"Zo.. Zombie... Dia diserang zombie?! Ba.. Bagaimana mungkin! Ini... Ini lebih buruk dari yang akau kira!"
Rei sudah banyak membaca novel yang berkaitan dengan zombie selama dia menjadi NEET. Dan satu hal yang pasti di setiap novel yang dia baca, bahaya ada dimana saja saat dunia di penuhi dengan zombie.
"Oke, nggak perlu panik! Yang penting sekarang aku tahu kalau bahaya yang harus aku hadapi adalah serangan zombie. Paling tidak sekarang aku tahu harus waspada dari apa."
"Sekarang aku juga tahu, kalau zombie yang sedang berkeliaran lebih kuat dan lebih cepat dari manusia biasa. Jadi aku tidak boleh bertindak bodoh dengan menghadapi banyak zombie sekaligus."
Menghela napasnya, Rei menghapus tanda silang di samping kata "Monster" pada papan tulisnya dan menggantinya dengan kata "Zombie".
Karena Rei sudah mengetahui apa yang akan dia hadapi di luar sana, maka tinggal masalah "Senjata" dan "Makanan" yang tersisa.
Sebagai warga Indonesia yang baik, tentu saja Rei tidak memiliki senjata api di rumahnya. Apa lagi setelah rumahnya baru saja di jarah orang, benda yang bisa dianggap sebagai senjata sudah ludes di gondol mereka.
Oleh karena itu, Rei harus memutar otaknya dan kembali menyusri rumahnya untuk mencari barang yang bisa di ubah menjadi senjata.
Rei kembali ke ruang bawah tanahnya setelah mencari kurang lebih selama satu jam.
"Ha... Penjarah itu memang keterlaluan, hampir semua barang di rumahku ludes di bawa. Sekarang hanya tinggal ini yang tersisa."
Di meja Rei terdapat sebuah tas ransel yang biasa ayahnya pakai saat mendaki, sebuah pengepel bergagang kayu, sebuah sendok yang telah kotor, masker gas yang dia pakai saat kuliah, dan satu plastik karet gelang yang entah kenapa ada di dapurnya.
"Aku bisa pakai tas ransel ini untuk membawa barang-barang yang kudapat dari luar, jadi aku bisa bergerak leluasa di luar sana."
"Masker gas ini bisa ku pakai untuk berjaga-jaga siapa tahu virus zombie ini juga menular lewat udara."
"Nah dengan begini tinggal senjata untuk membela diri yang belum ada, mungkin aku bisa membuat sesuatu dengan barang-barang yang aku bawa."
Rei mengambil sebuah batu dan memipihkan bagian sendok yang melengkung, kemudian mengasahnya dengan batu yang sama agar menjadi lebih tajam.
Mencopotkan gagang kayu pada pengepelnya, Rei mengikat sendok itu dengan menggunakan banyak karet gelang. Setelah mengikat sendoknya dengan kokoh, Rei mengelap keringat di keningnya dan mendirikan tombak yang baru saja dia buat.
"Akhirnya aku punya senjata untuk membela diri. Walaupun bentuknya meragukan, setidaknya lebih baik dari tangan kosong."
Menghapus tanda silang di samping kata "Senjata" dan menggantikannya dengan kata "Tombak Sendok", Rei tersenyum puas melihat situasinya paling tidak sedikit membaik.
"Aku agak ragu dengan solusi untuk persediaan makananku, sudah dua minggu sejak zombie pertama berkeliaran di sekitar sini. Besar kemungkinan toko dan minimarket di sekitar sini sudah di jarah orang."
"Jadi aku tidak bisa berharap terlalu banyak jika pergi kesana. Apa aku cari makanan dari rumah warga sekitar, mungkin masih ada rumah yang belum di jarah?"
"Enggak, enggak, enggak! Dengan senjata kentang yang aku punya, aku bisa mati kalau rumah yang aku kunjungi terdapat banyak zombie."
"Walau hasilnya sedikit, lebih baik aku pergi ke toko dan minimarket. Aku bisa mengecek keberadaan zombie dari jalan raya kalau di sana, paling tidak aku lebih aman."
Berjalan menuju lemari pakaiannya, Rei mengenakan sepasang pakaian yang ada di lemarinya.
Dari cemin besar di lemarinya, tampak bayangan seorang pemuda ramping berusia 19 tahun. Pemuda itu menggunakan seragam putih yang di gunakan oleh salah satu karakter game favoritnya "Assassin kreed".
Dengan wajah blasteran Jepang-Rusia, di tambah dengan kontras rambut hitam dan mata birunya yang menyala dalam gelap, paling tidak Rei masuk kategori tokoh biasa di shoujo manga.
"Ahh... Sudah lama aku ingin memakai baju ini untuk sehari-hari. Dengan situasi seperti sekarang, enggak masalahkan kalau aku nge-wibu dikit."
Rei memakai masker gasnya, kemudian memastikan penahan tudung jubah yang dia gunakan sudah terpasang. Sekarang hanya mata birunya yang masih bisa terlihat oleh orang.
Mengikat tombak sendok ke tali di ranselnya, Rei keluar dari rumahnya dan berangkat menggunakan sepeda gunungnya.
Bersepeda melalui lorong komplek rumahnya, Rei mulai memperhatikan keadaan sekitar lebih teliti. Apa bila dia melihat sesuatu yang mencurigakan, dia akan langsung memacu sepedanya lebih cepat.
"Aku harus menghemat staminaku yang memang sedikit ini, aku tidak bisa terus-terusan ngebut."
Melintasi jalan raya yang pernah dia lalui pagi ini, Rei akhirnya sampai di minimarket pertamanya. Setelah melihat keadaan minimarket yang sepi, Rei memarkirkan sepedanya dekat dengan gedung minimarket.
"Huu... Oke! Saatnya beraksi!"
Dengan tombak sendok di tangan, Rei berjalan secara perlahan membuka pintu minimarket di depannya. Benar saja, hampir semua barang yang berada di dalam minimarket telah ludes di jarah orang.
Setelah menyusuri seluruh stan di minimarket, Rei akhirnya menemukan beberapa kotak susu whey protein tipe gain mass, beberapa botol parfum, satu paket kopi berkafeina, banyak es krim, dan beberapa botol air mineral.
"Saat ini, mungkin tidak ada orang lain yang lebih membutuhkan protein selain aku. Badanku yang ramping ini, tidak akan bertahan kalau berhadapan dengan zombie secara langsung."
Dengan ligat Rei memasukkan semua susu, parfum dan kopi yang dia temukan di ranselnya. Kemudian dia mengambil sebuah plastik besar di meja kasir dan memasukkan semua es krim yang ada.
Mengambil salah satu botol air mineral, Rei melegakan dahaganya setelah semua aktifitasnya pagi ini.
"Ah... Aku lupa bawa air minum, untung masih ada air di sini. Lain kali aku harus lebih berhati-hati."
Sekarang hanya gudang penyimpanan yang belum Rei telusuri. Setelah memastikan tidak ada zombie yang terlihat di luar, Rei perlahan membuka pintu gudang penyimpanannya.
Berbeda dari ruangan gelap yang dia bayangkan, gudang ini ternyata sangat terang oleh cahaya lampu. Ditengah ruangan seorang pria paruh baya berdiri membelakangi Rei, melihat dari kondisi tubuhnya tidak salah lagi dia zombie.
"Ada satu zombie di dalam sana, ini kesempatan bagus untuk mengetahui secara langsung kekutan mereka."
"Oke... Rei kamu harus tenang. Aku yakin kamu bisa!"
Rei berusaha mengendap-endap mendekati zombie itu dari belakangnya, dengan tombak sendok ditangan Rei siap untuk menyerang.
Setelah beberapa langkah, zombie itu kelihatannya tersadar akan keberadaan Rei. Sebelum zombie itu sempat berbalik badan sepenuhnya, Rei telah berlari dan menerkam dengan tombaknya.
"Dang!" zombie itu tercampak dan tombak Rei patah begitu saja tanpa memberikan luka yang berarti.
"Gawat! Tengkorak zombie ini lebih keras dari yang aku kira! Kalau begini, aku harus segera lari!"
Mengambil langkah seribu, Rei berlari menuju pintu gudang penyimpanan ini. Tapi belum sempat dia berlari terlalu jauh, dia merasakan ada seseorang yang berada dekat di belakangnya.
Tanpa pikir panjang, Rei segera berguling ke sisi kanan menghindari terkaman zombie yang hampir mengenainya.
"Ha... Hampir saja! Zombie ini cepat sekali, mustahil aku bisa lari lebih cepat darinya. Aku harus melumpuhkannya kalau aku ingin pergi dari sini."
Setelah melihat kesekitar, Rei akhirnya menemukan tumpukan kardus yang di susun di sudut gudang. Mungkin kalau dia bisa memancing zombie itu kesana, ada peluang dia bisa lolos dari sini.
Berlari dan berguling, Rei secara perlahan menggiring zombie itu untuk mendekati tumpukan kardus. Melihat tumpukan kardus yang sudah berada dekat dengannya, Rei tahu inilah saatnya untuk menguji rencananya.
"Oke... Ini dia, semoga rencanaku berhasil."
Berguling di saat terakhir, Rei sempat melihat secara sekilas zombie yang mengejarnya menabrak tumpukan kardus. Tumpukan kardus itu roboh, dan menimpah zombie yang sebelumnya mengejar Rei.
Dengan rencananya yang sukses, Rei terduduk di lantai gudang dan napasnya terengah-engah.
Dia juga merasakan luka yang ada ditubuhnya saat dia mencoba berguling berkali-kali.
"Ha... Ha... Ha... Ternyata tidak semudah 'Residents Evyl', tengkorak zombie ini enggak langsung hancur begitu saja."
Belum lama Rei menarik napas lega, terdengar olehnya suara yang berasal dari tumpukan kardus. Rei terus bersiap berlari meninggalkan gudang tempatnya berada, apapun penyebab suara itu bukan hal yang baik untuk Rei.
Sesaat setelah dia berdiri, Rei mearasakan sepasang tangan memegang kaki kirinya. Tumpukan kardus sebelumnya, ternyata tidak cukup kuat untuk menahan zombie itu.
Rei dengan panik memijak tangan zombie berkali-kali, tapi tidak ada hasil yang berarti. Zombie itu mulai merayap keluar dari tumpukan kardus yang menimpanya.
"Mati aku!"
Itulah kata yang terpikirkan oleh Rei saat melihat kepala zombie yang mulai muncul dari tumpukan kardus. Zombie itu menarik kaki Rei hingga Rei terjatuh, kemudian zombie itu menggeret Rei mendekat agar bisa dia lahap.
Merasakan bahaya yang dia alami, Rei semakin panik dan mulai mencari benda sekitar yang bisa dia pegang.
"Tap" Terasa tangan Rei memegang sebuah besi, tanpa melihat apa yang dia pegang Rei memukul besi di tangannya ke arah kepala zombie berkali-kali.
Setelah hampir lima menit memukul, Rei akhirnya memberanikan diri untuk melihat hasil perbuatannya. Kepala zombie yang menangkapnya tidak bisa di kenali lagi, telah hancur berserakan oleh serangan Rei yang berulang-ulang.
Melihat tangannya yang bersimbah darah, Rei akhirnya mengetahui bahwa besi yang dia pegang adalah sebuah linggis.