiskan uang, bis-bis yang berlalu-lalang dengan amat tertib, serta jangan lupakan air mancur yang dikelilingi burung-burung.
Semua orang berjalan kaki, sesekali menaiki bis untuk jarak tempuh yang cukup jauh. Tak ada motor juga tak ada mobil. Sebab di sini, dua kendaraan itu adalah tabu.
Baik itu rakyat jalanan atau bahkan presiden, semuanya berada dalam satu tumpangan dengan sopir dan tarif biaya yang sama. Sepeda hanya satu-dua, sebab harganya yang teramat mahal.
Ah, lupakan tentang pemandangan indah, karena mereka akan selalu melihatnya mulai sekarang. Dan siapa gerangan yang membuatnya begitu? Siapa yang memindahkan mereka ke kamar yang jauh diatas sana? Kepala sekolah jawabannya. Alasan? Adakah alasannya? Ada, dan itu sama sekali tak masuk akal.
Kepala sekolah menyatakan bahwa keempatnya lah yang meminta dipindahkan dengan alasan view yang indah, dan menambah-nambahi bahwa keempatnya menyogok kepala sekolah. Padahal keempatnya sama sekali tak melakukan hal tersebut.
Alasan yang sebenarnya adalah Clarissa yang merupakan anak semata wayang kepala sekolah. Perempuan itu entah ada masalah apa dalam hidupnya, membenci keempat jenius dunia. Ia merengek pada papanya, mengadu bahwa ZEMA seringkali menganggunya.
Dan akhirnya mereka dipindahkan.
Ting! Suara khas lift yang menandakan bahwa telah sampai tujuan, membuyarkan lamunan kelimanya. Tak menunda waktu lagi, keempat dari mereka itu keluar.
"Terimakasih karena Ibu telah repot-repot mengantar kami, dan lagi, Ibu tak perlu mengkhawatirkan keadaan kami. Kami baik-baik saja." ungkap remaja berambut ungu kuncir kuda sembari tersenyum manis.
"Benarkah begitu? Haha, sebenarnya aku tak menasehati kalian. Aku hanya berbasa-basi." Perempuan yang ternyata adalah Ibu guru itu terkekeh kecil. Sedangkan si Remaja hanya tersenyum manis menanggapi.
"Zen, aku harap kau dan ketiga kawan barumu itu lekas menjalin keakraban. Ah, tapi sepertinya mereka agak sulit diajak bersosialisasi, tapi aku percaya padamu, Zen. Yah, yasudahlah, aku pamit dulu. Semoga berhasil!" Zen lagi dan lagi hanya mengangguk sembari tersenyum menanggapi. Hingga kemudian pintu lift tertutup dan melesat turun.
"Hei kau yang berdiri di depan lift dan berambut ungu!! Sudah selesai basa-basinya? Lekas lah! Pintu ini tak akan terbuka sendiri dengan ajaib jika kau tak memasukkan kunci nya!!"
***
"kau mengenal perempuan berambut putih itu? Apa yang kau katakan padanya?" remaja berambut merah dengan potongan pendek sebahu itu bertanya sembari membongkar isi koper miliknya. Menata baju-baju nya hingga memenuhi ¾ dari total luas lemari.
"Lilyana? Ya, aku mengenalnya. Dia adik dari ibuku, guru baru yang akan mulai mengajar biologi mulai esok hari." Jawab Zen. Perempuan berambut merah itu menanggapi dengan bulatan 'o' kecil di mulutnya, sambil mengangguk-angguk paham.
Tak lama kemudian canggung kembali merayapi di ruangan delapan kali delapan meter persegi itu. Semuanya kembali sibuk pada kegiatan masing-masing. Zen dengan isi kopernya yang baru mulai ia buka, si Rambut Merah yang berbicara sendiri dengan ponselnya, si Rambut Hitam yang tidur di ranjangnya dengan earphone nirkabel terpasang di telinga, dan terakhir si Rambut Emas yang membaca buku di pojok kamar.
Hal itu berlangsung hingga jam 10 malam. Tak ada yang berniat membuka obrolan kecil walau seputar bertanya giliran mandi. Hingga satu dari mereka yang sudah tak tahan nekat bersuara.
"Omong-omong, siapa nama kalian? Bukankah kita sudah seharusnya mengadakan sesi perkenalan diri?" celetuk si Rambut Merah. Ia berkata demikian dengan suara yang tergolong lantang tanpa mengalihkan pandangan dari kaca riasnya, sibuk membenarkan bulu mata pasangan yang terayun-ayun kekurangan lem.
Lama tak ada yang menanggapi selang pertanyaan klasik itu diungkap. Sampai kemudian satu manusia lain menjawab dengan ogah-ogahan.
"El, lima belas tahun, 10F, dipindahkan dari kamar asrama nomor 303, membenci Clarissa dan antek-anteknya sejak kepindahan." Itu si rambut hitam dengan wajah cantik namun aura suram. Ia memperkenalkan diri dengan posisi yang sama sekali tak berubah—masih berbaring di kasurnya—.
"Diterima! Okay Rambut Hitam, mulai sekarang aku akan memanggilmu dengan nama El. Selanjutnya kau! Rambut kuning!" Tiba-tiba saja perempuan itu bersemangat. Ia bahkan mengalihkan pandangannya, menatap penuh harap kepada si rambut kuning yang masih fokus dengan lembaran buku nya.
Hampir sepuluh menit, namun si Rambut kuning sama sekali tak membuka mulutnya. Sedangkan tangannya sibuk membolak-balikkan halaman per halaman buku yang ia baca. si Rambut Merah mulai merasa sebal, ia seperti berbicara dengan tembok sekarang ini.
"Hei El, dia tuli?" bisik Rambut Merah kepada El dengan jarak yang cukup jauh. El hanya mengendikkan bahunya, tanda tak tahu, atau bahkan tak ingin tahu.
"Oke baiklah, mari kita lewati perkenalan Rambut Kuning—"
"Aeghys Aloysius, lima belas tahun, 10A, dari kamar 109."
Hening, seluruh atensi di ruangan itu teralihkan pada satu objek yang malah seakan tak perduli apapun kecuali buku.
Aloysius, sesaat setelah mendengar nama marga itu, penduduk bumi umumnya langsung segera menyatakan kekagumannya. Para pejabat, CEO-CEO yang terkemuka, bahkan Presiden, hampir semuanya bermarga Aloysius.
"A-ah.. apakah kita perlu mengadakan upacara penyambutan dengan karpet merah dan lain-lain? Haha." Tertawa nya si Rambut Merah justsru mengundang tatapan heran dari kedua manusia lain. Zen dan El kompak saling tatap, mereka menyadari akan ketidaknyamanan yang mungkin terjadi apabila Aloysius di depan mereka menuntut untuk diperlakukan dengan hormat.
Tak! Tidak ada yang menyangka bahwa Aeghys akan menutup bukunya dengan suara sekeras itu. Namun setelah melihat ketebalan buku yang Aeghys baca, wajar saja.
"Perlakukan aku selayaknya remaja biasa, jika kalian tak bisa melakukannya, maka anggaplah aku tidak mempunyai marga itu setelah namaku." Aeghys memerintah, ragu-ragu ketiga manusia itu mengangguk canggung. Selepas mendapatkan respon yang sesuai dengan dugaannya, Aeghys kembali membuka halaman buku yang sempat ia tunda untuk dibaca.
"Baiklah! Salam kenal Aeghys! Selanjutnya kau! Rambut Ungu!" si Rambut Merah menunjuk tepat ke wajah Zen, membuat perempuan itu terkekeh kecil. Tak lama kemudian, suara lembut dan penuh keramahan mengalir mengisi atmosfir ruangan.
"Kau ini benar-benar seperti yang kutahu, sangat Hyperakif dan pandai bersosialisasi ya, My-"
"Berhenti! Jangan berani-berani mengucapkan namaku! Biar aku saja yang mengucapkannya saat perkenalanku! Tak perlu berbasa-basi, langsung saja ke inti!!" pekik si Rambut Merah panik. Zen tergelak, menurutnya sifat remaja yang menanyai tentang dirinya ini, amatlah kekanakan.
"Baiklah-baiklah, namaku Zen, enam belas tahun, 10J, dari kamar 706." Kekehan kecil yang tak kunjung berhenti mengiringi kalimat perkenalan Zen, membuat kehangatan seakan tercipta.
"Okay, Zen! Sekarang giliranku! Perkenalkan, namaku Myra magdalene, lima belas tahun, kelas 10C, Dari kamar 203. Aku beauty vlogger yang terkenal di seluruh kawasan bumi karena kecantikan ku! Maka berbanggalah kalian bisa menjadi room mate dari seorang selebriti dunia! Dan lagi, besok kita akan berada di satu kelas yang sama!!" tutur Myra dengan bangganya.
Zen tergelak bukan main, tawanya yang merdu mengisi penuh seluruh ruangan. Baru pertama kali ia bertemu dengan orang sombong yang tak membuatnya kesal.
"Hei Rambut Merah, kau membuatku ingin ke kamar mandi. Dan lagi, aku lebih bangga bisa satu ruangan dengan Aloysius ketimbang kau." Cibir El pedas.
"Cih,"
***
Brak! Kompak, seluruh perhatian kelas tertuju pada keempat remaja dengan penampilan urakan dan peluh keringat yang tak henti mengucur yang berdiri di samping pintu kelas.
"Zen?!"
Tak lama kemudian setelah pekikan Lilyana melantang keudara, tepat di samping layar proyektor, keempat remaja dengan rambut yang berbeda begitu pula tingginya, berdiri dengan satu kaki dan kedua tangan yang menjewer telinga masing-masing.
"Kenapa kalian bisa terlambat?" Sesi introgasi dimulai dengan pertanyaan klasik. Lilyna menatap keempat anak muridnya yang tak juga menjawab, didapatinya El yang celingukan, tak mengacuhkan pertanyaannya dan seakan menganggap enteng masalah ini. Sebal, ia pun melontarkan ulang pertanyaannya kepada El.
"Eh? Saya? Ya karena kami terlambat lah, Bu." Serempak, seisi kelas menertawai jawaban El yang terbilang cukup berani. Sedangkan ketiga kawannya justru menatap tajam remaja itu.
"Elvanna Vilvfred! Kamu saya hukum—"
"Maaf menyela, Bu. Biar saya saja yang jelaskan, kami terlambat sebab kamar kami yang berada di lantai paling atas. Lift tidak datang-datang, jadi kami memilih menuruni tangga saja, itulah yang membuat kami terlambat, Bu." Zen menjelaskan, membuat raut wajah Aeghys dan Myra sedikit lebih baik.
"Maaf Bu! Saya menyela! Penjelasan Zen hanyalah alasan semata, Bu! Teman saya juga ada yang mempunyai kamar di lantai paling atas, tapi mereka selalu tepat waktu memasuki kelas!" Salah seorang siswi yang duduk di bangku paling depan dengan rambut pinky peach nya menyela.
Kompak, ZEMA menatap tajam kearahnya, sedangkan yang ditatap justru tersenyum licik. Tujuan nya tercapai.
"Benar apa yang diucapkan Clarissa, Bu! Akulah yang tinggal di sana! Akulah siswi yang mempunyai kamar di lantai paling atas, Bu!" satu lagi siswi berambut pelangi warna-warni yang menimpali. Ah, emosi keempatnya makin menjadi. Keempatnya dan seluruh isi kelas tahu bahwa si Rainbow itu adalah antek dari Clarissa sendiri, jelas ia akan membela majikannya, walau harus berbohong sekalipun.
"Saya juga—"
"Sudah cukup Rehanna, kau tak perlu menimpali lagi. Baiklah, sudah diputuskan kalian berempat bersalah. Hukumannya, tetap berdiri di sini dengan posisi tersebut sampai jam pelajaran saya selesai. Mengerti?" keputusan final Lilyana tak dapat di elak. Keempatnya menerima dengan lapang dada. Keempatnya tak mau menyalahkan Lilyana yang telah memberi keputusan tersebut, sebab mereka tahu, apabila Lilyana tak menghukum mereka, konsekuensinya adalah kehilangan pekerjaan.
Dan begitulah pelajaran pertama mereka dengan Lilyana berlangsung.
***
"Ah, sial. Hambar!" umpat Myra ketika satu sendok sup itu memasuki mulutnya.
"Kau ini benar anehnya, walau sudah hampir satu tahun memakan makanan yang selalu hambar ini, kau masih berharap rasanya akan berubah? Optimis sekali, haha." El mencibir, tangannya yang panjang dan lentik sibuk mengaduk-aduk minumannya.
"Kalau tidak karena hukuman tadi, akupun tak sudi! Lebih baik puasa daripada menelan makanan ini!" balas Myra sebal. Gadis itu terlihat amat tersiksa setiap kali menelan suapan sup sayurnya. Dan ekspresi nya begitu dinikmati oleh El dan Zen yang tak henti tertawa.
"Kau benar-benar lemah, Rambut Kuning saja sudah menghabiskan dua mangkuk sup dengan santai. Kau bahkan baru melahap tiga sendok! Hahaha."
"Diam El, Aeghys itu memang punya kelainan. Hei Aeghys, kau suka sup itu?" Myra menyerah, sendoknya tergeletak di dalam mangkuk dan tengelam.
"Ya, aku suka kandungannya. Akan tetapi untuk rasanya, tidak." Aeghys menjawab malas, bahkan tak mengalihkan pandangannya dari buku miliknya, bagaimanapun mereka adalah room mate nya sekarang ini, ia tak bisa mengabaikan mereka dan menganggap mereka bagaikan tembok. Itu hal yang amat tabu di muka bumi ini.
"Ah, syukurlah, kukira kau abnormal, hahaha!"
Obrolan hangat terus berlanjut di kantin yang selalu ramai pengunjung. Mereka membicarakan banyak hal, sesekali menggoda Aeghys yang selalu menjawab dengan kaliimat yang tak lebih mengandung 10 kata.
Tak! Tiba-tiba saja seseorang meletakkan sebuah kotak makan di meja mereka. Lelaki. Ia tersenyum canggung menatap kearah Myra. Sial, itu Reynhard Dhesta! Lelaki paling tampan di sekolah mereka. Zen dan El saling tatap, keduanya benar-benar terpesona dengan ketampanannya.
"Ada apa?" tanya Myra malas. Sukses! Tanggapan Myra membuat Zen dan El membagong tak percaya. Bagaimana bisa perempuan berambut merah itu tak menggebu sama sekali?
"Aku tahu rasa sup disini hambar, oleh karena itu, pagi-pagi buta aku sudah membuat sesuatu untukmu. Kau bisa memakannya—"
Lagi, El dan Zen saling tatap. Seakan mereka membenarkan sesuatu. Ya, tentang rumor bahwa Rey selalu mendatangi meja kantin Myra setiap istirahat, memberi gadis itu makanan buatannya. Lalu juga coklat-coklat yang bertumpuk di laci meja dan loker Myra setiap harinya.
"Bisakah kau berhenti mengangguku, Rey? Tak bisakah kau berhenti berjuang mengejarku? Aku muak, dan semua orang tahu itu!" bentak Myra marah.
Brak! Myra berdiri.
"Aku sakit, aku ke UKS."
Kemudian Myra pergi begitu saja meninggalkan ketiga kawannya yang termenung kebingungan.
"Hei kau, pergilah ke psikiater, penyakitmu itu semakin parah."
***
Cklak! Kriet!
"Oh Myra! Kau ku cari kemana-mana sejak kejadian kantin tadi! Jadi sedari siang, kau berada di kamar?" yang ditanya mengangguk kecil.
Zen menutup pintu kamar, matanya tak sengaja menangkap jarum jam yang menunjukkan pukul sembilan malam.
"Hei kau tak apa?" berbeda dengan El dan Aeghys yang langsung menuju posisi mereka—El dikasur, dan Aeghys di tempat membacanya—Zen justru menghampiri Myra yang terlihat sibuk di depan meja kopi dengan laptop yang menutupi wajahnya.
"Yah, aku tak apa." Myra menyembulkan kepalanya. Dan Zen menyadari, bahwa selama mereka belum kembali ke kamar, Myra menangis tereus menerus. Terbukti dengan bedak tipisnya yang terlihat dipakai tergesa-gesa, itu berakibat tidak berhasil menutupi bekas air mata itu dengan sempurna.
"Syukurlah," Zen tak mau mengungkit kejadian tadi. Ia akan berpura-pura tak mengetahui hal itu.
"Kenapa kalian baru pulang? Aneh sekali?" Myra bertanya basa-basi. Zen mengendikkan bahu, bokongnya mendarat di sofa kecil.
"Entahlah, tiba-tiba saja Lilyana mengajak kami ke rumah kaca dan menjelaskan berbagai macam tanaman dengan tergesa-gesa. Seakan ia tak punya banyak waktu, terpaksa kami merekam penjelasannya dan memotret banyak dedaunan dan bunga. Memori ponsel El bahkan sampai menunjukkan tanda seru."
"Hanya kalian bertiga?"
"Ya, hanya kami bertiga."
"Itu aneh."
"Memang."
"Tidurlah Zen, kau pasti lelah harus meladeni banyak basa-basi dari Lilyana." Myra terkekeh, ia masih fokus mengetik sesuatu pada keyboard laptopnya.
"Hahaha! Bagaimana kau tahu tentang itu? Benar apa katamu, hari ini benar-benar melelahkan! Baiklah aku tidur, kau juga, jangan tidur larut malam." Obrolan itu berhenti dengan Myra yang terakhir berucap 'ya'. Setengah jam berlalu, gadis itu masih sibuk menatap layar laptopnya.
Tes! Air mata itu jatuh tanpa perintah, membuat Myra gelagapan menghapusnya. Gadis itu kemudian memindai ruangan, El sudah tertidur, Zen pun begitu, dan Aeghys pun juga tertidur di bangku membacanya.
Lalu setelah menyadari bahwa situasi sudah aman, tangis itu pecah tanpa suara. Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menunduk dengan bahu bergetar.
Ia tak henti berharap, semoga esok, matahari terus berada di sekitarnya. Semoga esok, menjadi hari yang lebih baik dari hari ini. Namun sayangnya tidak begitu. Esok hari, tidaklah akan menjadi lebih baik, justru situasi terburuk lah yang akan menanti mereka. Situasi yang sama sekali tak pernah memasuki mimpi buruk siapapun di dunia.
—BERSAMBUNG—13.23—23-03-2021—
Point!
*Asrama memiliki 13 lantai, 10 kamar di setiap lantai, dan 4 orang di setiap kamar.
*Satu kamar asrama diisi 4 orang, dan mereka pun harus sekelas.
*Tidak ada kelas terpintar atau kelas terbodoh. Ranking ditetapkan secara paralel [satu angkatan] dan bukan perkelas.