Chereads / ZEMA : Zombie's War / Chapter 4 - Tinju Antar Kawan

Chapter 4 - Tinju Antar Kawan

"..Sampai sini apa ada saran?" Ketiga remaja itu kompak menggelengkan kepala. Sedang Aeghys mengangguk memaklumi, sebab Ia tahu bahwa rencana bertahan hidup yang ia rancang dalam seminggu itu sudah cukup sempurna.

"Jadi Ae, kita mulai sekarang?"

"Yang jelas bukan tahun depan." Zen terkekeh kecil saat pertanyaannya dijawab sarkas seperti biasa.

"Oke, sekarang semuanya siap-siap. Bawa senjata yang bisa melawan zombie-zombie itu, karena kita akan merebut kembali Lab IPA!" Komando Zen tegas. El dan Aeghys segera beranjak dari duduk dan mengemas diri. Kecuali Myra yang justru masih asyik melamun.

"Myra ada apa—"

"Memangnya bahan makanan kita tinggal berapa hari lagi? Aku belum siap bertatap muka langsung dengan mereka, Zen." Lirih Myra.

Zen menghela nafas panjang, ia tak bisa menyalahkan Myra sebagai orang yang penakut. Karena nyatanya mental setiap orang itu berbeda-beda.

Puk, Zen menepuk bahu Myra seraya menatap dalam dengan senyuman menenangkan.

"Percaya dengan dirimu, Myra. Kalau Kau tak mengatasinya sekarang, belum tentu Kau bisa mengatasinya di esok hari. Bagaimana jika tiba-tiba saja pintu itu di dobrak dan Kau masih belum menguasai rasa takutmu itu? Atau yang lebih buruk lagi, di pertarungan selanjutnya justru Zombie-Zombie itu bermutasi? Bukankah situasi akan lebih sulit lagi?" Mata merah Myra membulat sempurna, hilang sudah kesayuannya.

Bagi dirinya, sebenarnya tak apa jika dia mati dalam kondisi apapun. Tapi yang membuat pikirannya terbebani hingga sekarang ini, ialah tentang apakah teman-temannya ini akan membiarkannya menyerah begitu saja? Tentu tidak. Dan jika sampai hal itu terjadi, maka dirinya akan menjadi beban bagi teman-temannya. Jelas Myra tak mau hal itu terjadi.

Maka sekarang, Myra telah membulatkan tekadnya. Jika bukan demi dirinya sendiri, maka demi teman-temannya.

"Baiklah Zen, Aku akan berusaha mengatasinya sekarang. Aku tak mau kedepannya Aku hanya menjadi beban bagi kalian." Tutur Myra mantap. Zen tersenyum menanggapi, ia merasa menjadi Ibu yang tengah membesarkan hati anak-anaknya.

"Nah, Akhirnya Kau sadar diri." Cibir El sambil melemparkan tas besar pink itu tepat ke wajah sang pemiliknya. Yang dilempari sebenarnya ingin membalas, namun apa daya jika sekarang bukan waktu yang tepat. Mungkin nanti, itupun jika Myra berhasil kembali ke ruangan selanjutnya dengan keadaan sehat walafiat.

Trarak!

"Pilih sesuai keahlian. Kita tak akan menyerang Zombie-zombie itu. Melainkan menghindarinya sebisa mungkin. Jika dalam keadaan terdesak, barulah kita akan memberikan perlawanan." Alat-alat dapur itu tergeletak di atas meja, totalnya tujuh buah. Dengan empat defense dan tiga attack.

"Hei Rambut Merah, Kau itu bodoh? Sudah tahu kalau dirimu takut dengan mereka, kenapa Kau mengambil pisau daging? Jangan-jangan karena dia yang paling besar?" El memincingkan matanya heran. Yang ditanya mengangguk polos, membuat El menghela nafas sekaligus mengurut dada.

"Wah, tolol sekali anda—"

"El!" El memutar bola matanya malas saat Zen memotong ucapannya begitu saja. Kemudian tangan panjang nya itu meraih Boning Knife yang hendak di ambil oleh Aeghys.

"Rambut Kuning, Kau itu pandai, tak seperti orang kurang pengetahuan di samping ku ini." Mungkin itu adalah ungkapan panjangnya meminta izin dengan kasar.

Aeghys tak peduli, toh memang benar apa yang dikatakan oleh El barusan. Aeghys memang pandai, ia tahu bagaimana cara menggunakan semua alat di depannya ini.

"Baiklah, semuanya sudah siap? Ingat kata-kataku, jangan sampai mati. Kita tentu tak mau menjadi tempat belas kasihan karena mati muda. Jadi, bertahan hiduplah!" Semuanya mengangguk mantap. Zen yang menyadari itu, segera mengulurkan tangannya ke arah knop pintu. Ditempelkannya telinga pada daun pintu, tak lama kemudian, Ia mengangguk kecil.

Kunci pintu dimasukkan, bunyi terbukanya segel pintu itu pun begitu menegangkan. Ceklek! Krieettt..

Takut-takut Zen menjulurkan kepalanya melalui celah pintu yang kecil demi mengecek kondisi diluar. Hampir satu menit lehernya berputar-putar kekanan dan kekiri, sampai akhirnya pintu kembali ditutup setelah Zen menarik kepalanya masuk.

Nafas Zen yang ngos-ngosan sudah mampu menjelaskan segalanya. Diluar ternyata hanya untuk mengintip saja sudah sangat bahaya. Apalagi nekat memunculkan diri. Itu sih namanya tak sayang nyawa.

Mata Zen bertatapan dengan Aeghys. Seolah bisa bahasa mata, keduanya kemudian menghembuskan nafas berat bersamaan.

"Baiklah, plan satu dibatalkan. Kita akan jalankan plan kedua." Perintah Aegis mutlak. Kemudian mereka semua mendesah panjang, wajah-wajah mereka tampak putus asa. Peralatan dan tas-tas kembali diletakkan di lantai. Sedangkan para pemiliknya kembali ke tempat diskusi mereka.

"Seburuk itu kah keadaan diluar sana, Zen? Sampai-sampai kita harus membatalkan plan pertama?" Zen mengangguk lesu, Myra yang sudah memberanikan bertanya pun saat mendapati jawaban Zen yang semacam itu, langsung menurunkan pundaknya.

"Bisa Kau jelaskan?" Tagih Aeghys yang dijawab anggukan pasti dari Zen.

"Entahlah, keadaanya membingungkan. Padahal tadi sewaktu hendak bersiap-siap, kau melihatku mengeceknya kan? Dan saat itu koridor benar-benar sepi, tapi sekarang, disana berdiri lima sampai tujuh Zombie—"

"Aneh." Potong Aeghys tiba-tiba. Air mukanya terlihat sedang kebingungan setelah Zen menjelaskan apa yang ia lihat diluar sana.

"Kenapa lagi Kau ini? Rambut Ungu bahkan belum menyelesaikan kalimatnya. Jelas Aneh jika Kau hanya mendengarnya separuh." Tutur El sembari menyesap kopinya.

"El sudahlah, Kau pun begitu. Dan juga jangan habiskan persediaan kopi kita, El.."

"Cih.."

Kebisingan Myra dan El nampaknya sedikit mempengaruhi konsentrasi seorang Aeghys. Zen pun begitu, ia bahkan sesekali melirik ke arah kedua orang yang tengah bertengkar.

Sementara keduanya sedang mencoba untuk fokus, dua orang lainnya justru semakin gaduh dengan masalah sepele mereka. Lama-kelamaan frekuensi suara mereka pun semakin meninggi.

"..Bisakah Kau itu menjadi orang yang sedikit sopan, El? Apa Orang Tua mu itu tak mengajarimu Tata Krama?!" Bentak Myra geram, kelihatannya ia akan segera meluapkan semua kekesalannya terhadap El selama ini.

"Lantas Kau ini memangnya punya Hak untuk menyuruhku mengubah sikap?!" El naik pitam. Bola matanya yang gelap semakin gelap saja, bersamaan dengan Aura menyeramkan yang menguar dari tubuhnya. Sepertinya El tersinggung dengan ucapan Myra barusan.

"HEI! AKU MEMBERIMU NASEHAT—"

"Jika tidak membantu, sebaiknya jangan menganggu—"

"Dan Kau! Rambut Kuning! Kau pikir Kau itu siapa, Hah? Kau pikir karena Kau mendapat peringkat pertama untuk segala hal, Kau bisa berlagak seperti itu?!" Untuk pertama kalinya penghuni ruangan itu melihat Bola mata Hitam El yang mengkilat marah. Gigi nya bergemelutuk didalam sana. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku kuku miliknya memutih.

Entah apa yang tengah merasuki El saat ini, Namun yang dapat kita tahu sekarang, adalah bahwa El sedang lepas kendali.

"Ya, Aku berpikir seperti itu. Dan Orang Bodoh yang tak bisa mengontrol emosi sepertimu, tak akan pernah bisa memahaminya."

Aeghys mengangkat wajahnya, menatap lurus El dengan tatapan yang entah artinya apa. Sedang El balik menatapnya dengan penuh kebencian.

"Ku ulangi sekali lagi. Orang sepertimu, yang melukai hati banyak orang, tak akan pernah bisa memahaminya—"

GREP!

Tangan kiri El dengan cepat mencengkram kerah baju Aeghys, mencondongkan tubuhnya hingga kini jarak antara kedua kepala itu hanyalah tersisa sebanyak sepuluh senti.

"Lanjutkan bicaramu yang penuh omong kosong itu, silahkan Kau lanjutkan saja. Sebelum mulutmu itu sama sekali tak bisa digerakkan." Aeghys masih saja memasang tampang datar nya, alisnya bahkan tak sedikitpun bergerak dari tempatnya walau El telah memberinya sebuah ancaman yang tak main-main.

"El, sudah. Tenangkan dirimu, dan lepaskan tanganmu dari baju Aeghys. Sekarang bukan saatnya—" Ucapan Zen terhenti begitu pula dengan gerakan tangannya yang sedang berusaha melepas cengkraman El, tepat saat tangan Aeghys menahannya.

"Biarkan si Bodoh ini. Mari kita lihat, seberapa kacau dirinya."

Zen mengangguk dan perlahan menjauhkan tangannya, walau ia tak mengerti mengapa Aeghys malah membiarkan El yang sudah siap memukulnya, dengan ekspresi santai begitu.

"Kau benar-benar seperti yang kudengar, Aeghys Aloysius."

"Dan Kau pun juga, Elvanna Vil-"

BUAGH! BRAK!

Tubuh Aeghys terbanting begitu saja ke lantai, Ia mengusap kasar darah yang keluar dari pinggir mulutnya akibat bogem mentah El. sang Pelaku menyeringai, berjalan menyusul korbannya dan berdiri tepat di depannya.

El mengangkat satu tangannya, mengangkatnya tinggi-tinggi dengan jari yang telah mengepal mantap. Ia bersiap meluncurkan satu bogem lainnya. Tetapi anehnya, Aeghys justru masih setia dengan tampang datarnya. Ia sama sekali tak terlihat takut.

"Lagi? Kau akan melakukannya lagi?" Kalimat itu Aegis lontarkan tepat saat El hendak melepas landaskan tangannya. Dan benar saja, El langsung lemas seketika. Tubuhnya merosot, dengkul nya membentur lantai, kepalanya menunduk lalu tak lama kemudian bahunya mulai bergetar.

Suara isakan yang samar-samar perlahan terdengar darinya. Tetes demi tetes air mata jatuh membasahi ubin putih. El.. menangis..

Zen juga Myra termenung menatap kejadian itu. Posisi kuda-kuda mereka mulai mengendur, hingga kemudian mereka menghampiri El.

Aeghys setia dengan wajah datarnya. Beberapa kali ia terlihat sibuk mengusap darah yang mengalir dari ujung kiri bibirnya. Ia mencoba bangkit, untuk kemudian berdiri tepat di depan El yang masih terduduk.

Sunyi menyergap, hanya isak tangis El lah yang terdengar hingga ke seluruh sudut ruangan.

"Maaf.. maaf kan Aku.. Aku benar-benar minta maaf padamu.." lirih El saat kepalanya telah sempurna mendongak keatas dan bertatapan lagi dengan Aeghys. Alih-alih menjawab, Aeghys tanpa basa-basi langsung meluncurkan bogem nya tepat ke wajah El.

Buagh! Brak! El terpelanting jatuh kesamping. Memang suara jatuhnya tak terlalu kencang, karena posisinya yang memang sudah berada di bawah. Namun, pukulan Aegis ternyata lebih kuat dibandingkan pukulan milik El. Itu dapat dibuktikan dengan melihat salah satu gigi El yang entah terhempas kemana, dan juga hidung serta sudut bibir El yang mengeluarkan darah.

El meringis kesakitan, bahkan Zen dan Myra pun tanpa sadar ikut meringis, seakan mereka ikut merasakan apa yang dirasakan El hanya dengan melihatnya.

Lain halnya dengan Aegis. Ia berjongkok dihadapan El dengan hanya satu lutut yang mencium ubin. Sorot matanya kini berubah, sekarang ia tak lagi memandang El dengan tatapan mata datarnya, melainkan dengan tatapan merasa kasihan dan merendahkan.

"Ck.. ck.. ck.. Apa Kau pikir kata maaf mu itu bisa mengembalikan rasa sakit bibirku? Cobalah sekali-sekali untuk menggunakan nalar mu, Orang Bodoh Kedua." Setelah mengatakan itu, Aeghys pun beranjak duduk lagi di kursi makan. Tangannya meraih cangkir berisi kopi milik El, dan kemudian menyesapnya.

Disisi lain, Zen menyuruh Myra untuk segera mengobati El. Sedangkan ia sendiri berjalan menghampiri Aeghys untuk kemudian menarik kursi dan duduk disamping nya.

"Apa menurutmu kau tak keterlaluan? Dia—"

"Tidak, Aku melakukan hal yang pantas untuknya." Potong Aeghys sebelum Zen menyelesaikan kalimatnya. Zen hanya menghela nafas pasrah, ia bahkan tidak diizinkan untuk menyelesaikan kalimatnya, maka ia pun pasti tak diizinkan untuk bertanya lebih lanjut.

"Baiklah, Aku yang bodoh ini memangnya tahu apa?" Niat untuk bergurau, Tapi Aeghys justru hanya memandangnya dengan tatapan bingung. Sudahlah, intinya, jangan pernah mencoba bergurau dengan Aeghys, selera humornya tinggi.

***

Sudah 8 jam lamanya sejak kejadian adu bogem tadi terjadi, sekarang keempatnya tengah sibuk mengemasi barang-barang mereka. Tas-tas itu bertambah banyak.

Ya, karena plan kedua yang dimaksud adalah membawa semua barang yang diperlukan karena setelah sampai dan mendapatkan 'Apa Yang Dicari' di Lab IPA (Fisika, Kimia, dan Biologi) ataupun Greenhouse, keempatnya akan melanjutkan perjalanan tanpa kembali lagi ke asrama mereka.

"Sudah siap semua? Jangan sampai ada barang penting yang tertinggal, oke?" Tanya Zen yang sudah siap dengan satu tas gunung besar di punggungnya, satu pisau Chef's Knife di tangan kanannya, dan satu panci di tangan kirinya, serta garpu dan cutter di saku, juga kotak pensil yang dilakban di kanan kiri kakinya.

"Ya," El dan Aeghys kompak menjawab.

Penampilan El dan Aeghys saat ini hampir sama dengan Zen. Mereka menggunakan satu tas gunung besar, cutter serta garpu di saku kanan dan dua kotak pensil yang dilakban dikaki mereka. Bedanya, Aegis menggunakan Paring Knife sebagai Attack, dan wajan kecil sebagai Defense. Sedangkan El menggunakan Carving Knife sebagai Attack, dan teflon sebagai Defense

"Hei El, darimana Kau mendapatkan Carving Knife itu?" Tanya Zen penasaran karena sebelumnya mereka hanya memiliki tiga benda tajam.

"Milikku. Aku menemukannya berlumur darah tikus, di dekat laboratorium Kimia." Zen mengangguk paham.

"Hei Myra, Kau masih belum siap juga?"

"Zen, berapa banyak set pakaian yang Kau bawa?"

"Kita tidak akan piknik Myra, bawa saja satu set."

"Terimakasih, Zen!"

Tak lama kemudian Myra telah menggendong tas pink-nya dan berjalan menghampiri ketiga temannya yang sedang duduk di kursi meja makan.

"Mendekatlah," Perintah Zen langsung dilaksanakan oleh Myra. Zen mengambil dua kotak pensil yang telah berisi banyak alat tulis disana, sekaligus melakbannya di kaki kanan dan kiri Myra.

"Zen, Apa gunanya pensil-pensil itu?" Tanya Myra penasaran sekaligus keheranan. Tak ingin memperpanjang durasi, Zen langsung menjelaskan segalanya kepada Myra.

"Pensil-pensil itu berguna saat kita sedang terdesak oleh Zombie, Karena pada malam hari Zombie-zombie itu tak bisa melihat, mereka mengandalkan pendengaran. Jadi, kau bisa melempar pensil itu kearah yang jauh, agar Zombienya menyingkir dari hadapanmu."

"Dan yang paling penting, jangan sampai kita menyerang Zombie itu, karena kita pun masih belum tahu banyak tentang kelemahan mereka. Jadi, kau jangan pernah menggunakan pisaumu kecuali dalam keadaan terdesak."

"Terakhir, Wajan milikmu itu gunanya hanya saat Zombie berusaha meraba kita. Kau bisa menggunakan Wajan itu agar Zombie menyentuhnya dan tidak mengenali dirimu. Sampai sini paham?"

Myra mengangguk mantap.

Malam ini, akan menjadi malam pertaruhan antara hidup dan mati. Jikalau Mati, maka siapa dia? Jikalau hidup, maka apa yang akan mereka dapatkan di Lab IPA sekolah?

—BERSAMBUNG— 05.10 — 25-03-2021—