Cklak! Kriett...
Ketegangan segera hinggap diantara keempatnya, memaksa bulu-bulu halus di tengkuk untuk secara massal berdiri. Tangan-tangan itu gemetar, tatkala pintu yang menghubungkan ruangan nyaman dengan neraka sudah sepenuhnya terbuka.
Zen meneguk salivanya, ia berada di posisi paling depan. Menjabat dirinya sendiri sebagai ketua perkumpulan kecil mereka, berarti bersiap mempertaruhkan nyawa sebagai pencicip pertama bahaya.
Kakinya yang terbalut kaus dan sepatu melangkah pelan, di longok kannya kepala, untuk kemudian menoleh kebelakang dan mengangguk yakin.
Ia pun berjalan menjauhi bingkai pintu, disusul ketiga kawannya yang selalu memindai sekitar dengan tatapan waspada.
Hening.
Diluar sini begitu hening. Bahkan hembusan angin pun tak terdengar, jelas suasana ini begitu asing bagi keempatnya.
Myra mendekati tembok pembatas, di letakkan nya senjata di lantai dengan begitu hati-hati sebelum melongokkan kepala melihat ke bawah sana. Tak lama kemudian ia terlihat kebingungan, matanya memincing sedemikian rupa demi melihat sesuatu yang bergerak-gerak dalam kegelapan.
Tak kunjung tahu walau telah ia gunakan cahaya senter sebagai pembantu, Myra pun melambaikan tangannya kebelakang. Meminta manusia lainnya untuk ikut melihat sesuatu di bawah sana, dan mengidentifikasi nya.
Ketiga lainnya sempat terheran, namun karena tak bisa menolak rasa penasaran, mereka pun mengikuti apa yang dilakukan rekannya.
"Apa?" Bisik Zen pada Myra yang masih berusaha mencari tahu. Myra menoleh, ia tak habis pikir mengapa Zen tak melihat 'sesuatu' itu.
"Lihat kesana, apa kau tak merasa ada sesuatu? Sesuatu yang bergerak-gerak dan lebih dari satu." Telunjuk Myra menghadap ke bawah, diikuti dengan mata Zen yang semakin menyipit.
Lama keempatnya hanya diam mengamati, masih mencari-cari dalam pikiran mereka mengenai apa gerangan yang berdesakan di sana. Andai saja penutup gedung dalam keadaan terbuka, pastilah cahaya rembulan dapat membantu penglihatan mereka menembus kegelapan malam.
"Kita tak akan bisa mengetahui benda apa itu, tapi kita bisa menebaknya. Itulah jalan satu-satunya agar kita segera sampai di Laboratorium." Aeghys mengeluarkan opini nya, membuat ketiga lainnya mengangguk setuju.
Kemudian keempat orang itu kembali mengambil senjata masing-masing yang berserakan di lantai. Satu senter dihidupkan oleh Zen, dan satunya oleh El yang berposisi paling belakang. El berjalan mundur dengan tas ranselnya yang telah diikat dengan tas ransel milik Myra.
Total ada sepuluh kamar di lantai ini, dua lift dan dua tangga. Tiga kamar di barisan barat, tiga kamar di barisan timur. Dua kamar yang diapit satu lift, dan satu tangga di bagian selatan, begitu pula di bagian utara.
Sedangkan kamar mereka berada di barisan barat, dan yang berada di tengah.
Rencana pertama, mencari dan mencoba membawa siapapun yang masih bisa diselamatkan. Mengacu pada rencana itulah yang membuat mereka selalu mengetuk pintu dengan jumlah tiga ketukan.
"...bukakan pintu ini apabila ada orang di dalam!" Ini adalah kali ketiga Zen mengatakan kalimat itu sembari berdiri di depan pintu yang sama. Total 9 kali ketukan yang ia lakukan di pintu itu pula, namun hasilnya nihil.
Zen menoleh ke belakang, menggelengkan kepala dengan wajah kusutnya. Tiba-tiba seberkas cahaya menyoroti wajah Zen, siapa lagi jika bukan El?
"Hei, kenapa kau terlihat sedih? Justru ini adalah hal baik! Jika banyak orang yang masih hidup dan ikut turun dengan kita, bukankah itu berarti tanggung jawabmu bertambah besar? Itu akan menambah tingkat kesulitan kita untuk sampai di Laboratoriumnya!" cibir nya dengan wajah serius.
Zen tak membalas, sebab ia tahu, apa yang dikatakan El padanya adalah fakta.
Semua pintu sudah di cek, dan tak ada satupun orang di dalamnya. Melanjutkan perjalanan, keempatnya pun bergegas menuruni tangga, menyapa koridor dan pintu-pintu yang selalu hening.
Kini mereka sampai di lantai lima, mereka berhenti sejenak ketika mendapati keanehan pada sebuah pintu. Pintu itu benar-benar tak lazim. Itu sangat berbeda dengan pintu-pintu lainnya yang terkunci, pintu ini terkoyak.
Sesuatu yang mengerikan dan besar sepertinya keluar secara paksa dari dalam. Terbukti dengan koyakannya yang hanya menyisakan bagian-bagian pinggir pintu saja.
Nekat, keempatnya yang penasaran berusaha memasuki pintu tersebut. Keempat nya masuk lewat lubang besar itu tanpa harus bersusah payah.
Dan pemandangan mengerikan menyapa.
Perabotan-perabotan itu sudah tidak pada tempatnya. Terjatuh, bahkan ranjang besi itu, besinya tak lagi lurus. Darah dimana-mana, bahkan sampai langit-langit atap. Jejak kaki atau tangan yang terlampau besar, berwarna merah, mengecap di mana-mana.
Zen memasuki kamar mandi, dan saat disana, didapatinya muntahan darah yang memenuhi closet, lantai, bahkan bak mandi. Hanya darah, tanpa air.
Mereka masih berdiri di depan pintu, tak ada niatan menjelajah isi kamar mengerikan ini. Namun, Zen. Lagi dan lagi remaja perempuan itu berlagak seperti detektif yang tak kenal takut. Setelah kamar mandi, kini lemari.
"..Lemari ini benar-benar mencurigakan.." katanya. Kemudian dibukalah lemari yang luarannya saja sudah penuh goresan bekas cakar dan darah.
Benar saja.
3 mayat perempuan, dengan isi perut yang seluruhnya keluar, dan anggota tubuh yang di copot-copot, tergeletak begitu saja diantara baju-baju.
Mereka keluar, tak mampu menahan mual berlama-lama. Mereka tentu akan memikirkan apa yang terjadi disana, namun tidak di dalam.
Keempatnya kemudian bersandar pada tembok pembatas di depan kamar aneh itu, menghirup udara yang tidak anyir lagi. Hingga suara itu menginterupsi.
Brak! Rrrrrgh! Rrrrgh!!
Kompak, keempatnya langsung bersiap siaga ketika suara mengerikan itu menggema di telinga mereka. Mata mereka awas memindai kekanan dan kekiri, senter-senter dimatikan demi menjaga keselamatan.
"Lihat!" Pekik Myra membuat jantung ketiga orang lainnya serasa di sengat-sengat. Ketiganya makin waspada, berjaga-jaga dan berusaha mengetahui darimanakah makhluk aneh itu akan muncul—
"Hei! Lihat ke bawah sana!" Lagi, Myra memekik. Ternyata gadis itu tidak sedang menujuk ke kanan atau ke kiri, melainkan ke bawah. Itu membuat nafas ketiga lainnya sudah bisa normal kembali.
Buru-buru ketiga orang itu mendekati tembok pembatas, ikut melongokkan kepala nya ke bawah, dan tampaklah sesuatu yang membuat keempatnya merinding bukan main.
Di sana, di bawah sana! Pintu utama asrama perempuan telah dibuka. Padahal seingat mereka, saat di lantai tujuh tadi, pintu itu masih tertutup rapat. Amat rapat bahkan dengan tumpukan Zombie yang terus berusaha mendobrak keluar.
Dan sekarang itu terbuka, artinya ada yang membukakan. Dan pastilah itu dari luar. Sebab pintu asrama tak pernah sekalipun dikunci dari dalam. Tapi pertanyaannya, siapakah yang membuka?
Gerombolan-gerombolan Zombie itu bagai melihat cahaya surga, berlomba-lomba keluar dari asrama.
"Ah syukurlah, siapapun itu, terimakasih! Dengan begini kita tak perlu repot-repot menyusun rencana bagaimana melewati zombie-zombie itu." Myra tersenyum sumringah, diikuti Zen yang kemudian keduanya saling tos.
"Entahlah untuk kalian, firasatku justru tidak enak." El menimpali, membuat Zen dan Myra menghentikan tawa mereka dan menatap El penuh tanda tanya.
"Semakin banyak kemudahan, justru semakin besar peluang bahaya yang amat berbahaya datang. Jangan terlalu senang, ini seharusnya menjadi keanehan, mengapa kita tak bertemu satu pun Zombie hingga lantai lima ini." Aeghys memasang raut seriusnya, ia tampak amat waspada, berusaha melihat koridor di lantai bawah yang hanya gelap semata.
"Baiklah, kita lanjutkan saja perjalanan—"
Grrkk, grrkkk, grrrkk..
Suara itu mengangetkan keempatnya, dan membuat mereka kembali bersiaga. Memutar pandangan keseluruh penjuru demi menemukan sumber bunyi tersebut.
"Eh? Bukankah bunyi ini rasanya lebih familiar? Seperti.."
Mereka kompak kembali melongokkan kepala mereka dari tembok pembatas setelah Myra mengucapkan opininya, kali ini bukan kebawah, melainkan ke atas. Dan benar saja apa yang diduga keempatnya.
Itu adalah bunyi atap asrama yang tengah dibuka. Perlahan, cahaya rembulan menerangi seluruh penjuru gedung, walau remang-remang, ini masih lebih baik daripada gelap gulita.
Wajah mereka kompak semakin bercahaya, mata mereka berbinar-binar bahagia. Kecuali Aeghys.
"Yeah! Terimakasih siapapun kalian!" Jerit Myra hingga suaranya memantul kembali lewat dinding-dinding asrama.
"Nah sekarang, perjalanan kita benar-benar termudahkan!" Myra kembali berseru dengan nada riangnya. Ia seperti seorang anak TK yang diberi permen gratis rasa stroberi.
"Mudah? Bagian mananya?" Aeghys bertanya sarkas. Myra gelagapan, jelas bahwa ia merasa kebingungan.
"Ya-yah ka-karena kita tak perlu menghidupkan lampu senter! Ki-kita akan bisa melihat zombie itu dengan jelas dan menghindarinya!"
"Dan kau pikir zombie itu tak akan melihat kita?!"
"Tapi Ae—"
"Teman-teman, hentikan perdebatan kalian! Kita terkepung!" Pekik Zen panik. Myra dan Aeghys kompak mengunci mulut, kepala mereka melongok ke bawah. Benar saja, beberapa Zombie mulai bermunculan, menaiki tangga dari lantai satu dan dua menuju ke arah mereka.
"Ba-bagaimana ini?!" Myra ketakutan. Sebab ia tahu, jika zombie-zombie itu telah sampai di lantai lima, selesai sudah nasib mereka!
"Aeghys, apa kita kembali lagi ke kamar?" Zen mencoba memberi solusi, matanya masih terpaku mengikuti gerakan cepat para Zombie.
"Tidak, kita akan mati kelaparan disana." Jawab Aeghys singkat.
"Tapi Aeghys—!"
"Kubilang tidak!" Bentak Aeghys marah. Mungkin ia merasa bahwa rencananya terobrak-abrik, lagipula ini juga salahnya. Bagaimana mungkin sebuah rencana bisa terjalankan sangat mulus seperti yang ia harapkan di situasi ini?! Situasi yang bahkan tak bisa dibayangkan.
"Kita lompat dari sini dan—"
"Dan berlari keluar asrama? Boleh saja, Kau duluan! Setidaknya buktikan kalau kaki mu tidak patah ketika tiba di bawah sana!" Geram Aeghys menanggapi usulan ngawur dari El.
"Terobos para Zombie itu—"
"Kau mau tanganmu sisa satu saat tiba di luar asrama? Tidakkah kau lihat jumlahnya yang puluhan dan seberapa ganas mereka?!" Kata demi kata yang Aeghys keluarkan sedikit demi sedikit menambah frekuensi suaranya. Aeghys tampak frustasi.
"Lantas kita harus bagaimana—"
"Aku tahu." Tiba-tiba saja mata Aeghys berbinar, wajahnya yang sempat meredup kembali bersinar.
"Berlari. Buat kedua kelompok Zombie itu menyatu bagaimanapun caranya!" Pekik Aeghys mantap. Matanya mengkilat merasa rencananya amatlah menantang.
"Tapi Ae—"
"Lari! Lari Myra! Sekarang!" Titah Aeghys mutlak. Yang lain tak mampu membantah sebab para Zombie telah berada di lantai tiga. Kini, keberuntungan lah yang mereka harapkan.
Myra segera berpencar sesuai perintah Aeghys, ia menuju ke bagian Barat, sedangkan Aeghys El dan Zen masih di bagian Utara, ketiganya sesuai perintah Aeghys mendekati tangga bagian Timur Laut.
"Myra! Larilah secepat mungkin! Lewati tangga Barat Daya sebelum para Zombie sampai!" Pekik Aeghys lantang.
"Sialan, sebenarnya apa yang kau rencanakan?! Dan kenapa pula Myra berlari secepat itu?!" El menggerutu sebal, kini ia hanya bisa mengikuti apa yang diperintahkan Aeghys padanya.
Tangga Barat Daya berhasil di lewati Myra tepat sebelum satu detik kemudian kepala-kepala Zombie mulai nampak. Dan setelah Zombie itu sempurna menginjakkan kaki di lantai lima, mereka langsung berlarian mengejar satu orang yang berada di dekatnya.
Tak jauh beda dengan Myra. Zen, El, dan Aeghys pun sama halnya. Zombie muncul di tangga Timur Laut. Membuat mereka berlari cepat menuju bagian Barat.
Myra berlari begitu cepat, sepuluh meter per detik nya. Bahkan para Zombie terlihat cukup tertinggal beberapa meter darinya. Aeghys bersorak menyuruhnya menuruni tangga Timur Laut, dan itu segera ia laksanakan. Lalu tepat saat kelompok Aeghys menuruni tangga Barat Daya dan sampai di lantai empat, bersamaan dengan itu mereka bertemu Myra.
Strategi mereka berhasil.
Kini Zombie-zombie itu menjadi satu kelompok utuh. Mengejar empat orang yang berlari menggebu-gebu. Keempatnya terlalu semangat, bahkan Myra sekalipun, yang selalu takut itu, ia kini malah seperti kerasukan setan.
"Myra! Jangan gegabah! Kurangi kecepatanmu! Kita harus selalu bersama!" Pekik Aeghys ketika di lantai tiga, Myra memberi jarak yang cukup jauh. Sayangnya, remaja itu memang sudah kalap. Kupingnya seakan tuli.
Kini Aeghys di hadapkan masalah baru, ia cemas. Bagaimana jika di lantai satu dan dua masih ada beberapa Zombie yang bersantai?
"Ah sial, perutku kram!" Rintih El kesakitan.
"Lantas kau mau apa? Istirahat? Meluruskan kaki dan meminum sebotol air mineral kemasan? Maaf saja, kita tidak sedang jalan sehat!" jawab Aeghys sarkas. Walaupun begitu, keduanya sama sekali tak mengurangi kecepatan berlari.
"AEGHYS! JANGAN TURUN! DISINI ADA PULUHAN! BERPUTAR-PUTARLAH DI ATAS SANA! AKU AKAN MENGECOH MEREKA!" Suara Myra menggema.
Ketiganya saling pandang sebentar, lalu kemudian bersama-sama mengganti jalur lari mereka. Aeghys memepetkan dirinya ke tembok pembatas. Dan benar saja, dibawah sana, tepatnya di lantai satu, Myra sibuk berputar-putar mengecoh para Zombie.
Pikiran Aeghys semakin kusut saja. Sepertinya ia khawatir jikalau Zombie di luar sana mengetahui kegaduhan ini dan ikut berpartisipasi. Itu akan membuat situasi semakin runyam.
Sialnya, beberapa detik kemudian, perkiraan Aeghys terjadi.
Puluhan Zombie mulai berdatangan dari pintu masuk asrama, tertarik pada satu manusia yang masih waras yang sedang berputar-putar mengelilingi aula.
"Myra! Naiki tangga!" Aeghys memerintah. Namun dapat dilihatnya, Mrya menggeleng hebat di bawah sana.
"Kita berempat akan mati jika aku ke atas!" balas Myra dari bawah sana. Aeghys berdecak sebal, keras kepala!
"Naiklah! Ikuti rencanaku!" Aeghys sekali lagi mencoba membujuk Myra. Namun gadis itu nyatanya benar-benar keras kepala. Lihatlah, ia malah tertawa dengan lantang setelah mendengar perkataan Aeghys barusan.
"Kau tak punya rencana, Aeghys! Aku tahu itu!"
"Lantas kau mau apa?! Mati kelelahan?!"
"Ya! Aku akan menjadi pahlawan!" Lagi dan lagi, gadis berambut merah itu tertawa selantang mungkin.
"KAU MATI DENGAN KONYOL, BODOH!" Geram, El menyahuti ucapan tolol kawan sekamarnya itu.
Bruk! Bunyi itu sontak membuat jantung ketiganya hampir tidak berdetak sama sekali, pikiran parno datang menghampiri. Jangan, jangan sampai...
"MYRA!"
—BERSAMBUNG— 16.40 — 26-03-2021 —