"MYRA!" teriak Aeghys lantang ketika dilihatnya Myra yang tersungkur ke lantai. El panik, ah bukan, semuanya panik.
"Kenapa kalian diam saja? Kenapa kita tidak turun dan mengecoh Zombie itu?! Kenapa?!" bentak El frustasi. Emosinya sudah tak terkendali. Namun, Aeghys dan Zen masih setia bungkam. Mereka berdua seperti tuli dengan pandangan kebawah dan kaki yang terus melangkah.
Sedangkan Zombie-zombie itu semakin dekat dengan tubuh Myra yang tak kunjung bergerak.
"MYRA! BANGUN!" El tak menyerah. Selepas tak dihiraukan pertanyaannya oleh kedua teman nya, ia tak berhenti berusaha. Ia.. seperti berkata.. bahwa ia benar-benar mengharapkan keajaiban datang.
"Myra.. kumohon.." Mata itu sudah tak lagi mampu menampung, bendungan luruh. Air mata berderaian kemana-mana. El menangis, akan tetapi air mata itu segera ditepis nya.
El berlari lebih kencang. Ia mendekati Aeghys, untuk kemudian merampas pisau milik remaja berambut emas itu. Hal yang sama ia lakukan pada Zen. Kemudian ia berlari sekuat tenaga, menuruni tangga pertama dan kedua hingga sampai di lantai aula.
"El berhenti! Kau gila!" Teriak Zen dari lantai tiga ketika dilihatnya El yang sudah berada tepat di belakang gerombolan Zombie. Sial, Myra sudah terkerubungi. Akan tetapi anehnya, Zombie-zombie itu seperti berhenti sejenak.
Semua gerakan mereka terhenti dalam kurun waktu beberapa detik. Hanya El, satu-satunya yang bisa bergerak cepat. Dan..
Crak! Crak! Crak!!
Tangan El dengan cekatan menusuk berbagai bagian tubuh dari Zombie-zombie itu dengan pisau. Tak perduli berapa kali, Zombie-zombie itu tetap tak berkutik. Mereka masih dengan posisi masing-masing seakan membeku.
Menyadari kesempatan emasnya, El segera menyeret Myra keluar dari kerumunan itu. Sialnya, baru saja beberapa langkah, Zombie-zombie itu sudah aktif kembali.
Dan sekarang, El benar-benar terkurung. Ia seperti rusa yang terjebak di kandang singa. Tak ada celah untuk keluar.
Hingga..
Ckittttt! Tsrk!
Tiba-tiba saja bunyi tusukan besi dan beton terdengar bersusulan, diikuti kabel-kabel panjang yang melentang kemana-mana. Beberapa orang dengan pakaian modisnya terbang dengan alat yang diyakini merupakan modifikasi dari gun ramset.
Dor! Dor! Dor!
Belum tuntas ketakjuban keempatnya dengan beberapa layangan manusia itu, mereka dikejutkan dengan bunyi tembakan yang tak kunjung berhenti. Ternyata, masing-masing dari manusia terbang itu membawa pistol. Tak henti mereka menembakkan peluru ke anggota badan Zombie itu.
Dor! Crak! Cprats!
El segera menutup matanya, dirasakan nya percikan cairan kental yang mengenai permukaan kulit wajahnya. Gadis itu kemudian membuka mata, menoleh kesamping, lalu hampir muntah di tempat ketika di dapatinya kepala Zombie yang sudah tak berbentuk lagi.
Hancur bagai semangka.
Secepat kilat El menghadap ke atas, ke lokasi yang ia yakini sumber dari peluru tersebut. Dan disana, seseorang tengah duduk di puncak asrama, dengan senapan laras panjang nya. Ia kemudian melambaikan tangannya, bermaksud menyuruh El segera pergi.
"Hei! Percepat evakuasi! Aku tahu kalian sangat menikmatinya, tapi zombie ini bertambah banyak! Peluru kita tak akan cukup!" komando itu keluar dengan lantangnya dari salah satu mulut si Manusia Terbang. Kemudian di sahuti dengan kompak oleh yang lain.
El tak kuat lagi, ia benar-benar mual. Darah dimana-mana dan mata yang menggelinding di bawah kakinya, itu sudah keterlaluan. Pamungkasnya, ia pun ikut tak sadarkan diri bersama dengan Myra.
Sekejap setelah ia menutup mata, tubuhnya segera diraih seseorang dan dibawa terbang ke atas sana. Begitu pula dengan Myra, Aeghys, dan Zen sekalipun.
***
Pagi kembali datang menyambut. Sepasang mata itu berkedap-kedip menyesuaikan cahaya yang menembus masuk netranya. Myra melenguh, kemudian segera bangkit dan membangunkan yang lain.
Mereka semua pun sudah terjaga. Dan setelah mengamati sekitar, mereka akhirnya tahu. Dimana gerangan mereka tidur semalam. Tak lain tak bukan adalah Laboratorium Bahasa, yang terletak persis dihadapan asrama mereka. Namun di selingi satu kamar mandi wanita.
"Kau sedang apa?" Itu suara serak El yang menegur Zen. Zen menoleh kebelakang, lantas mengendikkan bahu.
"Aku hanya mengecek keadaan diluar sana." jawabnya ringan. El mengangguk paham, ia lalu berjalan mendekati Zen dan ikut mengecek keadaan.
"Bagaimana?" Kini giliran Aeghys yang bersuara. Gadis muda itu duduk di pojok ruangan dengan bukunya yang terbuka.
"Aneh, benar-benar bersih tak tersisa. Zombie-zombie itu bagai mimpi semata." Zen masih fokus memperhatikan sekitarnya saat ia menjawab pertanyaan Aeghys. Gadis itu kemudian melangkahkan kaki, mulai memutari dan mengamati sudut-sudut Lab Bahasa.
"Kau yakin?" Zen mengangguk mantap. "Kau bisa tanya pada El jika tak percaya. Atau Kau bisa mengeceknya sendiri, Aeghys."
Aeghys tak membalas, ia segera menutup bukunya yang amat tebal itu, kemudian berdiri dan hendak membuka pintu Laboratorium.
"Hei! Aeghys! Kau—"
Myra bungkam, bahkan ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Seorang lelaki berdiri di hadapan Aeghys, dengan pakaian modis yang terciprat darah segar disana-sini dan beberapa alat aneh di pinggangnya.
"Aeghys, siapa—" lagi, bahkan kalimat bisikan, pun tak bisa ia selesaikan. Aeghys mengangkat tangannya, mengisyaratkan Myra untuk diam.
"Apa yang kau mau?" tanya Aeghys pada lelaki berambut hijau tua yang tingginya bahkan membuat Aeghys mengangkat kepala. Sekejap setelah pertanyaan itu terlontarkan, lelaki itu berhenti menggaruk bagian belakang kepalanya.
"Ah, sebenarnya begini.. Aku adalah salah satu dari pasukan yang menyelamatkan nyawa kalian semalam—"
"Aku tahu, jelaskan intinya saja." pinta Aeghys dengan raut datarnya.
"Ah, baiklah. Kalian diminta ketua untuk segera keluar dari sekolah ini. Setelah keluar, kalian harus mencari kantor polisi terdekat dengan dua lantai."
"Itu saja?"
"Eh? Emmm.. yah.. sepertinya hanya itu..(?) Ah iya, sebaiknya lakukan 'operasi' pada malam hari. Walau terlihat sepi, tapi masih banyak yang berkeliaran. Omong-omong, itu saran khusus dariku. Bukan dari ketua, hehe." Aeghys memincingkan matanya, lantas kemudian menghela nafas panjang.
"Oke, kau boleh pergi." Aeghys berbalik, hendak kembali memasuki Laboratorium Bahasa.
"Ah? Apa kau tidak berniat menjamu ku? Aku sudah berjaga tak tidur semalaman demi kalian.. secangkir air putih pun tak apa.." Lelaki itu berkata jujur. Kantung matanya yang menghitam dan bola matanya yang memerah, sudah cukup untuk menjadi bukti kuat.
"Kami tak pernah meminta bantuan kalian, dan lagi, Laboratorium kami tak menerima tamu. Mengerti?" Aeghys bahkan tak memutar posisinya yang membelakangi si Rambut Hijau. Gadis itu sepertinya sedang tidak mood untuk berbasa-basi.
"Hei, setidaknya katakan terimakasih!" si Hijau menyeletuk tak terima. Dan itu berhasil menghentikan gerakan tangan Aeghys yang hendak menekan knop pintu.
Helaan nafas terdengar. "Baiklah, Myra. Katakan padanya apa yang ingin ia dengar. Aku masuk." titah Aeghys untuk kemudian melanjutkan gerakan tangannya yang sempat tertunda.
"Terimakasih. Walau aku tak tahu apapun, aku tetap berterimakasih. Segeralah pergi, kau harus cukup tidur." Myra menarik sudut bibir nya. Lantas setelah berkata demikian, segeralah ia memasuki Laboratorium. Meninggalkan lelaki yang turut menyunggingkan senyum.
***
"... Jadi kita akan segera memulainya nanti malam." Aeghys mengakhiri kalimat panjangnya dengan helaan nafas. Setidaknya ia telah mengatakan yang ia tahu, dan beberapa hal yang singgah di kepalanya. Walau tidak seluruhnya, namun ia rasa itu sudah cukup.
"Ah, aku mengerti. Intinya, kita sedang di seleksi agar bisa memasuki kelompok terbang itu?" Zen angkat bicara. Matanya berbinar terang saat Aeghys mengangguk setuju atas opini nya.
Keempatnya lalu melalui hari dengan amat normal. Mereka mengisi perut dengan makanan instan, membanjiri tenggorokan dengan air mineral kemasan, dan juga berdiskusi tentang rencana malam nanti.
Hingga yang di tunggu-tunggu tiba, kini tepat pukul 11 malam. Semuanya telah bersiap dengan ransel masing-masing dan senjata. Mereka berulang kali meneguk saliva, semoga saja.. semoga saja! Semoga saja rencana kali ini berjalan dengan lancar. Semoga tiada darah yang menyapa oksigen, lalu berkahir di atas tanah untuk membasahinya.
Semoga saja!
"Hei Myra! Jangan kau lupakan lagi lilin itu. Kemarin kau meninggalkannya di kamar Asrama, jangan kau ulangi!" peringat El pada Myra. Yang di peringati mendengus sebal, selanjutnya beranjak mematikan api lilin dan meringkus lilin tersebut untuk dimasukkan ke dalam ransel.
Pintu Laboratorium Bahasa dibuka. Semuanya menahan nafas. Begitu Zen melongokkan kepalanya ke luar sana, lantas memutar-mutarnya, hingga memasukkan kepalanya lagi kedalam, mereka semua akhirnya dapat kembali bernafas.
"Bagaimana?" Myra yang pertama bertanya. Sepertinya ia tak mampu menahan rasa penasarannya.
Sebagai jawaban, Zen mengangguk mantap sembari tersenyum.
"Benar? Kau tidak berbohong atau melewatkan sesuatu?" El menyudutkan. Lagi, Zen hanya mengangguk mantap dan tersenyum yakin.
"Baiklah, kita mulai sekarang." komando Aeghys tegas. Zen mengangguk paham, langsung dibukanya knop pintu itu dan segera keluar dari ruangan. Ketiga anggota lainnya menyusul.
Selepas keempatnya berhasil keluar, pintu kembali ditutup rapat. Keempatnya kemudian berjalan perlahan dengan mata yang terus waspada walau keadaan sekitar remang-remang. Jam 11 malam dengan rembulan yang tertutup awan hitam, yang menyuramkan cahaya nya.
Keempatnya terus bergerak, melewati Laboratorium Seni, Laboratorium komputer, hingga sampai di Kantin pertama. Keempatnya menempelkan tangan dan wajah mereka pada pintu kaca kantin yang sudah bersimbah darah. Setelah bermenit-menit seperti itu, keempatnya pun menyimpulkan bahwa di dalam sana tak ada zombie.
Ctak! Cahaya itu berpendar lurus menyebar. Myra dan Zen hampir memekik kaget jika tak menahannya mati-matian. Aeghys melotot, menatap El yang dengan wajah tak bersalah nya tetap terus memberi cahaya kedalam sudut-sudut ruangan kantin.
"Apa yang kau lakukan?" kata Aeghys penuh nada yang ditekan.
"Memastikan." jawab El santai yang membuat dua orang lainnya makin kebingungan.
"Maksudmu?" Kali ini Zen angkat bicara.
"Kau tidak bodoh. Kau pasti mengerti." El kemudian mematikan senternya. "Cek pintunya." lanjutnya sembari menatap Zen.
Zen gelagapan, namun setelahnya segera bergegas mengecek pintu kaca tersebut. Tak lama, pintu itu pun terbuka. Keempatnya masuk tanpa basa-basi atau berjaga dengan bola mata kesana-kemari.
Mereka tak buang-buang waktu, langsung menyerbu makanan-makanan instan yang masih layak di konsumsi. Begitu pula air mineral kemasan, yang walaupun luarannya telah tercap oleh darah, namun masih dalam keadaan tersegel kuat. Dimasukkanlah pasokan makanan itu kedalam ransel masing-masing.
Ctak!
"El, jangan sembarangan—"
"Error Guy Catcher..? Kau tahu apa maksudnya itu Aeghys?" Zen mengganti kalimatnya sendiri. Nyatanya Ia lebih tertarik dengan tulisan berbasis darah manusia yang amat tak sedap dilihat itu, ketimbang memarahi El yang menghidupkan senter seenak jidatnya. Tulisan yang kemudian diberi cap gambar bunga di akhirnya.
"Penangkap orang 'error' (?)" Aeghys menjawab ragu.
"Grafity nya bagus. Tak ku sangka, para Zombie itu juga memiliki selera seni yang menakjubkan." El tertawa kecil, sebelum kembali mematikan senter dan keluar ruangan.
"Selanjutnya apa?" Itu yang pertama kali Myra katakan ketika keempatnya telah menyelesaikan urusan kantin dan tiba di pelataran. El menatapnya heran, memincingkan mata, lalu memutar bola matanya.
"Kau bodoh natural." cibir El sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Myra tak terima. Gadis itu hendak membalas perkataan rekannya barusan, namun Zen segera menengahi.
"Apa lagi? Kita akan melanjutkan perjalanan, Myra." Setelah berkata demikian, Myra langsung mengangguk paham. Mereka pun kembali mengendap-endap ke lokasi berikutnya.
Kamar mandi laki-laki terlewatkan, kini keempatnya telah sampai di kawasan kelas mereka, kelas 10. Tak disangka, rembulan tiba-tiba saja berhasil meloloskan diri dari tabir awan. Ia menerangi jalan keempat manusia yang berharap bisa melewati tempat pencarian ilmu mereka.
Akan tetapi, bukan keberuntungan yang didapat, melainkan malapetaka. Begitu cahaya rembulan menerobos ke seluruh penjuru, memudahkan keempatnya untuk melihat sesuatu di depan sana tanpa menggunakan senter, begitu pula para Zombie yang juga dapat melihat keempat mangsanya dengan amat jelas.
Keempatnya bagai lupa cara bernafas, tiga Zombie menghadang di depan kelas 10B. Berjarak tiga meter dengan mereka. Zen gelagapan, ia pemimpin. Sudah menjadi kewajiban untuk mengorbankan diri menjadi yang pertama.
Sial. Zombie itu perlahan berbalik, dan pupil nya segera mengecil untuk selanjutnya bersiap terseok-seok berlari menghampiri keempatnya.
Zen makin dibuat kebingungan. Ia tak tahu harus apa. Maka, ia memejamkan matanya. Berharap suatu ide cemerlang datang secara cuma-cuma dan memberinya setitik harapan.
Pats! "Mundur! Kubilang mundur! Sembunyi di kamar mandi! Hanya satu Zombie, Aku bisa mengatasinya!" Itu kalimat yang langsung ia katakan seketika setelah membuka mata. Anggota lain tentu saja tersentak kaget, bahkan memundurkan kakinya walau hanya selangkah.
"Tapi, Zen—!"
"Mundur sekarang! Aku pemimpin! Ikuti instruksi pemimpin!" perintah Zen tegas memotong ucapan Myra yang baru dua kata. El, Myra, dan Aeghys tak membuka mulutnya lagi. Ketiganya langsung segera lari terbirit memasuki kamar mandi pria sebagaimana instruksi yang Zen berikan.
"El, Aeghys, bagaimana jika—"
"Sst! Tugasmu sekarang hanyalah percaya. Jadi diam dan tunggu saja! Berdo'a lah kalau kau masih tak bisa mempercayainya." Myra menenggak air liurnya sendiri. Benar apa yang dikatakan Aeghys padanya. Kemudian mengangguk dan mulai memejamkan matanya. Ia tengah berdo'a.
Disisi lain, Zen bersiap dengan satu pisau dan satu pertahanannya. Ia memasang kuda-kuda, tak henti merapalkan do'a demi keselamatan nya dalam hati untuk dirinya sendiri. Ingin sekali ia mundur dan ikut bersembunyi dengan kawannya. Namun, tepat setelah Zombie-zombie itu melangkahkan kaki mereka. Bagi Zen, mundur selangkah pun agaknya amatlah mustahil.
—BERSAMBUNG— 11.01 - 1-04-2021 —