"Maaf Kek, bukankah Kakek sendiri yang mengatakan bahwa mereka berbahaya?" bujuk Myra. Sang Kakek hanya dapat menunduk dalam, dengan bahu yang mulai bergetar naik turun. Membuat keempat remaja itu saling bertatapan, bingung harus bagaimana.
Myra dan Zen masih setia mengelus-elus punggung sang Kakek, berusaha menenangkan.
"Kami tidak punya banyak waktu jika ingin rombongan anda kami selamatkan." celetuk Aeghys datar dan diangguki El.
sang Kakek mengusap wajahnya kasar, lantas menatap Aeghys yang berdiri tepat dihadapannya.
"Izinkan saya untuk ikut, saya tak akan masuk ke Gereja itu. Saya hanya akan berdiam di mobil."
Aeghys diam sejenak, tak menanggapi. Otaknya bekerja keras, menimang-nimang keputusan yang akan ia berikan. Hingga kemudian kepala itu naik turun, dan detik selanjutnya, keenam orang itu masuk ke mobil dan meninggalkan lokasi.
***
"Berhenti."
Ckiiittt!!! Roda mobil kembali terkikis hebat oleh aspal, menyisakan jejak hitam.
El, gadis itu mengumpat pelan. Sepertinya apabila yang akan ia tolong adalah manusia tua, mungkin saat ini El tengah memaki-maki tepat di depan wajahya.
Kelima gumpalan pelindung otak itu menoleh ke kanan, mengikuti arah pandang sang Kakek. Dan pekikan kecil keluar dari mulut Myra, gadis itu bahkan sampai membungkam mulutnya sendiri saking terkejutnya.
Zen pun sama halnya, bedanya gadis itu hanya membelalakkan mata. Sedangkan El sendiri mendesah panjang, penyesalan seperti nya berhasil memenuhi rongga dadanya. Mengapa ia tak menghentikan teman-temannya tadi saat mengiyakan untuk menawarkan bantuan pada sang Kakek?
sang Kakek sendiri langsung panik. Menatap keempat anak muda yang telah berbaik hati menolongnya dengan tatapan khawatir.
Dan diantara kelima orang itulah, hanya Aeghys dengan air mukanya yang tetap saja datar. Bahkan bisa dipastikan, tak ada satupun dari bagian wajahnya yang bergerak berlebihan.
Kelima orang itu hanya diam menatap kearah kerumunan itu. Kerumunan manusia tanpa akal yang begitu beringas.
Ya, tentu saja, kerumunan mengerikan itu berada tepat di depan gereja, berusaha menerobos masuk dari sang Pagar yang mulai reyot.
"Bagaimana ini?" cicit Myra panik. Dan tepat setelahnya, salah satu pintu terbuka. Mengalihkan seluruh perhatian para manusia yang disana.
"Aeghys!" Pekik Myra tertahan ketika dirinya mendapati remaja berambut kuning itu kini sudah berada di luar mobil. Aeghys tak merespon, hanya menatap datar kearah Zen yang juga menatap nya.
"Gun Ramset."
Hening.
"Ah sial, aku lupa kita punya alat itu."
Aeghys hanya melengos, malas menanggapi kebodohan kawannya yang datang secara serempak. Ia menarik kesimpulannya yang sudah ia tetapkan sejak pertama bertemu dengan ketiga perempuan itu, nyatanya tiada tingkatan untuk kepandaian ketigannya. Semuanya sama-sama bodoh.
El mencabut kunci dari lubangnya, mengakibatkan deru mobil yang cukup berisik itu berhenti. Zen ikut turun, gadis berambut ungu itu lalu pergi ke belakang kendaraan, bersiap membuka bagasi.
"Myra! Bantu aku!" perintah Zen dari belakang sana yang langsung mendapat respon cepat dari Myra. Gadis merah itu segera bangkit dari duduknya dan bergegas mengintil Zen.
Menit demi menit berlalu, keempat nya sibuk menyiapkan segala peralatan, memasang Gun Ramset di badan mereka, dan mempersenjatai diri dengan pistol, pisau dan lain sebagainnya. Hingga akhirnya persiapan pun usai, keempatnya kini siap bertempur.
"Kakek, kami akan segera kembali." Senyum Myra mengembang begitu cantiknya. Begitu menenangkan, dan mampu membuat sang Kakek percaya pada nya.
Sang Kakek pun mengangguki walau dengan gurat ragu tak juga mampu hilang walau dirinya sudah percaya pada kata-kata Myra.
Pintu mobil di tutup, Myra asyik melambai pada sang Kakek. Gadis itu nampaknya belum menyadari seberapa besar bahaya yang akan ia hadapi nanti.
Srrrk! Srrrkk!
Hingga kabel demi kabel terlontar dari rumahnya, paku demi paku menancap pada dinding-dinding beton yang masih kokoh sebagaimana mestinya. Manusia-manusia itu terbang layaknya kupu-kupu, terlampau lihai bagai burung elang yang sudah membidik jauh-jauh sang Mangsa.
"Kwak! Kwak! Kwak!"
Sepatu yang terbuat dari bahan langka itu kini berpijak pada genting-genting bangunan Gereja Tua. Mengusir para gagak yang sudah seperti tuan rumah, membuatnya berterbangan tak tentu arah.
Nampak dari sini secuil dari keseluruhan bumi yang kini mereka tinggali. Bumi yang berada di ujung tanduk, di ambang kemusnahan. Zombie-zombie itu semakin menggila saja, mengingat tingkah bodoh Myra yang menyiramkan air mineral sewaktu melayang tadi, itu sudah sepantasnya terjadi. Kim
"Kita masuk?"
Aeghys mengangguk tegas, tatapan matanya tajam menanggapi pertanyaan Zen barusan. Seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa dirinya terlalu berambisi untuk sekedar basa-basi.
Balasan Zen sama halnya dengan Aeghys, lantas setelahnya ia menghadap Myra. Memberi kode bahwa sudah saatnya.
Brak! Brak! Brak! Krak!
Genting itu pecah setelah tiga hentakan kaki Myra luncurkan. Gadis itu kemudian berjongkok, mengangkat genting-genting sekitar dan membuat lubang yang begitu besar. Ia lalu melongok kedalam, mencoba mengecek situasi.
Alhasil, lubang yang cukup besar terbentuk disana. Myra tanpa basa-basi lagi langsung melongokkan kepala. Syukurlah, gadis itu kini sudah tak terlalu dongo. Tak lama kemudian, kepala itu ditarik kembali. Myra menatap ketiga kawannya dengan wajah berseri.
"kalian bisa lihat sendiri."
Kalimat itu mengakibatkan kebingungan yang menjalar. Namun, ketika ketiganya melihat smirk kecil itu, terjun bebas segera dilaksanakan.
Kabel-kabel panjang menancapkan pakunya, membuat garis lurus yang terlihat membingungkan.
Dan gerakan-gerakan mendadak tersebut, nyatanya mengejutkan sekelompok manusia gempal nan kucal dibawah sana. Tato-tato jelek yang bertebaran hampir menutupi seluruh permukaan kulit, menandakan bahwa mereka lah para bandit sangar yang diceritakan telah menyandra rombongan sang Kakek Apel.
Sialnya, bandit-bandit itu nyatanya tak bodoh-bodoh amat. Mereka tetap mengantongi senjata meskipun dalam keadaan istirahat.
Dan kini, ledakan-ledakan peluru mencoba menembus daging para lalat yang telah menganggu jadwal tidur malam sang Tuan Rumah.
Berusaha semaksimal mungkin menghindari hujanan bijih besi, keempat orang itu tetap mengayun bagai Tarzan. Bedanya, mereka berada di dalam gereja, dan melompat dari tiang satu ke tiang lainnya.
"Percepat pendaratan! Kita belum mahir mengenakannya!" teriak Aeghys begitu lantang.
"Sekarang?!"
"Rampas senjata!"
Tanpa menghiraukan pertanyaan Myra, Aeghys melontarkan komando keduanya. Myra, gadis itu terlihat sedikit kebingungan, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk ikut mengangguk.
Hal selanjutnya adalah tubuh keempat remaja yang mulai menukik kebawah. Mata mereka membidik fokus pada moncong-moncong pistol yang setia ditodong.
Di sisi lain, para bandit buruk rupa itu nampaknya mulai kelabakan. Raut panik dan kebingungan terukir jelas di air muka mereka. Dan tepat ketika senjata mereka satu-persatu hampir raib di rampas, mereka berusaha mati-matian untuk tak melepaskan pegangan, dan menarik berulang pelatuk.
Sayangnya, hal tersebut tak berhasil mencegah perpindahan kepemilikan senjata mereka.Kenyataannya, tenaga mereka kalah jauh dengan tekanan Gun Ramset milik para bocah tengik.
GEDEBUG!
Suara itu sempat mengalihkan seluruh atensi makhluk di gereja tersebut, bahkan para sandera yang ZEMA kira sedang tak sadarkan diri, sampai menolehkan kepala mereka. Namun, yang didapati hanyalah seonggok tubuh besar yang tengah terjengkang dengan satu kaki El yang nampaknya baru saja mencicipi wajah jelek itu.
El menatap heran pada kawannya, lantas ia mengangkat tiga pistol rampasannya tinggi-tinggi.
"Aeghys, sekarang?!"
Tolehan terjadi, gadis berambut pirang itu menoleh sekilas kearah Zen, lantas kemudian matanya berputar-putar memindai situasi. Sempurna! Para bandit-bandit berperut buncit itu telah dalam keadaan tangan kosong. Tolehan kedua terjadi, dan kali ini Aeghys mengangguk.
"Mendarat!"
Selang sepersekian detik, tapakan sepatu kemudian terdengar saling susul-menyusul. Kabel-kabel itu menghilang, terserap kembali kedalam kandangnya. Menyisakan empat remaja yang kini berdiri bersisian.
"Menyerahlah!" Zen selaku pemimpin pasukan kecilnya mencoba menggertak. Akan tetapi, respon yang gadis ungu itu dapatkan adalah berbanding jauh dari ekspetasi nya. Para bandit itu malah tertawa, melanglang membuat bingung. Mereka seolah menganggap gertakan Zen sebuah lelucon.
Para bandit itu setia tertawa, dengan langkah demi langkah, mereka pun maju mendekati ZEMA.
"Haduh.. haduh.. kusangka angkatan, malah ternyata hanya bocah ingusan yang sedang berayal menjadi pahlawan."
Gelak tawa kembali terdengar menggelegar, dan posisi para bandit itupun semakin dekat dengan keempatnya.
Pedang pun segera dicabut dari sarangnya, ZEMA semakin waspada, karena mau bagaimanapun, apa yang dikatakan para bandit barusan itu benar adanya. Mereka hanyalah bocah ingusan yang berlagak menjadi pahlawan. Mereka tentu akan kalah telak bila beradu tinju. Sudah kalah stamina, kalah ukuran, kalah jumlah lagi.
"Lepaskan para sandera!"
Kompak, para bandit itu berhenti bergerak, melihat bocah ingusan yang akan mereka hadapi itu nyatanya bersenjata, tak dapat dipungkiri bahwa mereka sedikit gentar. Apalagi kilauan pedang yang menandakan bukan main tajamnya. Sedikit saja membelai kulit mereka, mungkin tulang pun ikut terbelai.
Namun hal tersebut tak belangsung lama, sebab tiba-tiba saja salah satu bandit itu berseru nyaring sembari menunjuk kearah belakang ZEMA. Sialnya, seruan itu seolah-olah komando, sebab selang beberapa detik kemudian, tawa yang sempat berhenti itu mendadak kembali terdengar. Bahkan lebih keras dari yang sebelumnya.
ZEMA tentu dibuat kebingungan bukan main, hingga akhirnya..
"Aeghys, lihat!" Aeghys yang sebenarnya sudah memantapkan niat agar tak mengalihkan fokus sedikitpun dari musuhnya, akhirnya memutar kepala kebelakang, mengikuti instruksi Zen.
"Hai adik manis."
Disana, di anak tangga itu, berdiri seseorang dengan pakaian medis dan wajah yang begitu rupawan. Penampilannya berbanding terbalik dengan para Bandit yang baru saja ZEMA temui. Begitu bersih, tanpa ada sebercak noda pun pada kain putih yang tengah membalut tubuhnya.
Sialnya, bukan hanya hal tersebut yang membuat ZEMA kebingungan sekaligus terkejut, melainkan tangan lelaki itu yang kini tengah menodongkan pistol nya kearah kepala seorang bocah, yang nampak pasrah akan nasib yang akan menimpa dirinya.
Para bandit masih tertawa tak henti-henti, sampai raungan pendek itu menginterupsi dan membungkan belasan mulut yang ada. Dan tentu, raungan itu adalah milik sang Lelaki tangga. Maka tanpa perlu berdiskusi lebih lanjut, keempat mata remaja itu semakin menyipit, mereka sadar, Lelaki sok tampan itulah pemimpin daripada kelompok kurang asam ini.
Tiba-tiba saja, telunjuk lelaki itu mulai merayapi pelatuk pistol, tentu saja sembari tersenyum manis -yang malah terlihat begitu menyebalkan di mata ZEMA-. Sedangkan ZEMA sendiri mulai gelisah, pedang di tangan semakin digenggam erat. Begitupun kaki mereka yang sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari apabila hal yang tak diinginkan terjadi.
Akan tetapi, telunjuk itu lebih cepat. Bahkan belum selesai batin keempatnya merapal do'a, bunyi yang begitu menggetarkan hati mengudara dengan kencangnya.
Ya, sebuah peluru berhasil di luncurkan ditengah keheningan gereja. Manusia lain –kecuali para bandit- yang menyaksikan hal tersebut bahkan sampai menahan nafas, dan tak sedikit pula yang memejamkan mata.
Gelak tawa dengan lantangnya berkumandang, mengejutkan seluruh penonton sebelum tak lama kemudian tawa yang lainnya menyusul.
ZEMA semakin geram dengan sosok berbaju serba putih di depan mereka ketika mengetahui bahwa mereka tengah dipermainkan.
Ya, peluru itu sama sekali tak menyentuh sang bocah yang tengah di sandera, melainkan menyasar pada permukaan beton itu.
"Takut?"
Tak satupun dari keempat mulut itu terbuka, ZEMA memilih menjawab dengan tatapan mata yang begitu tajam. Berusaha menghujam.
"Hei jelek, sekedar saran, berhenti mempermainkan kami, atau ganjaranmu semakin besar." Itu El, yang seperti kalian tahu, amatlah bodoh pasal atur mengatur emosi.
Akan tetapi, tanggapan yang si Putih berikan amatlah jauh dari ekspektasi ZEMA. Lelaki itu malah tertawa, begitu menggelegar, seolah-olah kelakar yang baru saja El sampaikan, hanyalah rengekan bocah dua tahun.
"Ada nyali juga kau." cibir si Putih setelah tawanya mereda, sembari menyembunyikan pistol nya kedalam kantung jas dokter super bersih miliknya. Keempat remaja itu sontak dibuat kebingungan, mengapa? Namun sebelum sempat berpikir, dua kata dari si Putih membuat keempatnya gelagapan.
"Tangkap mereka!"
BERSAMBUNG—Senin, 21-06-2021—09.17