Orang lain pasti sudah panik dalam keadaan hidup mati seperti ini, tapi Rei yang telah menjadi NEET selama bertahun-tahun sudah tahu pasti apa yang harus dia lakukan.
'Oke... Tenang Rei, tenang! Kamu boleh takut berhadapan dengan mereka, tapi aku tidak akan menurut begitu saja!'
"...." Dengan mulut yang tertutup rapat, Rei hanya berdiri di sana dan menatap pemimpin dari kelompok penjarah di depannya.
Kelima orang di depannya melihat satu sama lain, mereka tampak bingung mau berkata apa.
Kapten Yan menghela napasnya dan mengangkat kedua tangannya ke arah Rei, seakan isyarat bahwa dia tidak memiliki maksud jahat.
"Tidak apa kalau anda tidak ingin bicara, kami tidak akan memaksa. Sebelumnya perkenalkan kami dari organisasi 'The Right Hand', organisasi yang bertujuan untuk melindungi orang-orang yang ditinggalkan oleh pemerintah."
Rei yang mendengar perkataan Kapten Yan tampak kaget setelah dia menyadari sebuah fakta yang sempat terabaikan olehnya.
'Tunggu dulu.... Jadi orang-orang yang di anggap bermanfaat dan berkuasa sudah lama di evakuasi oleh pemerintah? Itu artinya ayah dan ibu sudah di evakuasi, tapi mereka meninggalkan aku?'
'Wah... Aku merasa kayak anak haram. Sudahlah yang penting mereka selamat, aku tinggal fokus dengan kondisi ku di sini.'
Karena sekarang bukan waktu yang tepat untuk merenungi nasib, Rei kembali fokus ke kapten Yan yang telah berjalan mendekat dengan senyum di wajah dan tangan terulur.
"Saya lihat anda sedang menjelajah sendirian, apa anda berminat bergabung dengan kami menjadi anggota TRH?"
Rei terkejut mendengar ajakan untuk bergabung dengan TRH yang di tawarkan oleh kapten Yan, menurut Rei tidak ada orang waras yang akan mengajak orang asing bergabung dengan regunya begitu saja.
Bukan hanya Rei, keempat anggota TRH yang ada di sana juga ikut kaget mendengar perkataan kapten Yan. Letnan Dini dan Letnan Koko terus berjalan mendekati kapten Yan dengan wajah khawatir.
"Eh, kita mau merekrut anak ini kapten? Kenapa tidak bawa ke markas saja, dan beri perlindungan seperti warga lain?"
"Benar kata keling kapten, anggota kita sudah cukup untuk mengamankan satu kecamatan ini. Apa lagi anak ini kurus kapten, nanti waktu tugas jadi beban!"
'Wah... Mereka menghinaku di depan wajah ku, maaf lah aku yang kurus ini. Mau bagaimana lagi, aku NEET! Apa yang kalian harapkan?'
Menggelengkan kepalanya, Rei melihat ke Kapten Yan yang tampak ingin menghajar anggotanya. "Tidak perlu, terima kasih untuk sebelumnya."
Tentu saja Rei akan menolak tawaran untuk bergabung dengan TRH, menurutnya dia masih bisa bertahan hidup tanpa harus bergantung dengan orang lain.
'Aku tidak pernah bergantung dengan orang lain sebelumnya, dan hal itu tidak akan berubah hanya karena bumi di serang zombie.'
Berjalan melalui anggota TRH di sekitarnya, langkah kaki Rei terhenti saat dia merasakan tangan kapten Yan di pundaknya. "Tunggu, bawa ini bersama anda!"
Kapten Yan menyerahkan sebuah katana bersarung hitam dengan corak kemerahan yang sebelumnya menempel di pinggangnya. Melihat dari kilau di mata pedang katana itu, Rei tahu bahwa katana ini sangat berharga bagi kapten Yan.
Rei selalu di ajarkan oleh kedua orang tuanya bahwa tidak ada pemberian yang gratis di dunia ini. Apa bila dia menerima pedang ini, maka dia akan terhubung dengan kapten Yan.
'Hah.... Maaf, tapi aku lebih senang sendirian dalam situasi seperti sekarang.'
Tanpa sepatah kata, Rei lanjut berjalan keluar dari minimarket. Pemandangan Rei saat berjalan membelakangi anggota TRH harusnya tampak keren kalau dia tidak harus pulang dengan mengayuh sepeda.
'Haa...Aku harus mencari kendaraan lain yang sesuai dengan kostum "Assassin kreed" yang aku pakai.'
Di saat Rei bersusah payah pulang mengayuh sepeda, Kapten Brian del ginting dan anggota TRH yang lain sedang memuat semua kardus susu whey protein ke jip mereka.
"Bos Yan, tadi kenapa sih bos kayak serius banget mau anak itu gabung? Sampai bos mau ngasih katana kesayangan bos." Tanya Letnan Koko sembari mengangkat beberapa kardus.
Kapten Yan yang baru saja duduk beristirahat, menghela napas mendengar pertanyaan anggotanya. "Ha... Kamu dan teman-teman kamu masih saja menilai orang dari sampulnya, anak itu punya potensi yang lebih hebat dari yang kamu kira."
"Tapi bos, selain mata birunya aku tidak melihat ada yang spesial dari dia. Aku berani taruhan si kembar cowok pasti bisa menghajar anak itu dengan mudah." Ujar letnan Koko sembari duduk di samping sang kapten.
Kapten Yan tersenyum dan melihat ke arah anggota lainnya yang sedang memuat barang. "Kalau begitu saya mau nanya sama kamu, siapa di antara mereka yang sadar kalau dia sedang bersembunyi di atas atap?"
Letnan Koko menggelengkan kepalanya, karena tidak ada dari mereka yang menyangka masih ada orang di minimarket selain sang kapten. "Ya memang sih bos aku akui tempat sembunyinya bagus, tetapi bisa jadikan cuma kebetulan dia lagi sembunyi di atap."
Seperti telah menabak jawaban dari anggotanya, kapten Yan tertawa dan menunjuk tempar Rei berdiri setelah melompat dari atap. "Benar apa yang kamu bilang, tapi kamu sadar enggak apa reaksi pertamanya saat turun? Bukannya meminta maaf atau berterima kasih, tapi dia hanya berdiri di sana dan melihat kita satu persatu."
Letnan Koko jadi teringat saat dia sempat bertatapan mata dengan Rei, tapi letnan Koko mengabaikannya karena dia melihat ketakutan di mata Rei. "Tu... Tunggu dulu! Maksud bos, anak itu telah memiliki asas 'Keberanian' di dalam hatinya? Hebat juga untuk warga sipil seperti dia."
Di batalion mereka dahulu, ada dua puluh asas yang harus di miliki seorang kesatria atau prajurit. Dan salah satu di antaranya adalah asas 'Keberanian'.
Fakta bahwa anak itu mengamati mereka dan mungkin memperkirakan peluangnya untuk menang walaupun saat itu dia sedang ketakutan dan panik, menjadi bukti bahwa Rei memiliki asa keberanian di dalam hatinya.
Hal seperti ini tidak dapat di peroleh hanya dengan latihan di akademi. Di perlukan proses yang panjang dan menyakitkan untuk melatih seseorang agar berani menghadapi ketakutannya.
Kapten Yan mengangguk, dia tampak senang anggotanya paham apa yang dia maksud. "Kalau kita bisa mengajak dia bergabung dengan TRH, setelah beberapa latihan militer, dia akan menjadi aset yang berharga untuk organisasi."
Akan tetapi letnan Koko menggelengkan kepalnya setelah mendengar perkataan kapten Yan. "Aku rasa berlebihan menyebutnya aset berharga, dengan dunia yang penuh dengan kekacauan seperti ini. Orang-orang yang memiliki asas 'Keberanian' pasti akan muncul satu per satu."
Kapten Yan bangkit dari duduknya, dan berdiri menghadap arah Rei pergi sebelumnya. "Saya juga tahu akan hal itu, tapi anak ini memiliki lebih dari satu asas dalam dirinya. Dia adalah orang pertama dengan asas terbanyak yang pernah aku jumpai."
"Tu... Tunggu dulu! Maksud bos dia punya asas lain selain 'Keberanian'? Tapi aku tidak melihat asas apapun di dalam dirinya?!" Letnan Koko terus berdiri melihat kaptennya dengan ekspresi kaget.
Kapten Yan hanya tersenyum dan berjalan menuju jip mereka. "Kalau kamu mau tahu asas apa lagi yang ada di anak itu, latih lagi kemampuanmu dan lihat sendiri saat kita berjumpa dengannya nanti."
Letnan Koko yang hendak bertanya seketika terdiam mendengar perkataan sang kapten. Benar kata sang kapten, kita harus menilai orang lain menggunakan mata dan kepala kita sendiri. Bukan atas cerita dari orang lain.
Rei yang tidak sadar bahwa dia baru saja jadi bahan cerita personel TRH, sedang mengayuh sepedanya melewati lorong komplek rumahnya.
"Haa... Tadi hampir saja, untung aku tadi bertemu dengan mereka. Kalau tidak, bisa jadi aku harus bermalam di atap minimarket itu."
"TRH kelihatannya organisasi yang baik, mungkin nanti bila aku sudah bertambah kuat aku akan menolong mereka jika mereka dalam kesusahan."
"Aku akan mengingat utang jasa ini sampai masa itu tiba."
Memacu sepedanya untuk melaju lebih cepat, Rei tidak sadar sebuah senyum muncul di wajahnya saat memikirkan kejadian siang ini. Siapa sangka dia masih bisa menemukan kebaikan di dunia yang sudah hampir hancur ini.