Chereads / ZEMA : Zombie's War / Chapter 3 - Makhluk Aneh

Chapter 3 - Makhluk Aneh

KRIIINGGGG!!!!!

"Sial, kenapa si Ungu bodoh itu membuat alarm jika dirinya tidak ada niatan untuk bangun?!"

Crak! Jam weker itu pun akhirnya berhenti berdering. Namun, tepat saat tangan mungil Aeghys hendak meraih earphone, tiba-tiba saja pintu ruangan seperti hendak di dobrak paksa.

Brak! Brak! Brak! "Siapa?" Teriak Aegis lantang. Kini ia telah berada tepat dibelakang pintu. Telinganya ia rapatkan pada daun pintu, mencoba mendengar sesuatu dari luar sana.

"Rrrggh, rrggghh.."

Menelan salivanya, entah mengapa sekujur badan Aeghys mulai berkeringat. Tangannya bergetar hebat hanya demi menggenggam erat pegangan pintu.

"Rrrggghh BRAK! BRAK! BRAK!"

Tersentak kaget, Aeghys dengan sekali hentakan membalikkan badannya. Ada yang aneh! Dan sekarang, Aeghys bersusah payah menahan pintu dengan punggung ringkihnya. Karena ia tahu, pintu kayu ini tak mungkin bertahan lama jika dihadapkan dengan binatang buas aneh di baliknya.

10 menit lebih Aeghys berdiri disana. Aeghys sempat terpikir untuk berteriak membangunkan ketiga room mate nya, akan tetapi setelah di pikir lagi, hal itu terlalu berisiko. Bagaimana jika binatang itu makin menjadi ketika tahu mangsanya bersuara? Kaki Aeghys mulai terasa pegal, matanya masih menganalisis situasi yang kini sedang ia alami, dan otaknya berputar keras memikirkan hewan buas apakah yang ada dibalik pintu itu.

"Rambut ungu atau hitam? Akan cukup sulit membangunkan Ungu walau jaraknya lebih dekat karena dia diatas. Tapi jika Hitam, harus menambah sedikit— tunggu, sepertinya mereka.. telah pergi..?"

Aeghys semakin merapatkan tubuhnya ke pintu, menajamkan pendengarannya. Dan benar saja, suara geraman-geraman aneh, juga gebrakan-gebrakan itu mulai berkurang.

Aeghys menghela nafasnya, ia merosot, kakinya terasa sangat lemas. Sudah 15 menit lebih ia menahan pintu itu dengan tubuh kecilnya.

Namun, terlepas dari kelegaan sementara itu, Ia masih kebingungan. Sebenarnya bagaimana binatang itu tahu bahwa ruangan ini berpenghuni? Bukankah.. Ah! Alarm sialan itu!

Aeghys menggelengkan kepalanya. Firasatnya masih buruk, mungkin saja hewan-hewan itu akan kembali lagi!

Secepat kilat Aeghys membangunkan ketiga rekannya. Yang dibangunkan malah merasa kebingungan. Malahan, Myra justru mencoba melakukan live outstagram. Menurutnya, ini adalah pertama kalinya ia melihat Aeghys yang sama sekali tak tenang.

"Apa tadi kau mematikan lampunya Ae? Mengapa? Untung saja jendela kecil itu memberi sedikit cahaya untuk kita." Tanya Zen dengan raut bingungnya sembari menatap jendela kecil di pojok atas ruangan. Yang ditanya hanya melamun, sepertinya ia masih memikirkan apa yang baru saja Ia alami tadi.

Zen menghela nafas, "Baiklah, entah apapun itu yang sampai membuatmu syok begini. Aku akan membuka gorden jendela, sudah jam enam. Matahari mungkin lebih baik daripada lampu."

Srak!

Kompak, keempatnya membulatkan mata tak percaya. Menelan ludah pun rasanya sulit. Apa yang dilihat keempatnya saat ini, tentu bukanlah pemandangan yang mereka inginkan. Justru, ini adalah pemandangan yang sama sekali tak pernah sekalipun mampir ke pikiran mereka!

Pupil-pupil mata itu mengecil, anggota tubuh bergetar, degup jantung yang tak karuan, serta keinginan berharap bahwa yang tengah mereka saksikan saat ini, merupakan bagian dari bunga tidur yang buruk.

Brak! Brak! Brak!!

Dengan cahaya matahari yang menembus kaca jendela itu, wajah keempatnya malah makin mengusut. Kini, hanyalah menunggu waktu agar kaca itu berubah warna menjadi merah. Untuk kemudian segera pecah.

Brak! Brak! Brak!! Rarrrghhh!!!

3 manusia berlumuran darah terus membenturkan diri mereka ke kaca jendela. Dengan tangan mengais-ngais dan mulut yang tak hentinya bergumam. Pakaian mereka compang-camping, juga disekitar wajah mereka yang hancur, puluhan lalat berterbangan.

Sedangkan keempat perempuan yang berada di sisi satunya, masih terduduk di lantai sembari mengamati apa yang sedang terjadi di depan mereka saat ini. Tubuh mereka lemas, bahkan untuk sekadar mengedipkan mata pun rasanya sangat mustahil.

"Tu.. tup.."

Brak! Brak! Brak!

"Tutup..."

Brak! Brak! BRAK!!!

"TUTUP GORDENNYA ATAU KITA MATI?!!"

Srek! Brukh!

Tubuh El ambruk ke lantai. Tangannya tanpa menunggu perintah lagi, langsung memeluk erat lutut nya. Belasan kali ia menelan saliva, tatapannya yang kosong memandang jauh ke bawah sana.

"Myra! Kau mau apa?!" Pekik Zen ketika Myra tiba-tiba saja bangkit dari duduknya dan berlari terbirit menuju kamar mandi.

Blam! Myra membanting pintu kamar mandi dengan sangat kencang, dan tak lama kemudian, suara khas orang mual mulai terdengar.

Tok! Tok! Tok! "Myra! Kau tak apa?! Myra! Jawab Aku!" si Rambut Ungu terus-menerus mengetuk pintu berwarna biru itu. Ia benar-benar terlihat sangat panik.

"Te-tenang lah.. Myra.. tak apa.. di-dia hanya sedikit terkejut.." Suara yang biasanya selalu melontarkan kalimat sarkas, sekarang terdengar sangat gagu. Ya, dialah Aeghys, orang yang berteriak menyuruh temannya menutup gorden demi keselamatan mereka.

"Aeghys.. kau juga..?" Zen membalikkan badannya, dan kini tepat di depannya, Aeghys berdiri dengan kepala yang menunduk dalam-dalam.

Grep! "Aegis! Kau tak apa?" Kedua tangan Zen mencengkram erat bahu Aegis, menggoyangkan nya pelan sembari berharap Aegis kembali sadar.

"Ae—!"

"Ha-ha-ha, Kau bodoh? Setelah melihat hal seperti tadi.. apakah Kau pikir masih ada yang bisa baik-baik saja?" Aegis mengangkat kepalanya perlahan.

"Aku tak pernah menyangka, kiamat ternyata datang secepat ini..."

"Ae—!"

Cklak! Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan wajah  pucat pasi yang tak lain adalah milik Myra. Gadis itu berjalan tertatih melewati dua manusia di depannya. Menganggap mereka seolah tak ada.

Netra Zen menuntun kepergiannya, melamun memikirkan hal entah apa. Namun, nyatanya melamun di saat-saat seperti ini bukanlah tindakan yang tepat. Karena selang beberapa detik kemudian, badan Aegis ambruk.

***

Lima jam sudah berlalu sejak kejadian ambruk nya Aeghys yang disusul Myra. Kedua remaja berambut kuning keemasan dan merah gelap itu masih setia tertidur di ranjang bawah. Sedangkan sisanya sibuk menenangkan diri sendiri.

El terutama, walaupun tak sampai pingsan, ia tetap merasa ketakutan dan masih tak percaya tentang apa yang tengah terjadi sekarang ini. Bahkan setelah ia bertatapan langsung dengan para 'Zombie' atau Mayat Hidup itu.

Tak! Cangkir yang berisi susu hangat telah mendarat di atas meja. Setelah meletakkannya, Zen mempersilahkan dirinya sendiri duduk di sofa depan TV.

Meski begitu, yang dilayani justru berdiam diri dengan tatapan yang juga tak berubah sedari 5 jam lalu. Ya, tatapan kosong.

"El, Kau mau sampai kapan seperti itu?" Kalimat yang baru saja Zen lontarkan, adalah kalimat pertama di ruangan ini sejak 5 jam lalu. Mengapa? Karena Zen sudah merasa bahwa 'keterkejutan' teman-temannya ini, sudah seharusnya berakhir.

"Ah, Kau. Sepertinya Kau sangat menyebalkan bagiku, hingga Kau pun masuk ke dalam mimpiku. Tapi dengarlah, Rambut Ungu, mimpiku ini bukan jalan-jalan ke pasar malam, maka ku peringatkan Kau segera keluar dari sini. Aku pun sudah muak dengannya, dan sekarang Aku akan kembali bangun ke Dunia Nyata."

Zen menelan salivanya susah payah, tak ia sangka, ketakutan milik El juga parah. Ia bahkan mengigau jikalau saat ini ia tengah berada di dalam bunga tidur nya.

El terdiam lagi, setelah berbicara panjang lebar sembari menatap Zen tadi, kini ia kembali menundukkan kepala dan merangkul kedua dengkul nya.

"Baiklah El, Aku akan keluar dari mimpi burukmu ini. Kau pun ingin segera bangun, bukan? Kau bisa meminum susu hangat ini, dan tidur. Maka tak lama kemudian Kau akan terbangun." Respon yang di perlihatkan El sangat mengejutkan. Ia tanpa basa-basi langsung meneguk habis susu hangatnya. Terimakasih di persembahkannya pada Zen yang telah memberinya solusi, untuk kemudian terlelap di sofa depan TV.

Zen menarik nafas lega, mungkin saat ini ia tengah berpikir mengenai 'apakah teman-temannya akan kembali seperti semula setelah bangun dari tidur mereka?' Atau 'keadaan nya justru semakin memburuk?'.

Srarak!

Membalikkan badan, betapa terkejutnya Zen saat melihat Aeghys yang baru saja menyingkap gorden jendela.

Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada, silau sinar matahari menyinari ruangan yang sejak tadi remang-remang belaka. Matanya menatap tajam beberapa 'Zombie' dibalik kaca yang semakin ganas tatkala melihat dirinya.

Srak! Greb!

Zen tersentak kaget saat satu tangan asing memberhentikan gerakan tangannya yang sedang menutup gorden jendela. Ia menatap tak percaya pada sang pemilik tangan asing itu.

"Apa yang kau lakukan?" Yang ditanya hanya diam tanpa mengalihkan pandangan awalnya. Lantas dengan satu hentakan, tangan yang ia cengkram dihempaskannya begitu saja.

"Ae! Apa yang kau lakukan? Kau baru bangun, seharusnya kau tak boleh melihat hal ini—"

"Lantas apa pedulimu?" Aeghys menolehkan kepalanya, menatap tajam remaja perempuan dihadapannya.

"A-aku—"

"Ah, benar. Aku tahu. Kau menganggapku lemah karena Kau lah satu-satunya yang tak terpengaruh oleh mereka. Benar, bukan?" Zen tak mengelak, ia bahkan menurunkan pandangannya, tak berani menatap sorot mata Aeghys yang seperti tengah menelanjanginya.

"Ck, camkan ini! Bukan berarti Kau yang paling tua, Kau boleh menganggap yang lain tak tahu apa-apa. Bukan berarti Kau kuat, Kau menganggap mereka yang pernah kalah sebagai yang lemah. Karena Kau bukanlah sang Penguasa yang tahu segalanya."

Srarak!

Gorden kembali ditutup rapat, dan ruangan kembali bernuansa remang-remang. Aeghys beranjak dari posisi awal nya menuju sofa bulat miliknya yang berada di pojok ruangan. Sedangkan Zen tetap berdiri di tempatnya tadi, merenungi kata-kata yang baru saja Aeghys ucapkan.

"Terimakasih, karena sudah menyelamatkan kepala ku dari lantai itu." Pangkas Aeghys sebelum dirinya tenggelam dalam dunianya.

Senyum Zen mengembang sempurna, "Terimakasih kembali karena sudah mengingatkanku."

***

2 jam kemudian, disaat seluruh penghuni ruangan 8×8 itu telah mengambil kesadarannya kembali. Dan kini mereka tengah berkumpul di meja makan.

Laptop, Handphone, Bungkus Roti, serta buku-buku itu berserakan diatasnya. Wajah keempatnya nampak sangat frustasi. Pikiran mereka pergi entah kemana dengan tatapan yang kompak menunduk, memandang permukaan meja yang tertutup taplak.

Helaan nafas tak henti terdengar dari keempatnya. Ya, Keputusasaan. Jalan pikir mereka hampir buntu. Setelah satu jam sejak terbangunnya Myra dan El, keempatnya langsung bergerombol disana. Bukan, bukan untuk mendiskusikan teori tentang mengapa hal ini terjadi. Melainkan berusaha mati-matian untuk menghubungi anggota keluarga masing-masing.

Sialnya, tanda 8G di bagian atas layar gadget mereka tak kunjung terlihat.

Tak! "Selesai sudah! Walaupun kita mencoba ribuan kali pun, hasilnya tetap percuma. Karena sepertinya para robot di pusat telah dirusak oleh para Zombie ini." Myra mendengus kesal sembari memandangi Handphone mahal nya yang tergeletak di atas meja.

Beberapa jam lalu, Handphone berwarna merah muda itu adalah dunia mini bagi nya. Benda yang tak mungkin bisa ia lupakan sekalipun gempa bumi menyerang. Namun sekarang, benda didepannya ini nilainya tak lebih dari sebuah sampah rongsokan.

"Aneh. Apa mungkin wabah ini telah mencapai seluruh kawasan Bumi?" Gumaman kecil Aeghys ternyata mengundang seluruh perhatian. Karena ketiga orang lainnya saat ini tengah menajamkan pendengaran.

"Tak mungkin jika hanya wilayah ini yang terkena, karena jika memang benar begitu, seharusnya kita masih bisa menggunakan internet. Mengingat letak kota kita yang tidak jauh dari pusat. Dan lagi.."

Ctak! Aeghys menjentikkan jarinya bersamaan dengan kepalanya yang terangkat tiba-tiba. Sedangkan ketiga lainnya justru terkaget-kaget dan reflek memundurkan badan mereka yang sedikit condong ke arah Aeghys.

Srat! "Ae, itu ponsel ku—"

"Diam."

Tanpa basa-basi, jari-jemari Aeghys sibuk menari-nari diatas layar ponsel Myra. Wajahnya yang sedari tadi murung, kini terlihat sangat antusias. Namun, sayangnya ekspresi itu tak bertahan lama saat Aeghys menemukan Aplikasi Mouthbook milik Myra dikunci kata sandi.

Aeghys menyodorkan kembali Handphone itu kepada sang pemilik, Myra yang langsung mengerti maksut dari aksi Aeghys segera membuka kunci dengan wajah kebingungan.

Aeghys kembali fokus pada layar handphone. Alisnya semakin lama, semakin menyatu. Hingga puncaknya, setelah kurang lebih 5 menit tangannya tak berhenti bergerak, Aeghys memelototkan matanya.

"Ada apa Ae?" Zen yang duduk di samping Aeghys langsung menyadari perubahan raut wajah temannya.

Tak! Lagi, Handphone itu kembali diletakkan dengan kasar ke atas meja.

"Lihat!" Semuanya tanpa menunggu perintah lagi, segera membungkukkan badan demi menyapa sesuatu di Handphone Pink itu.

Hening, semuanya sedang fokus pada satu objek yang sama. Dan persis seperti yang Aeghys lakukan tadi, saat tampilan layar terus bergerak, Alis mereka semakin tertaut dengan dahi yang mengkerut.

"Aneh, bukan?" Tanya Aegis setelah 30 detik keheningan melanda. Dua dari ketiganya mengangguk bersamaan, kecuali Myra yang sibuk berdehem-dehem tak jelas.

"Kenapa?" Lagi, Aeghys bertanya. Tetapi kali ini pertanyaannya khusus untuk Myra seorang. Myra yang ditatap tajam Aeghys hanya bisa menelan salivanya susah payah.

"Eh? Ekhem.. Bukan salahku kalau yang bisa kubaca hanyalah seperempat dari mereka. Kau menggesernya secepat baling-baling bambu doraemon! Bagaimana mungkin—"

"Akui saja kalau kau itu bodoh. Tak perlu menyalahkan Rambut Kuning. Buktinya Aku dan Rambut Ungu pun bisa membacanya." Potong El meledek.

"El, Kau jangan memulai pertengkaran, ini bukan saatnya."

"Ya, ya, ya."

"Beberapa orang bilang bahwa ada U.F.O yang mendarat di bagian Utara, yang artinya di Kawasan Xera. Sedangkan yang lain bilang bahwa U.F.O itu mendarat di Timur, itu Kawasan kita, Xare. Jadi, dari dua Info ini, yang mana yang benar?" Mata Aegis menatap satu persatu dari ketiganya.

"Xera dan Xare berdekatan. Xera memiliki permukaan yang jauh lebih luas, 3 kali luas kawasan Xare. ⅔ kawasan Xera adalah lahan hijau, dan hutan. Sedangkan Xare dipenuhi gedung-gedung tinggi. Lagipula, Xera lebih dekat dengan Axer yang merupakan pusat dari seluruh kegiatan bumi, itu meliput pusat internet. Jadi, jika U.F.O itu mendarat di Xera pada jam 10 malam, lalu menyebar virus, itu lebih masuk akal, itu akan menjadi alasan mengapa tidak ada postingan mouthbook lebih dari jam 1 malam." Zen mengungkap teorinya dengan mata yang berbinar-binar. El mengangguk-anggukan kepalanya, tanda bahwa dirinya setuju dengan apa yang baru saja Zen ucapkan.

Myra lah yang berbeda, ia tampak masih berfikir keras dengan kepala merah nya. Dan El yang menyadari hal itu, segera bertanya.

"Kau ini kenapa?" Myra langsung gelagapan saat lamunan nya buyar. Bola matanya berputar kesana kemari demi mencari orang yang bertanya barusan padanya. Dan setelah menemukannya, ia kembali menelan ludah sendiri.

"Eh? I-itu.. Aku berpikir.. bagaimana bisa mereka menyebutkan dua kota, padahal hanya satu U.F.O yang mendarat..."

"Dan itu adalah hal yang baru saja mau kutanyakan kepada kalian." Aeghys menatap El dan Zen bergantian.

"Mudah saja, Kota Xera dan Xare sama-sama diawali dengan huruf X. Kau tahu? Typo? Mungkin karena sebelum masalah U.F.O itu datang, bukankah seluruh Bumi sibuk membicarakan si Rambut Merah yang tinggal di Kota Xare? Lalu, secara otomatis pada tombol keyboard saat Kau menekan huruf X, karena sering menyebut Xare, Keyboard yang disetel 'koreksi otomatis' akan mengganti ke Xare walau kau menekan Xera. Begitu?"

Slurrrppp.. El menyeruput teh miliknya. "Tak pernah kusangka, berbicara ternyata membuat tenggorokanku kering."

"Baiklah, ku terima teori mu itu. Sekarang coba jelaskan mengapa jika mereka tahu bahwa mereka Typo, mereka tidak menghapus postingan atau mengeditnya?" Aeghys lagi-lagi memojokkan El, sepertinya ia masih tak puas dengan jawaban El yang terkesan meremehkan.

El celingak-celinguk, ia menatap Zen dan Myra secara bergantian. Lantas kemudian menghela nafas berat.

"Ada tiga kemungkinan. Pertama, mereka mati. Kedua, mereka tidak tahu kalau mereka Typo. Ketiga, mereka tidak ada niatan menggantinya karena Kau tahu sendiri  bahwa rakyat sosial media lebih suka keributan. Sekian." Aeghys mengangguk-anggukan kepalanya. Kali ini sepertinya ia merasa puas akan jawaban El. El sendiri sedang menyeruput teh nya. Mungkin jauh di dalam lubuk hatinya, ia bersumpah tak akan berbicara lebih dari lima kata.

"Zen, menurutmu dari ketiganya, mana yang lebih memungkinkan?" Sekarang, giliran Zen yang mendapat pertanyaan.

"Kemungkinan ketiga. Sempat kulihat angka komentar di postingannya yang mencapai ribuan. Jika benar si Error Guy Catcher tak tahu kalau dia melakukan salah ketik, itu tak mungkin karena ribuan komentar itu pasti menimbulkan ribuan notifikasi. Jadi kemungkinan kedua bisa dikatakan hanya memiliki sedikit kemungkinan. Lalu untuk kemungkinan pertama, itu juga memiliki sedikit kemungkinan, karena saat kita membuka kolom komentar nya tadi, ternyata hampir setiap komentar di balas oleh si Error Guy Catcher yang memosting postingan itu." Aeghys menganggukkan kepalanya faham.

Aeghys mematikan layar ponsel menjadi hitam. Ia beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah jendela.

Srak! Lagi dan lagi, untuk ketiga kalinya gorden jendela itu tersingkap. Ketiga remaja lainnya sempat menahan nafas, namun tak lama kemudian mereka menampikkan raut wajah keheranan.

Zombie-zombie itu sudah pergi, menyisakan kaca yang berlumur darah dan pemandangan gedung-gedung yang sudah rusak parah.

"Tapi Aeghys, kenapa kau menanyakan hal itu kepada kami? Bukankah kau sudah pasti bisa memecahkannya sendiri?" Zen akhirnya mengungkap hal yang sebenarnya paling mengganjal di pikirannya.

Aegis tak menjawab. Ia masih berdiri tegap dengan tangan yang bersedekap menghadap lurus ke depan. Untuk saat ini, tak ada yang menyadari ketika smirk itu muncul di wajahnya.

—BERSAMBUNG— 13.49 — 24-03-2021—

Point!

*Outgram a.k.a Instagram

*Moutbook a.k.a Facebook

*Bumi dibagi menjadi lima kawasan/benua :

- Kawasan Axer di tengah (Pusat segalanya) Perdagangan

- Kawasan Raxe di Utara (luas kawasan terkecil) Es

- Kawasan Rexa di Timur (terbesar setelah Xera) Padang Rumput

- Kawasan Xare terletak di Tenggara (terbesar setelah Rexa) Gedung, ⅕ Es

- Kawasan Xera terletak di Barat (terbesar) Pepohonan & Gunung, ⅕ Es