Ryveal tetap menggeleng. Teguh sekali pendirian lelaki berambut hitam itu walau sudah hampir dua minggu berlalu.
"Ryveal, kau yakin?" kali ini Ryveal mengangguk, menandakan bahwa ia benar-benar yakin dengan keputusannya. Dan hal itu membuat Aeghys melengos, disusul lenguhan kecewa Zen.
"Maafkan aku, Zen, Aeghys, namun aku tak ingin merasakan kehampaan itu lagi. Dan maka dari itu, aku mengagumi keberanian kalian, amat mengagumi, lebih dari rasa kagum ku kepada Kaeya," ucap Ryveal sungguh-sungguh.
"Ekhem." Reflek semua kepala menoleh ke satu arah, tentu saja ke arah Kaeya yang kini tengah berdiri sembari memutar bola matanya malas dengan tangan bersedekap dan punggung yang bersandarkan tembok.
Lelaki itu, dia memang keren.
Setidaknya itulah yang tersirat dari gurat wajah Myra.
"Hei tunggu!" Suara yang teramat familiar ditelinga para manusia itu membuat keempatnya menghentikan langkah, lantas berbalik. Sedangkan sang pemanggil masih berlari kecil menghampiri keempatnya sembari membawa sebuah kotak berbalut kertas kado yang diberi pita pink pada bagian tengah nya.
Reandra, nafas lelaki itu tak beraturan, pundaknya masih naik turun saat dirinya kini telah tepat berada di depan Myra.
Kotak itu disodorkannya, dan tentu saja Myra dengan senang hati menerima. Kemudian, kedua pasang mata itu beradu pandang.
"Aku dengar, beberapa hari lagi, kau berulang tahun? Entahlah itu benar atau tidaknya, sebab aku mendengarnya dari seseorang yang teramat sulit untuk dipercaya. Tapi, walaupun kabar itu tak benar, aku tetap memberi mu hadiah kecil ini. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf sebab aku tak bisa menyelesaikan projek helikopter itu, dan membuat kelompokmu berada dalam kesulitan."
Myra tersenyum kecil, membuat Reandra entah mengapa mengusap tengkuknya dan ikut meringis layaknya orang bodoh.
"Sebenarnya, kau tak perlu memberiku hadiah, walaupun benar sebentar lagi aku akan berulang tahun. Dan tentang projek Helikopter itu, sejujurnya aku bersyukur kau tak menyelesaikannya. Karena aku sendiri takut ketinggian, haha."
Tawa canggung Myra terdengar. Gadis itu sepertinya tak nyaman dengan tatapan ZEMA dan REBORN, yang seolah-olah tengah menjahili dirinya.
"Ah, baiklah, aku akan ingat itu! Takut ketinggian ya? Baiklah, baiklah." Kepala Reandra mengangguk-angguk, seolah tengah merencanakan sesuatu yang begitu rumit di kepalanya.
Keduanya kemudian terdiam sejenak, hanya saling menatap ke bawah, entah mencari apa. Tak jarang Reandra mengangkat pandangannya, mencuri-curi kesempatan untuk bertatapan dengan Myra yang kini entah mengapa menjadi feminim.
"Itu—"
"Ekhem, kita akan terlambat." El menginterupsi, membungkam paksa bibir lelaki humoris itu.
Reandra salah tingkah. Lantas ia menyengir lebar.
"Dia benar, maaf menyita waktu. Silahkan pergi." Myra mengangguk tanda setuju, lantas gadis itu membalikkan badannya dan melanjutkan langkah hingga seluruh ZEMA telah lengkap di dalam mobil modifikasi itu.
El memasukkan kunci, memutarnya dan siap menjalankan mobil. Myra dan Zen kompak melambaikan tangan ke arah anggota REBORN, yang tentu dibalas dengan begitu haru.
"SEMOGA KITA DAPAT BERTEMU LAGI!" teriak Myra lantang. Senyum khas nya telah kembali merekah, ya, tak ada lagi senyum malu-malu.
Mobil berjalan, kecepatannya sekitar 110 KM/Jam, dan itu kecepatan yang konstan. Membuat jantung keempatnya yang sempat berpacu kuat, mulai terbiasa.
"Ah ya, aku masih belum mengerti alasan Arify tak ikut dengan kita." Kraus! Keripik kentang itu hancur berkeping-keping ketika gigi-gigi berkilau milik Myra menjepitnya.
Aeghys menghela nafas, untuk kemudian menutup kasar bukunya, membuat seluruh atensi mengarah padanya.
"Zen, ganti tempat duduk." Zen mengangguk, keduanya lalu sibuk sendiri memindahkan diri dan barang-barang mereka. Setelah beberapa menit kemudian, Myra akhirnya duduk bersisian dengan Zen, sedangkan Aeghys disamping El yang tengah fokus mengemudi.
"Jelaskan Zen!" Mata Myra berbinar-binar, membuat Zen hampir tertawa. Ia seperti melihat seorang anak kecil yang sangat antusias untuk di ceritakan sebuah dongeng pengantar tidur.
"Singkatnya, sepertinya Arify merasa iba dengan Ryveal. Ia mungkin ingin mengembalikan tawa Ryveal yang telah lama senyap?"
Myra mengerutkan dahi, merasa tak puas dengan jawaban Zen yang terlampau jauh dari ekspetasinya.
"Hanya itu?" Zen mengangguk sebagai jawaban, membuat Myra makin dibuat frustasi. Nampaknya, gadis berambut pendek dengan warna merah menyala itu tahu sesuatu, dan ingin memperkuat asumsi dengan penjabaran Zen. Akan tetapi sayangnya, Zen tak mengucapkan apa yang ingin ia dengar. Mungkin itu hal yang tersirat dari air muka nya saat ini.
"Kau yakin?" Sekali lagi, Myra menanyai. Memastikan tak ada hal yang di sembunyikan Zen darinya.
Dan Zen dengan sabarnya mengangguk.
"Tapi kenapa waktu itu, sebelum Ryveal meminta maaf pada kita, aku melihatnya berdua dengan Arify sedang duduk berdampingan di rooftop. Dan yang mengejutkan adalah ketika keduanya saling berpelukan. Rasa iba kah itu?"
Sontak, seluruh isi mobil kompak terhenyak. Bahkan Aeghys dan El yang terkenal anti terkejut, sampai menolehkan kepala mereka kebelakang.
"Kau mengibul kami?" El yang pertama berbicara. Nadanya terdengar sarkas, seperti hendak mengintimidasi Myra agar gadis itu berhenti main-main.
"Untuk apa aku bohong, El? Aku benar-benar melihatnya malam itu! Itu satu-satunya alasan mengapa aku tak merespon pertanyaanmu, dan dengan lesu kembali membaringkan diri!" Myra bersikeras menjelaskan. Gadis itu bahkan sampai membuat bahunya naik turun tak karuan.
El tak membalas, dirinya kembali menyibukkan diri dengan kemudi miliknya, walau sesekali menengok kebelakang hanya demi mendengar dengan jelas perdebatan yang tengah terjadi.
"Kau tak menipu kami kan?" Kini giliran Zen yang angkat bicara, wajahnya masih dengan raut tak percaya.
"Astaga, Zen! Apakah aku sekarang terlihat main-main? Aku bersumpah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!"
"Kalau kau benar, maka mengapa Arify tak memberi tahu kita? Aeghys, aku tak mau menyalahkanmu, tetapi kau adalah orang yang paling dekat dengan Arify. Jadi—"
"Aku tahu." Aeghys menghela nafasnya panjang. Jemarinya mengurut pangkal hidung.
"Arify minta untuk dirahasiakan."
Kali ini Aeghys yang berhasil merebut seluruh atensi secara dadakan. Dan kerutan-kerutan alis itu muncul di dahi ketiga partner nya.
"Itu tidak masuk akal, Aeghys!" Myra membantah, menolak keras kata-kata Aeghys. Sedangkan yang berkaitan hanya menghela nafas, malas meladeni.
"Myra, itu masuk akal. Aeghys tentu tak akan mengizinkan Arify yang akan sangat berguna bagi kita itu untuk tidak ikut dengan alasan Iba pada Ryveal. Aeghys pasti menolaknya mentah-mentah dan bersikeras mengikutkan Arify. Tapi kalau untuk masalah hati, Aeghys, aku percaya padanya bahwa dirinya juga paham bagaimana perasaan itu. Maka dari itu, ia memberi izin."
Myra memutar bola matanya, lantas manggut-manggut sebagai respon dari penjelasan Zen yang begitu panjang.
"Baiklah, baiklah, lantas mengapa Aeghys tidak memberi tahu kita? Ya, aku tahu itu rahasia dan Arify yang meminta nya sendiri untuk disembunyikan. Aku tahu juga itu hanyalah hal sepele yang tak masuk akal untuk didebatkan di tengah situasi kita saat ini. Yang menjadi pertanyaan ku adalah mengapa? Mengapa Aeghys tak memberi tahu kita dan menyetujui untuk merahasiakan nya? Dan mengapa Arify meminta untuk dirahasikan? Ini tentang kepercayaan. Kepercayaan antar anggota! Apa kalian tidak mempercayai kami?" ujar Myra menggebu.
Aeghys mendesah panjang, mengusap kasar wajahnya.
"Ya, Aku dan Arify tak percaya pada kalian. Bagaimana bisa kami percaya pada dua orang keluaran rehabilitasi remaja dan satu orang yang sering kali membuat onar?"
Pernyataan Aeghys adalah klimaks pada perdebatan mereka. El tak mampu menahan keterkejutan nya, sehingga pedal rem terinjak mantap dan menghentikan laju mobil seketika. Hampir terbentur, ketiga orang lainnya bersamaan menatap sinis kearah El.
"Rehabilitasi remaja? Apa maksudmu Aeghys?! Dan dua orang?"
"Lupakan."
Aeghys kembali menghadap kedepan, mulai membuka lagi halaman bukunya dan mengabaikan Myra yang dilanda rasa penasaran begitu besar terhadap kejelasan kalimat yang baru saja dirinya lontarkan.
"Aeghys-!"
"Maksudmu.. aku dan El.. pernah berada di Rehabilitasi remaja..?" Suara Zen terdengar begitu gemetar. Seolah tak percaya akan perkataan Aeghys tadi.
Tak ada yang merespon ucapan Zen. Semuanya diam membisu, hingga saat Aeghys mulai menunjukkan gerak-gerik akan ambil bicara, El secepat kilat menghentikannya.
"Bagaimana kalau dia.." Aeghys menggeleng kuat. Tanda tak setuju dengan asumsi El yang bahkan belum di lontarkannya.
El menunduk, lantas kembali memegang kemudi, dan pedal gas pun diinjak. Mobil kembali berjalan sebagaimana mestinya.
Sedangkan Aeghys, gadis itu kini telah menghadap kebelakang, menatap intens kearah Zen.
"Ya."
Dua huruf itu membuat Zen merinding seketika. Ia seolah-olah tengah diserbu beribu rasa. Takut, kecewa, bingung, dan sedikit ketidakpercayaan juga membenarkan tercampur pada relung hati kecil nya.
Ia kehilangan jati diri.
"La-lalu.. a-apa yang membuat kami berada disana..?"
Aeghys tak segera menjawab. Gadis itu kembali menatap El yang tengah geleng-geleng. Menandakan bahwa gadis berambut hitam itu sama sekali tak setuju dengan tindakan yang akan Aeghys lakukan.
Aeghys hanya diam, lantas merogoh saku celana nya dan mengeluarkan sebuah lipatan kertas dari dalam sana. Kemudian disodorkannya lipatan kertas itu kepada Zen.
Zen dengan gemetar menerima, lantas perlahan-lahan membuka lipatan demi lipatan. Myra yang penasaran pun ikut mencondongkan badannya kearah Zen.
"Itu sobekan koran?" Myra menatap heran kearah Aeghys, sayangnya itu diabaikan. Aeghys sama sekali tak berniat melirik kan mata kepadanya.
Kini koran itu sudah sepenuhnya terbuka. Terpampang jelas disana foto seorang siswi dengan seragam SMP nya yang amat jauh dari kata rapi. Potongan rambut yang layaknya seorang laki-laki dan juga tindik di berbagai bagian wajahnya.
"Menggugurkan ratusan nyawa pelajar seusianya, siswi yang kerap dipanggil bravie ini mengklaim tak bersalah. Bravie? Dia.. mirip denganmu Zen.." Myra, gadis itu setelah menatap lamat-lamat foto siswi di koran tersebut, kini mengalihkan tatapannya kearah Zen.
Sama.
Sret! Srak! Srak! Srak!
Sobekan koran itu saat ini telah menjadi beberapa bagian kecil. Ya, Myra merampas paksa koran itu dari genggaman Zen dan sesegera mungkin mengubahnya menjadi beberapa bagian.
Zen masih mematung. Bahkan jari-jemarinya tak bergerak sedikitpun dari posisi awalnya. Kata demi kata yang membentuk paragraf itu nampaknya terus terngiang-ngiang di pikiran.
"Zen.." Myra mencoba menenangkan, namun sia-sia. Merasa usahanya tak berguna, gadis berambut merah itu memilih diam. Ia sendiri agaknya merasa sedikit canggung terhadap Zen setelah mengetahui fakta mencengangkan tadi.
"Bagaimana dengan El..? Maksudku.. apa alasan ia berada di sana..?" Pertanyaan dengan nada yang teramat lirih itu Zen lontarkan. Mengagetkan Aeghys yang nampaknya sama sekali tak menyangka.
"El—"
"Diam."
Begitu dingin dan penuh tekanan, satu kata yang El lontarkan membuat Aeghys menghela nafas panjang. Gadis berambut emas itu kemudian mengendikkan bahunya, dan kembali bersiap untuk tenggelam dalam dunia nya.
Myra mengerutkan dahi, bingung. Menurutnya, sesuatu yang besar sudah terjadi dan tak dibiarkan untuk diketahui.
Namun, gadis berambut merah itu tak bisa apa-apa. Ia pasrah, kini ia hanya bisa menunggu kapan kiranya ia akan tahu semua hal yang disembunyikan itu. Akan tetapi, menunggu waktu yang akan datang bukanlah keahliannya. Maka, Myra bertekad untuk mencari tahu.
Mencari tahu, seluruh seluk beluk ketiga kawannya yang tengah mengunci mulut rapat-rapat.
Begitulah. Begitulah beberapa jam kedepan itu mereka habiskan. Gertakan El secara tersirat menyuruh seluruh penumpang mobil hitam yang telah dimodifikasi itu untuk tak berbicara. Hanya hening belaka, suara deru mobil dan keripik kentang yang berulang.
***
"El! Berhenti!"
Ckiiitttt!!
Keempat roda itu berhenti berputar, menyisakan gurat hitam di aspal jalan. El berdecak, gadis itu dengan kemarahan yang tak bisa ia tahan lagi, menoleh kebelakang. Ditatapnya sinis Myra.
"Apa?!" Terdengar sedikit membentak, namun agaknya Myra sudah terbiasa dengan hal itu. Ia sama sekali tak hirau dengan nada bicara El, dan langsung mengangkat telunjuknya.
"Sepertinya ada yang butuh pertolongan?" ucapnya dengan mata yang sedikit memincing. El memutar bola matanya, lantas demi memastikan, mata gadis itu mengikuti kemana gerangan arah yang ditunjuk Myra.
Matanya ikut menyipit. "Hei Rambut Ungu, pastikan."
Zen mengangguk, untuk selanjutnya memutar badan dan kini sepenuhnya menghadap kebelakang. Lalu, anggukan kepala terlihat. Dan El tanpa basa-basi langsung menginjak rem. Membuat wajah Zen membentur kaca.
Duk!
"Ah, sialan kau El."
Mobil perlahan mulai berjalan mundur, kaca-kaca diturunkan sehingga keempat manusia itu dapat dengan jelas melihat wajah seseorang itu.
"Tolong saya! Tolong saya!"
"Kakek?" pekik Myra tertahan. Gadis itu seolah tak percaya dengan sosok didepannya kini. Ya, itu adalah Kakek-kakek yang memberinya apel sewaktu di halte!
"Myra, dia kakekmu?"
Myra dengan cepat menggeleng, lantas ia memutuskan untuk turun dari mobil. Diikuti anggota yang lainnya.
Kelima manusia itu kemudian berjalan mendekati sebuah bangku di bawah pohon yang begitu rindang. Memang rindang, pasti menyenangkan jika ini di siang hari, namun sekarang rembulanlah yang berkuasa. Hanya ada suasana mencekam.
"Kenapa, Kek?" Suara Myra terdengar parau. Gadis itu hampir menangis melihat keadaan manusia ringkih di hadapannya dengan wajah cemang-cemong, baju robek sana-sini, dan jangan lupakan ekspresi panik nya yang begitu kentara itu memohon-mohon kepada dirinya.
"Rombongan saya, di sandera!"
Seluruh pasang mata disana membulat tak percaya. Dan rentetan kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut sang Kakek, mampu menikam jantung mereka. Membangkitkan api amarah keempat remaja itu.
-BERSAMBUNG — KAMIS, 03-06-2021 — 03.33 —