Ke dua belas manusia dengan empat lelaki dan delapan perempuan itu kini sedang saling mendiami. Mereka lagi-lagi duduk melingkar di tengah-tengah ruangan super luas yang dulunya bekas kantor polisi. Meja-meja kantor dibuang, diganti dengan perabotan rumah dari hasil mencuri.
Ke dua belas orang itu bukannya berkumpul tanpa sebab. Aeghys, perempuan itu yang meminta seluruh anggota hadir di pertemuan yang ia buat.
"Jadi, apa yang hendak kau diskusikan, Aeghys?" tanya Ryveal to the point.
Gadis berambut emas itu lalu menyesap kopinya. Lantas selanjutnya mengambil nafas panjang dan menghembuskan nya kasar. Matanya melirik, El, Zen dan Myra, ketiga orang itu kompak mengangguk meyakinkan.
Kemudian tatapannya kembali beralih pada Ryveal.
"Kita selamatkan mereka." Kalimat pendek Aeghys nyatanya malah membuat kubu Ryveal kebingungan. Tidak terlalu jelas, dan terlalu ambigu.
Siapa 'mereka' yang akan diselamatkan?
Pertanyaan itu jelas tersirat di setiap wajah kubu Ryveal. Hingga selang beberapa detik kemudian, setelah kubu Ryveal tak juga mendapatkan pemahaman yang pas, lelaki berambut hitam legam itu hendak buka suara.
"Berhenti. Zen, giliranmu." Perkataan Aeghys berhasil membungkam kembali kedua bibir Ryveal yang telah terbuka. Lalu, semua atensi mengarah pada Zen seorang.
Gadis itu, gadis yang tengah mengenakan kaus hitam oblong bertuliskan 'Be Brave!' dan celana jeans biru model dengkul sobek itu membenarkan posisi duduknya. Kakinya bersila, ia siap menjelaskan.
"Jadi begini, sebenarnya tujuan kami memang hanya untuk survive belaka. Bertahan selama-lamanya hingga maut menjemput masing-masing dari jiwa kami. Tetapi, setelah berdiskusi dan mendengar perkataan Aeghys kemarin, kami menjadi tahu. Bahwa survive tidak mengubah apapun. Kami perlu menambah sesuatu di belakang kata itu. Yaitu dari survive, menjadi survive and save the world."
Zen berhenti. Gadis itu kemudian menatap satu-persatu raut wajah di depannya. Bergantian dan urut, hingga tatapan nya terpaku oleh tatapan mata itu.
Ryveal mengunci tatapan mereka. Lelaki itu memaksa menyelam lebih dalam ke dalam mata itu.
"Jadi maksudmu?" Tenggorokan Zen tercekat, gadis berambut cepol ungu itu tak mampu menjawab pertanyaan Ryveal yang diiringi dengan tatapan mengintimidasi. Zen merasa, tatapan Ryveal seolah sedang menyudutkan dirinya.
Hening menyelimuti. Bahkan semut pun tahu bahwa Ryveal amat menentang hal yang baru saja Zen tuturkan, bahkan lelaki itu tak memperbolehkan Zen menyelesaikan kalimatnya.
"Maksud kami adalah untuk meminta anggotamu agar ikut berpartisipasi." Celetukan Myra bagai palu yang dilempar kearah kaca. Gadis berambut merah itu berhasil memecahkan keheningan di antara ke dua belas orang itu.
Sontak hal tersebut mengundang seluruh perhatian. Bahkan Ryveal, ia pun sekarang seperti tengah berusaha mengintimidasi Myra. Namun, Myra agaknya tahu rencana lelaki itu. Gadis itu terus-terusan berbicara sembari memejamkan mata, atau sekilas menatap kearah yang lain kecuali Ryveal.
"... Setidaknya jika kalian gagal dalam menjalankan misi ini, kalian tetap akan berjasa. Jadi sisa hidup kalian itu tidak akan sia-sia. Bukankah kalian menyayangi bumi kita? Apabila benar kalian menyayangi, tega kah kalian membiarkan kondisi ini berlarut-larut?"
Myra menjeda sebentar kalimatnya, ia sedang mengamati situasi yang merupakan hasil dari ucapan panjang lebarnya tadi. Apakah berhasil atau tidak, itu tergantung pada raut wajah mereka.
Dan betapa senangnya hati gadis itu ketika menyadari bahwa dirinya berhasil. Lihatlah air muka para pendengarnya! Dari kubunya yang diisi, Zen, Aeghys, El dan Arify, keempat orang itu sudah jelas tampak bangga bukan main padanya.
Sedangkan dari kubu Ryveal, dapat Myra lihat bahwa mereka sudah tersulut. Api semangat dalam diri mereka berkobar dahsyat, itu dapat dilihat dari tatapan mata mereka yang menggebu-gebu dan tak sedikit yang terlihat tak sabaran.
Myra semakin merasa di awang-awang, gadis itu akhirnya menatap kearah Ryveal. Bukan, bukan untuk masuk dengan sukarela kedalam perangkap lelaki itu, melainkan untuk memberikan senyum.
Senyum miring yang berarti sebuah ejekan.
Myra mengalihkan pandangannya lagi, hampir saja ia ikut tercekat dan tak bisa berbicara jika ia tak segera melempar tatapan. Nyatanya, Ryveal, sang Ketua itu tak juga bisa diremehkan. Kelihaiannya dalam mengintimidasi orang lain lewat tatapan sepertinya sudah level dewa. Myra yakin, tak ada yang akan bisa mengalahkan lelaki itu dalam adu intimidasi.
"Jadi, bagaimana pendapat kalian?"
Kelompok yang ditanya saling pandang satu sama lain, mereka kemudian secara bersamaan mengucapkan satu baris kata dengan kompaknya.
"Setuju!"
Myra tersenyum lega, akhirnya, kepandaiannya dalam mempengaruhi pemikiran orang lain yang merupakan bakat turunan dari sang Kedua Orang Tua, itu bisa berguna juga.
"Jadi, kapan kita akan mulai?" Itu Blazert. Perempuan yang terlihat paling antusias diantara yang lainnya. Myra tersenyum, namun tepat sebelum membuka mulut, seseorang telah mendahuluinya.
"Tak akan pernah terjadi." Suara Ryveal yang berat dan penuh tekanan mengudara. Seolah-olah menghisap seluruh cahaya, dan memadamkan kobaran api yang sempat merajai. Suasana berubah drastis tatkala Ryveal menatap satu-persatu personil nya dan anggota Zema.
"Apa maksudmu, Ryveal? Kau tak punya hak untuk membatasi mereka!" Dan diantara kegelapan yang sunyi itulah, hanya Myra seorang yang masih dapat berbicara selancar itu.
"Aku? Tak punya hak? Kau buta?" Myra kebingungan, gadis itu melihat ke sekeliling, mengedarkan pandangan, dan untuk setelahnya menelan bulat-bulat salivanya.
Semua anggota Ryveal menunduk dalam, seakan mereka tak mau ikut campur dalam perdebatan itu.
"Tanpa aku, mereka mungkin sudah binasa. Bergabung dengan para makhluk sialan diluar sana! Dan kau.. juga kelompok ingusan mu itu.. kelompok yang bahkan bisa ku lenyapkan dalam sekali tebas.. kelompok yang bahkan baru bersama kami tak lebih dari dua puluh empat jam.. berkata akan menyelamatkan bumi?"
Ryveal berdiri, lelaki itu naik pitam.
"Bahkan kalian akan mati jika tak ada kami! Dan sekarang, beraninya kalian berkata demikian! Beraninya kalian!!"
Srang!
Pedang itu akhirnya lepas dari kandangnya. Mengacung tepat di depan wajah Myra, membuat tak sedikit dari penyimak disana memekik tertahan.
"Ryveal! Kau gila?!" Blazert tak sanggup menahan kepanikannya. Perempuan berambut cokelat itu sampai berdiri hendak menghampiri Ryveal.
"Diam disana, atau leher mu lah yang pertama." ancam Ryveal sungguh-sungguh. Lelaki itu bahkan menatap dalam kearah Blazert, sampai-sampai membuat perempuan tomboi itu perlahan tapi pasti, memundurkan langkah nya.
"Nah seperti itu. Jadilah anjing yang baik. Kau harus tahu balas budi. Ingat-ingatlah kembali, saat-saat dimana kau berlutut dihadapan ku—"
"Ryveal." Kaeya ikut andil. Lelaki itu berdiri, menatap tajam Ryveal yang telah membuatnya sebal.
"Apa?"
"Tak usah berlagak. Kau pun sama halnya seperti dirinya. Tanpaku, kau pun mati."
Ucapan Kaeya nampaknya begitu berarti bagi Ryveal. Sebab, setelah tuntas bibir Kaeya meloloskan kalimat itu, Ryveal segera membanting arah pedangnya. Kini, bilah pedang itu telah bersisian dengan kulit leher Kaeya.
"Kau mengigau? Tanpa dirimu malam itu, aku pun akan tetap bernafas sampai detik ini. Justru sebab dirimu lah, Halyna tiada!" bentak Ryveal marah. Wajah lelaki itu merah padam, gurat-gurat pembuluh darah bermunculan di sekitar lehernya. Giginya bergemelutuk bukan main, dengan kepalan tangannya yang sampai membuat buku-buku kuku miliknya memutih.
Srang! Satu lagi pedang yang lolos dari rumahnya. Dan pedang itu, kini, bersisian dengan kulit leher Ryveal.
"Sudah kuduga, orang dengan tabiat yang tak bisa mengakui kesalahan sendiri dan selalu menimpakannya kepada orang lain.."
Srrkkk!
"Tak bisa didiamkan."
Seolah-olah oksigen lenyap begitu saja entah kemana, para perempuan itu sampai tak bisa bernafas tatkala bilah pedang milik Kaeya memotong beberapa helai rambut bagian atas Ryveal. Begitu cepat gerakannya sampai tak terlihat mata.
Tak!
Kaeya menghentakkan pedangnya ke ubin. Lelaki itu kemudian memiringkan kepalanya, menatap Ryveal datar.
"Rambut mu sudah mulai panjang ternyata. Butuh bantuan untuk mencukurnya? Akan ku pastikan, tidak ada satu helai pun yang terlewat."
Ryveal semakin marah. Mungkin dirinya merasa malu, sebab siapapun tahu bahwa saat ini dirinya tengah di rendahkan.
"Tutup mulutmu, brengsek. Jika kau berani, angkat pedangmu dan berusahalah agar kepalaku tak tersambung kembali." tantang Ryveal.
"Memang itu intinya."
Klang! Sriingg!
Kaeya menghantamkan pedangnya ke pedang Ryveal. Lantas lelaki itu mundur dua langkah kebelakang, dengan keadaan pedang yang masih bersentuhan, itu jelas menimbulkan bunyi ngilu.
Para gadis menutup telinga mereka, kecuali beberapa, tentu saja.
"Kali ini jangan berlagak mengalah!" Raungan Ryveal seperti tanda dimulainya peperangan, menggema tegas di langit-langit ruangan.
Klang! Klang!
Kedua bilah pedang itu mulai beradu. Bersamaan dengan mata kedua lelaki yang menyembunyikan masing-masing tangan kiri mereka di balik badan. Ya, keduanya bertarung pedang dengan satu tangan.
"Bagaimana jika ada yang terluka?" Panik Myra, gadis itu bertanya pada Blazert. Seseorang yang justru malah terlihat paling antusias atas peperangan kecil itu.
"Justru itu lah intinya." jawab Blazert tegas tanpa mengalihkan pandangannya. Mata Myra terbelalak lebar. Gadis itu sungguh tak menyangka sama sekali.
Ia tahu, manusia di hadapannya saat ini adalah Blazert Adelle. Kakak kelasnya yang terkenal amat sensitif dan suka perhatian. Bahkan dulu, pernah sekali Myra bertemu Blazert di toilet. Perempuan itu hampir pingsan hanya karena seekor kecoa di wastafel.
Dan sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi?!
"Kau benar Blazert? Perempuan yang hampir pingsan karena kecoa?"
Blazert seolah mendengar sesuatu yang amat mengerikan. Gadis itu langsung memutar kepala, menatap tajam Myra.
"Ya, itu aku."
"Tapi kau benar-benar berbeda!" Myra membekap mulutnya sendiri, ketika menyadari frekuensi suara nya yang teramat tinggi sampai-sampai membuat yang lain menoleh padanya. Gadis itu kemudian mengulang perkataannya dengan berbisik.
"Semua orang bisa berubah. Dan kuharap kau tak memberi tahu yang lain mengenai kejadian itu. Atau kita akan berada di posisi mereka berdua." desis Blazert mengancam sembari menunjuk ke arah Ryveal dan Kaeya yang masih serius bertanding.
Myra meneguk ludahnya sendiri. Gadis itu tremor, ia ketakutan. Takut jika salah satu dari dua tubuh manusia berwajah tampan itu tergores pedang super tajam yang bahkan bisa membelah sebuah batu hanya dengan sekali ayun.
Sedangkan Blazert, perempuan itu telah kembali asyik dengan tontonannya.
Sringg! Klang! Brak!
Sebilah pedang terpelanting jauh sampai tertancap di tembok ruangan. Di susul terjatuhnya seseorang yang lengannya telah mengeluarkan banyak darah. Seseorang itu meringis, giginya masih bergemelutuk. Sepertinya ia tak terima akan kekalahan yang ia terima.
Kaeya tersenyum miring, pedangnya masih menggantung di udara, dengan lumuran darah di sekitar mata pedangnya.
Tak!
Pedang itu kembali mencium tanah. Kaeya menumpuk kedua telapak tangannya di atas pegangan pedang itu, menjadikannya tumpuan untuk dagunya. Raut wajahnya telah kembali datar, tanpa ekspresi. Menatap rendah Ryveal yang tersungkur dengan tangan nya yang setia menekan luka nya.
"Kau masih berani mengangkat kepala ternyata. Harga dirimu itu sudah seharusnya hancur, sebab sudah ku banting sekuat mungkin. Bahkan raja sekalipun, aku yakin ia akan menunduk dalam jika berada di posisimu. Ah atau, bukan harga diri. Melainkan kau tak punya rasa malu? Ckckck, memprihatinkan sekali. Claudy, kau bisa donasikan sedikit rasa malu mu itu padanya?"
Claudy, perempuan paling feminim itu membuang muka.
Srat!
Setelah puas menatap lawannya yang kalah telak, Kaeya, lelaki itu mencabut pedangnya. Memasukkannya kembali kedalam selongsong, dan membalik badan.
"Berhenti disana." Namun, seruan parau yang dibuat setegas mungkin itu menghentikan langkahnya. Lelaki itu kemudian berbalik, menatap bingung ke arah Ryveal.
"Satu lagi pertandingan. Jika kau menang, maka aku akan menyerahkan jabatan ketua padamu. Tapi jika kau kalah, skor satu sama, satu lagi pertandingan dan apabila aku menang, mereka tetap berada di bawah kuasaku."
Kaeya tampak menimbang-nimbang. Tak ada sepuluh detik sebelum lelaki itu menganggukkan kepalanya mantap.
"Baiklah, tapi aku tak akan mengasihasimu kali ini."
Pertandingan berikutnya di lakukan, tak ada sepuluh menit dan Ryveal kalah telak. Lelaki itu jatuh tersungkur dengan pedang yang sudah bengkok dan tubuh yang penuh goresan pedang. Darah hampir menyelimuti tubuhnya, namun lelaki itu masih bisa berbicara walau tersendat-sendat. Darah keluar semena-mena dari hidung dan mulutnya.
"K-kau menang.." tuturnya parau.
"Tak usah memberi tahu, sebab bayi baru lahir pun tahu hal itu. Obati dia." Kaeya beranjak pergi, lelaki itu izin pergi menyesap tembakau ke luar. Sedangkan Claudy, perempuan itu tanpa disuruh dua kali lagi, langsung menghampiri Ryveal yang bahkan untuk bernafas saja sudah tersengal-sengal.
***
"Tak ku sangka, lelaki ini kalah telak. Lebih tak ku sangka, si Es itu malah yang paling kuat." Arify bersungut-sungut. Claudy, perempuan itu terkekeh kecil, ia masih fokus mengobati Ryveal yang sudah tak sadarkan diri dengan ditemani Arify.
Mereka berdua kini tengah berada di kamar Ryveal, hanya ada satu ranjang dan satu meja nakas berlaci. Sebenarnya semua penghuni itu mempunyai kamar masing-masing, kamar mereka sama. Hanya meja dan satu ranjang. Kamar mereka berjejeran, satu kamar dengan kamar yang lain hanya dipisah dengan kain putih yang cukup tebal.
"Itu wajar, sebab Kaeya lah yang bisa dibilang guru dari Ryveal." Arify tentu tak percaya dengan apa yang dikatakan Claudy barusan kepadanya. Namun setelah berbincang-bincang lebih lama, ia pun tahu seluk beluknya.
"Apakah ini Halyna?" Arify mengambil satu foto ukuran mini dengan seorang gadis yang tengah tersenyum manis dengan rambut cokelat pendeknya. Terlalu manis.
"Ya, itu dia."
—BERSAMBUNG— 23.01 — KAMIS, 6 MEI 2021 —