Mendorong sepeda yang dia tunggangi memasuki rumahnya, Rei segera membuka bajunya dan merobek sebuah kain dari lemarinya.
Menahan rasa sakit di lengan kanannya, Rei membalut luka di lengan kanannya secara kuat. Dengan tubuhnya yang ramping, dia tidak akan bertahan kalau kehilangan terlalu banyak darah.
"Aduh... Ya ampun, lengan ku terasa seperti terbakar!" ujar Rei saat mengikat simpul terakhir di perban lengannya.
Menaruh ranselnya di atas meja belajarnya, Rei kemudian berbaring di atas ranjangnya. "Lebih baik aku pergi tidur saja, siapa tahu besok lukanya sudah sembuh."
Melihat langit-langit ruang bawah tanahnya yang mulai gelap, Rei hanya bisa berharap tidak ada masalah seirus akibat lukanya.
"Tenang saja Rei.... Semua akan baik-baik saja, ini cuma luka kecil. Paling besok sudah sembuh!" Rei menutup matanya dan mulai terlelap ke tidur tanpa mimipi.
Pada pukul tiga dini hari, Rei tiba-tiba terbangun dari tidurnya dengan wajah yang di penuhi dengan keringat. Kegelapan yang telah lama menguasai ruang bawah tanahnya semakin memperburuk apa yang dia rasakan.
"Aaaahhhhh...Saaaakiiit!!!" Memegang lengan kanannya Rei berteriak sekuat tenaga.
"Persetan dengan zombie! Aku sudah tidak tahan lagi!" Dengan menggigit selimut yang ada di ranjangnya, Rei harus menahan sensasi terbakar, berdenyut, dan gatal yang ada di lengan kanannya.
Rei bangkit dari ranjangnya kemudian berjalan dan membongkar isi ranselnya yang berada di atas meja. Meraba barang-barangnya yang diselimuti kegelapan, Rei akhirnya berhasil menemukan lampu bertenaga surya yang dia cari.
Bermodalkan cahaya dari lampu di tangannya, Rei kemudian berlari menuju cermin yang berada di lemari pakaiannya. Melihat bayangan dirinya di cermin, Rei secara perlahan membuka perban kain yang dia ikat di lengan kanannya.
Perlahan demi perlahan dia mulai melihat kondisi lengan kanannya di cerminnya dari balik perban yang dia lepas. Lengan kananya sudah tidak lagi berwarna putih seperti orang eropa, lengan kanannya telah berubah kehijauan dengan nanah tampak di sekitar lukanya.
"Enggak... Ini... Ini enggak mungkin..." Melihat kulitnya yang telah berubah warna seperti zombie yang ada di luar, hanya satu kemungkinan yang ada di kepala Rei.
"Aku... Aku akan menjadi zombie? Tapi... kenapa? Aku tidak tergigit, kenapa aku berubah menjadi zombie. Ini... Ini tidak masuk akal!" Menggelengkan kepalanya berkali-kali, Rei menolak sebuah kebenaran yang ada di depan matanya.
Rei tidak menyangka bahwa luka cakar di tangannya sudah cukup untuk membuatnya tertular virus zombie. "Kalau aku tahu hal ini akan terjadi, lebih baik aku sembunyi saat berhadapan dengan lima zombie itu."
Lukanya yang terasa semakin sakit tiap kali berdenyut, mau tidak mau menyadarkan Rei akan gentingnya keadaannya. "Aku harus mencari cara untuk mengobati luka di lenganku, paling tidak sampai rasa sakitnya berkurang!"
"Nanah di lengan kananku artinya terjadi infeksi di sana, aku harus membersihkan kulit di sekitar lenganku agar tidak infeksi lanjutan." ujar Rei saat mengambil botol air dari mejanya.
Berjalan ke kamar mandi, Rei memegang botol air yang sudah terbuka kemudian menyiramkan ke luka di tangan kanannya. "Oke... Ayo kita mulai."
Saat air menyentuh lukanya, dia merasa kesakitan seperti sedang disiram dengan air panas. Menahan rasa sakit di lengannya, dia tetap menyiram sampai air pada botol yang dia pegang habis.
"Sekarang aku harus mengeluarkan semua nanah yang ada di lenganku. Cuma ada satu cara mengeluarkannya, dan itu pasti menyakitkan." Rei berjalan keluar kamar mandinya dan kemudian duduk di pinggir ranjangnya.
Setelah menarik napas beberapa kali untuk mempersiapkan diri, dengan tangan kirinya dia kemudian memegang lengan kanannya yang terluka. Seperti memencet sebuah bisul, Rei dengan sekuat tenaga memencet luka di lengan kanannya hingga nanahnya mulai keluar.
"Aaaaahhhh.... Saakiiit!! Aduuuuhhh...!! Saaakiit...!!" Tak kuasa menahan sakit, Rei berteriak dengan kencang tanpa melemaskan tangan kirinya.
Nanah di lukanya tetes demi tetes jatuh dan membasahi lantai, kala itu waktu berjalan sangat lambat bagi Rei.
Deti dan menitpun berlalu, saat tetes terakhir nanahnya terjatuh, Rei telah terkapar di ranjangnya dengan wajah yang penuh keringat. "Ha... Ha... Ha... Tak sangka bisa sesakit ini, untung aku masih tersadar setelah selama ini."
Rei tersenyum saat merasakan luka di lengan kanannya sudah berhenti berdenyut, menandakan paling tidak dia mendapatkan hasil dari usahanya.
"Oke... Sekarang kita lihat keadaan luka di lenganku, semoga tampak sedikit lebih baik." Mengambil botol air mineral lain di meja belajarnya, Rei meneguk beberapa air sebelum berjalan kembali ke cermin yang ada di lemarinya.
"A... Apa... Apa yang terjadi?" Botol air di tangannya terjatuh saat melihat bayangan yang terpantul di cermin.
Bukannya membaik, warna hijau pucat di lengannya malah semakin melebar. Tampaknya dia malah membantu penyebaran virus zombie di tangannya.
"Ba.. Bagaimana ini, virus zombie di tubuhku semakin mengganas. Tidak lama lagi lengan kananku akan habis menjadi lengan zombie." Rei terduduk di tepi ranjang, dengan kedua tangan memegang kepalanya.
"Apa aku amputasi saja ya? Mungkin aku bisa menghentikan penyebaran virusnya dengan begitu."
"Iya... Iya... Aku sudah enggak punya cara lain, lebih baik kehilangan tangan dari pada kehilangan nyawa!" Berlandaskan ide gila di kepalanya, Rei segera bangkit dan mencari alat untuk menjalankan idenya.
Lima belas menit dia mengacak-acak rumahnya untuk mencari alat untuk mengamputasi lengannya, tapi dia tidak menemukan hasil yang memuaskan. "Ah... Aku lupa tidak ada alat seperti itu di rumah ini, karena kendala alat aku tidak bisa menjalankan ide ku."
Menghela napasnya, Rei kembali terduduk di kursi meja komputernya. "Ha... Tidak lama lagi aku akan berubah menjadi zombie. Apa yang haru aku lakukan?"
Melihat ke arah minimarket yang dia kunjungi pagi ini, Rei menggelengkan kepalanya dengan senyum pahit di bibirnya. "Aku tidak bisa meminta pertolongan dari orang-orang TRH, mereka mungkin akan langsung membunuhku saat melihat luka di lenganku."
Mengambil bola kristal dari salah satu zombie yang menyerang dirinya dari lantai, Rei masih tidak menyangka kalau virus zombie ini mengenai dirinya. "Kalau di novel, biasanya karakter utamanya akan melakukan hal gila saat keadaan seperti ini. Apa aku akan melakukan hal yang sama?"
Rei merasakan ketenangan saat melihat sinar yang terpancar dari bola kristal yang berada di tangannya. Mengingat novel - novel yang pernah dia baca, ide gila lainnya muncul di kepalanya."Bagaimana kalau aku telan batu ini?"
"Banyak novel yang tokoh utamanya menelan inti monster saat keadaan kritis, mungkin aku bisa beruntung seperti mereka dan selamat dari virus ini?"
"Tetapi ada resiko kalau aku akan langsung mati dan menjadi zombie setelah menjalankan ide gila ku. Ah... Penyakit NEET ku mulai kambuh, menerapkan fakta khayalan di kehidupan nyata. Aku pasti sudah gila." Rei memijat kepalanya dengan kedua tangannya.
"Ahh... Sudah lah, aku juga enggak punya solusi lain selain ini. Paling tidak, aku tidak perlu merasakan kesakitan di lenganku lagi kalau aku lewat." Menutup matanya, Rei menelan bola kristal yang ada ditangannya.
Merasakan sensasi panas di perutnya, Rei membuka matanya dan tersenyum. "Kalau aku harus mati, paling tidak aku mati dalam keadaan tampan."
Rei berjalan menuju ranjangnya, kemudian dia berbaring dengan mata tertutup dan tangan terlipat. "Baiklah aku sudah siap untuk berpisah dari ragaku, kehidupanku mungkin tidak terlalu manis. Tapi paling tidak, aku sudah memenuhi dua belas dari dua puluh janji suci kesatria langit!"
"Semoga kesatria langit lainnya tidak bernasib sama seperti ku, selamat tinggal dari ku untuk dunia!"
"Selamat tinggal"
"...."