Chereads / ZEMA : Zombie's War / Chapter 11 - Gate Of Freedom

Chapter 11 - Gate Of Freedom

"Bersiap, kita akan keluar." Aeghys kembali menutup pintu aula yang sedikit terbuka itu. Lantas putar badan menuju peralatan miliknya berada. Yang lain mengangguk setuju, pun bergegas mengenakan perlengkapan dari mulai ransel dan lain-lain.

Beberapa menit berlalu tanpa ada yang berbicara satu patah kata pun, mereka benar-benar fokus sampai-sampai yang terdengar hanyalah grasak-grusuk gerakan. Dan akhirnya, mereka siap, kelimanya kemudian berbaris secara vertikal menghadap pintu utama aula.

Zen berposisi paling depan, dan El paling belakang.

Selain itu, maksudku, selain wajah tegang kelimanya, genggaman tangan mereka pun bergetar hebat. Sebab, masing-masing tangan kanan membawa sebuah botol kecil yang berisi cairan entah apa. Sepertinya, cairan itu lah yang dimaksud oleh Myra dan Aeghys tadi.

Zen menoleh kebelakang, lebih tepatnya menatap kearah Aeghys. Tak perlu berlama-lama, Aeghys langsung menganggukkan kepalanya yakin. Lalu Zen pun mengangguk, kembali menatap kedepan, dan setelah sempat menelan salivanya, ia pun membuka pintu itu.

Kriett..

Begitu suram suara yang dihasilkan engsel berkarat pintu tua itu, bahkan kenyaringan nya, sampai membuat Zombie-zombie yang tengah berdesakan dan kebetulan berada di dekat situ, menolehkan kepala mereka.

Kelimanya tanpa sadar, secara bersamaan, menelan ludah masing-masing. Mata-mata merah dan penampilan yang teramat mengerikan itu, membuat kelimanya merinding bukan main. Zen mematung, rasa-rasanya keberanian yang telah diyakini mumpuni itu raib entah kemana.

"Zen, sadarlah! Nyawa kita ada di tanganmu!" Itu Aeghys.

Gadis itu, walaupun telah mengucapkan kalimat yang sama sebanyak tiga kali, namun Zen masih seperti orang tuna rungu. Remaja itu tetap mematung. Itu membuat situasi semakin kacau. Ini benar-benar tidak seperti apa yang mereka diskusikan berhari-hari yang lalu.

Zombie-zombie itu mulai merengsek maju, bagaimana tidak? Mangsa mereka di depan mata! Dan tak berkutik sama sekali! Bukankah itu benar-benar menyenangkan?

Tak tahan, El yang mengerti situasi apa yang tengah terjadi di barisan depan, langsung ambil tindakan. Ia lantas menarik nafas dalam-dalam, untuk selanjutnya..

"OI RAMBUT UNGU! KAU MAU MEMBUAT KITA MAMPUS DENGAN KONYOL?! SADARLAH, TOLOL!"

Bravo! Zen mengedipkan matanya, usaha El berhasil.

Akan tetapi, keadaan telah begitu runyam.

Zombie-zombie itu telah menaiki tangga. Ditambah teriakan El yang begitu lantang mengudara, menarik perhatian Zombie-zombie lain yang lebih jauh keberadaannya.

"Zen, kau harus cepat." Zen mengangguk mantap. Matanya mengkilat.

Prang!

Sesuai dugaan, Zombie-zombie itu langsung menghindari tempat botol itu mendarat. Dan tempat botol itu mendarat, adalah tak begitu jauh dari posisi kelimanya.

"El! Sekarang!" El dibelakang sana langsung mengangguk, kemudian ia meniup kuat-kuat alat aneh di tangannya. Suara yang dikeluarkan tak begitu asing, itu mirip seperti suara gagak, tetapi bernuansa kesedihan.

Benar saja, tak lama kemudian, ratusan gagak datang, sebagian besar dari luar sekolah, dan sebagiannya lagi datang dari dalam lingkungan sekolah. Gagak-gagak itu seperti menemukan harta karun tersembunyi, mereka tanpa basa-basi mencabik-cabik para Zombie di lapangan.

"Maju sekarang, Zen! Efek botol itu tak lama!" Aeghys memberitahu, dan Zen tentu mengerti.

"Sekarang!" komando Zen lantang.

Gadis itu bergegas lari menerobos kawanan Zombie yang masih sibuk sendiri dengan para gagak. Sialnya, beberapa Zombie yang tidak di ganggu gagak, masih sempat mencengkram beberapa anggota tubuh kelimanya. Hingga akhirnya mereka sampai di tempat botol itu pecah, mereka berhenti berlari dan sibuk mengatur nafas.

Selang beberapa detik kemudian, Zern menyodorkan tangannya kebelakang. Aeghys segera mengerti, tangan itu kemudian di isi satu botol yang sama lagi. Zen kembali berdiri tegak, tangannya mengayun tinggi hingga botol itu kembali terlempar tak jauh dari posisi mereka. Seperti tadi, para Zombie langsung membuat lubang anti diri mereka sendiri.

Zen tersenyum, kemudian ia kembali berteriak lantang. Menyuruh maju. Dan kelimanya kembali berlari ke sisi tersebut. Mereka terus melakukan hal yang sama, berlari zig-zag menghampiri titik-titik anti Zombie yang telah Zen buat.

Sementara El, gadis itu memiliki tugas berlipat. Sembari berlari, ia tak henti meniup alat aneh yang senantiasa ia genggam. Membuat banyak kelompok gagak terus berdatangan.

Akhirnya, kini kelimanya telah sampai tepat di depan gerbang teralis yang menjulang tinggi. Itu tentu saja gerbang sekolah, gerbang yang akan menjadi pintu kebebasan mereka dari tempat yang telah berminggu-minggu mengurung diri kelimanya.

Lantas, sebab pintu keberhasilan itu telah tepat didepannya, Zen tak membuang waktu lagi. Gadis itu langsung mencengkram teralis dengan kuatnya. Kakinya mulai menginjak besi yang dibentuk sedemikian rupa indahnya. Ya, ia memanjat gerbang itu. Sempat terperosok, namun akhirnya Zen berhasil tiba di atas. Ia segera menggeser diri, bertengger di atas tembok pembatas.

Setelah Zen, kini giliran Aeghys yang akan memanjat gerbang. Akan tetapi, hal aneh terjadi. Bukan Aeghys yang memanjat, melainkan Myra, orang yang berada di urutan setelah Aeghys. Myra mulai menaiki teralis itu, hingga ia akhirnya juga tiba di atas tembok pembatas dengan sedikit bantuan Zen.

"Mengapa Aeghys berganti posisi denganmu?" Zen kebingungan. Yang ia tahu, Aeghys bukanlah tipe orang yang suka mengalah, dan itu memang benar. Myra, gadis itu mengendikkan bahunya bersamaan dengan ia menggelengkan kepalanya.

Zen menatap ke bawah sana. Dan ia terkejut, ketika yang memanjat gerbang selanjutnya bukanlah Aeghys, melainkan Arify. Sesampainya Arify di atas sana, Zen pun menanyakan hal yang sama. Dan jawaban yang Arify luncurkan, sialnya sama persis dengan jawaban Myra tadi.

Begitupun dengan El. Remaja itu adalah orang yang sampai keatas setelah Arify. Dan saat di tanya Zen, jawaban gadis itu pun sama saja. Kini, empat dari mereka sudah bisa dikatakan berhasil. Sedangkan Aeghys, gadis itu entah apa yang ia pikirkan, tak juga mau naik ke atas sana.

"Hei Rambut Kuning! Apa yang sebenarnya kau pikirkan, hah? Cepatlah naik!" El geram, ia benci perasaan khawatir. Benar-benar benci.

"Aku tak bisa memanjat, tinggalkan saja aku." Aeghys, gadis itu berkata demikian dengan raut datarnya. Tak senyum, dan tak murung. Itu adalah ekspresi normal nya.

"Omong kosong! Bahkan anak TK pun bisa memanjat gerbang ini!" Aeghys tetap menggeleng, membuat keempat orang diatas sana frustasi. Di sisi lain, jumlah gagak semakin berkurang. Zombie-zombie itu ternyata lebih tangguh dari yang mereka duga. Sialnya, setelah beberapa dari Zombie itu lolos dari serangan gagak, mereka mulai berkumpul di sekitar gerbang.

"Zen, kau! Kau bujuk bocah kuning tengik itu! Bujuk dia untuk naik!" Zen mengangguk paham, tapi kemudian ia terlihat kebingungan. Seperti nya ia mengingat sesuatu.

"Aeghys! Bukankah kau amatlah pandai memanjat? Bahkan pohon tanpa dahan pun kau bisa! Tak perlu mengelak, aku pernah melihatnya dengan mata kepala ku sendiri!" Kalimat Zen berhasil membuat ketiga orang lainnya terkejut, apa artinya Aeghys sedang membohongi mereka?

Sedangkan, di bawah sana, Aeghys memijat pangkal hidungnya. "Bisa-bisanya, ia mengingatnya."

"Aku tak bisa memanjat, kaki ku terkilir!" Aeghys balas menjawab, semakin membuat keempat orang di atas sana curiga bersamaan dengan cemas, Zombie-zombie itu semakin dekat!

El, gadis itu sepertinya sudah tak tahan lagi. Ia langsung bersiap turun setelah Aeghys menyelesaikan kalimatnya, bahkan satu kakinya sudah kembali menapak pada lengkungan besi. Aeghys gelagapan, gadis itu malah kebingungan.

"Kau mau apa?" Myra takut-takut bertanya, raut wajah El benar-benar merah padam, remaja itu sepertinya marah besar. Ditambah aura suram yang menguar semena-mena dari tubuhnya.

"Menyelamatkan anjing yang butuh bantuan." Sarkas El.

"Berhenti El! Ku bilang hentikan tingkahmu itu! Atau aku akan lari ke tengah kerumunan!" Gerakan El langsung terhenti. Ia kemudian menoleh ke bawah, menatap Aeghys keheranan. Mereka berdua sepertinya sedang berdebat lewat tatapan mata. Hingga yang memenangkan perdebatan itu dipastikan, El menghela nafasnya dan kembali ke posisi awalnya.

"Pejamkan mata kalian." Titah El dengan suara parau nya. Yang lain saling tatap, tak mengerti situasi apa yang tengah terjadi saat ini.

"Maksudmu apa, El?"

"Aku bilang tutup mata!"

Zen, gadis itu tersentak kaget ketika El membentaknya. Akan tetapi, Zen langsung memahami situasi. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bersilat lidah, sebab dibawah sana, seseorang tengah menunggu ajalnya yang sudah sedekat jempol dan telunjuk.

Keempat manusia yang bertengger di atas tembok itu pun memejamkan matanya. Walaupun sebagian besar dari mereka masih bertanya-tanya.

Kemudian tanpa satu pun orang lainnya yang menyadari hal tersebut kecuali El dan Aeghys sendiri, tiba-tiba saja tepat saat tiga Zombie itu hendak melayangkan gigitan secara bersamaan, waktu seakan terhenti.

El membuka matanya, gadis itu merasakan hawa dingin yang sama dengan hawa yang dulu pernah ia rasakan juga saat tengah menyelamatkan Myra di Asrama. Sama persis. Sehingga perasaan tak asing itu membawa kedalam pupil nya yang mengecil.

Dirinya dan Aeghys saling bertatapan. Namun, kedua tatapan itu amatlah terasa bedanya.

Aeghys tersenyum kecil, merasa usaha dan teorinya terbukti berhasil. Lantas gadis berambut keemasan itu melompat kearah pagar, memanjat dengan lincahnya hingga akhirnya sudah ikut bertengger di samping teman-temannya.

El masih kebingungan, raut wajahnya tak sedikit yang menunjukkan bahwa ia ketakutan. Bayangkan saja! Gerakan-gerakan Zombie-zombie itu seakan berhenti dalam sekejap. Bahkan daun yang jatuh pun terhenti di awang-awang, begitu pula sang Angin. Apa yang El lihat sekarang ini, adalah seperti sebuah Vidio yang di- pause saat tengah dimainkan.

"Apa maksud-?"

Aeghys meletakkan telunjuk kanannya di atas bibir ranum miliknya. Mengisyaratkan agar El menunda dahulu pertanyaan yang Aeghys tahu sendiri apa.

El menelan salivanya, lalu kembali menutup mata nya tanpa menanggapi lebih jauh kelakuan Aeghys. Sedangkan Aeghys, gadis itu pun sama halnya. Ia ikut memejamkan mata nya.

Lama keduanya berada dalam keheningan yang menusuk kulit. Hingga secara bersamaan keduanya kompak mengucap,"Buka mata kalian, sekarang."

Myra, Zen, dan Arify kompak membuka mata mereka. Terkejut ketika mendapati Aeghys yang telah lenyap dari tempat terakhir mereka melihat gadis itu. Namun, ketika hendak bertanya pada El, ketiganya menghela nafas lega.

"Kita turun sekarang?"

***

"Masih berapa lama lagi?" Arify mendesah panjang, sesekali sambil menepuk-nepuk lututnya yang terasa amat pegal bukan main.

"Sebentar lagi, setahuku sehabis belokan itu, kita akan langsung mendapati gedungnya." El melotot, matanya menatap punggung gadis berambut pendek itu dengan sebal.

"Sedari tadi, kau pun mengatakan hal yang sama! Dan nyatanya setiap belokan kita tak pernah menemukannya!" Gemas El. Myra menoleh kebelakang, ia meringis kecil, lantas terkekeh.

"Percayalah padaku, El. Itu belokan terakhir kita." El mendengus, akan tetapi gadis itu akhirnya mengakhiri acara protes nya pada Myra. Menandakan dirinya tengah mencoba untuk percaya pada perkataan Myra.

"Kau harus percaya padanya El, secara dirinya lah yang sudah sering keluar asrama diam-diam. Membelot peraturan tanpa ketahuan itu sudah menjadi keahlian khususnya." Myra menoleh lagi kebelakang, kali ini menatap sinis Zen yang juga tengah menatap sinis dirinya.

Akan tetapi tatapan mata keduanya tak berlangsung lama, Myra memutuskan kontak mata mereka dan kembali menatap kedepan.

"Bukannya itu karena kerja OSIS yang bahkan hanya untuk sekadar menangkap basah diriku saja tak mampu? Mereka tahu, mereka bahkan pernah melihatku secara langsung memanjat pagar. Namun, mereka bodoh, mereka sama sekali tak punya bukti fisik apapun mengenai itu. Maka jika ada anak TK disana pun pasti kalau dia mau, dia juga bisa." Zen mendidih, mendengar perkataan Myra yang seperti merendahkan dirinya yang menjabat sebagai ketua OSIS itu sudah cukup untuk membuat emosi nya terpancing seketika.

"Hei-"

"Sudahlah, kalian ini berdebat hal yang sama sekali tak penting. Lagipula kita sudah meninggalkan sekolah itu, jadi kita bukan pelajar lagi. Kita bebas." Timpal Arify.

"Ya, bebas. Zen bukan lagi ketua OSIS, melainkan ketua geng kecil kita. Dan Myra bukan lagi pembelot di sekolahan yang menimbulkan banyak masalah, melainkan orang bolot yang akan menyusahkan kita." Tambah El sembari tersenyum kecil. Arify mengangguk mengiyakan, tawanya tergelak begitu saja ketika mendapati wajah sebal Myra dan Zen.

"Kita sampai." ujar Myra ketus.

"Kau yakin disini tempatnya, Myra?" Arify menatap kebingungan bangunan dua lantai yang berdiri kokoh dihadapan mereka. Myra mengangguk tegas, gadis itu terlihat begitu yakin.

Zen yang menyimak dialog singkat keduanya, kemudian berinisiatif memimpin rombongannya memasuki bangunan yang disebut kantor polisi itu.

Tembok-tembok tak lagi bersih sebagaimana dahulunya. Banyak sekali bekas-bekas darah yang sudah mengering, lalu kertas-kertas dokumen yang berceceran di lantai, peluru-peluru yang terlantar atau tertancap di meja dan kursi kerja. Yang paling mencolok adalah bau anyir yang hampir saja membuat Myra muntah, dan beberapa onggokan tubuh berseragam selaras dengan warna bangunan, tanpa kepala.

Kelimanya kemudian saling bertatapan, seperti bicara mengenai kekhawatiran mereka yang seolah-olah sama. Bagaimana jika mereka di jebak? Bagaimana jika saat mereka menginjakkan kaki di lantai dua itu, kepala mereka secara kompak menggelinding menuruni tangga?

Sebab rata-rata mayat yang mereka lihat di sepanjang jalan dan kantor ini, adalah mayat dengan ciri khas dia si Penjagal. Jadi, akankah mereka selamat ketika mereka bertamu kepada para pembunuh tak kenal hati itu? Akankah?

-BERSAMBUNG- 14.49 - SELASA, 4 MEI 2021-