"Selamat datang di kantorku," ucap Erland.
Orang itupun bergegas mendekati Erland dan memeluk Erland.
"Kantormu oke," ucap orang itu seraya melepaskan diri dari pelukan Erland.
"Hem... Ya, lumayan," ucap Erland kemudian meminta orang itu duduk.
***
Di sisi lain, tepatnya di tempat melukis Briel.
Briel dan Jenny tengah duduk di kantin. Briel tampak tak berselera memakan makan siangnya. Hal itu membuat Jenny yang sejak tadi memperhatikan Briel menjadi heran.
"Briel, apa kamu baik-baik saja?" tanya Jenny.
Namun, Briel hanya diam seraya memainkan sendok di tangannya.
'Hem... Terasa ada yang mengganjal, membuatku tak nyaman jika di diamkan seperti ini. Kenapa aku jadi merasa bersalah padanya karena masalah di pasar tadi pagi? Dia jadi mendiamkan ku seperti ini,' batin Briel.
Sudah sejak pagi tadi Briel merasa tak bersemangat karena ada sesuatu yang di pikirkan. Entah mengapa, dia menjadi kepikiran dan terus mengingat kemarahan Erland saat di pasar tadi.
"Hei, Briel! Kenapa melamun? Makananmu dingin, nanti tak enak lagi untuk di makan," ucap Jenny.
Briel menghela napas. Dengan cepat dia menatap Jenny begitu serius membuat Jenny menjadi syok.
"A-ada apa?" tanya Jenny syok.
"Jen, bagaimana caranya membujuk seroang pria yang sedang marah?" tanya Briel.
Jenny mengerutkan dahinya. Ada apa tiba-tiba Briel menanyakan hal seperti itu? Apa diam-diam Briel memiliki kekasih? Pikir Jenny.
Jenny tersenyum memperlihatkan giginya membuat Briel menatap Jenny penuh selidik.
"Briel tahu 'kan, Jenny tak pernah punya kekasih. Jenny tak tahu bagaimana caranya membujuk pria selain papi Jenny," ucap Jenny jujur seraya menunjukan raut wajah polosnya.
Briel menepuk dahinya. Bagaimana bisa dia melupakan hal itu? Dia tahu pasti Jenny memang tak pernah memiliki kekasih. Sejak kecil hingga sekarang Jenny selalu bersamanya dan Jenny tak pernah menyembunyikan apapun.
"Sudahlah, lupakan saja," ucap Briel seraya tersenyum dan memeluk Jenny. Kasihan juga pikirnya, bukan hanya Jenny melainkan dirinya juga karena selama ini tak ada pria yang berani mendekati keduanya. Entah apa masalahnya, apakah status keluarga yang membuat pria-pria itu segan mendekati keduanya? Terlebih Briel yang selalu di buntuti oleh kedua bodyguard utusan sang papi sebelumnya.
"Eh, Briel. Apa kamu memiliki kekasih sekarang? Kenapa tak cerita padaku?" ucap Jenny kemudian mengerucutkan bibirnya seolah dirinya marah karena Briel menyembunyikan hal itu darinya.
"Mana ada kekasih, jika pun aku ada kekasih, aku akan menceritakannya padamu, Jen. Tenang saja, ha-ha-ha..." Briel tertawa canggung membuat Jenny merasa bingung.
Jenny merasa Briel menyembunyikan sesuatu. Namun, entah apa yang Briel sembunyikan Jenny pun tak tahu. Satu hal yang membuat Jenny curiga, dia jelas mengenal Briel. Raut wajah Briel menunjukan bahwa Briel tengah menyembunyikan sesuatu.
Ponsel Briel berdering, terlihat kontak sang mama mertua yang memanggilnya. Briel pun menjawab panggilan mama mertuanya itu.
'Ya, halo?' ucap Briel.
'Briel, Mama mengantar makan siang. Ada seseorang yang menunggu di depan pintu gerbang tempat melukismu. Cepatlah ambil,' ucap mama Erland.
Briel melihat Jenny. Dia pun pamit sebentar pada Jenny dan bergegas menuju pintu gerbang sekolahnya.
Briel mengambil sebuah paper dari tangan seseorang. Entah orang itu siapa, sepertinya seorang jasa antar.
'Aku sudah mengambilnya. Terima kasih, Ma. Tapi, kenapa harus repot-repot? Padahal aku sedang makan siang sekarang,' ucap Briel.
'Hem... Cepatlah antarkan ke kantor Erland,' ucap mama Erland.
Briel terdiam.
'Jadi, makanan itu bukan untukku?' batin Briel sedikit kecewa. Menyebalkan pikirnya, dia sudah terlalu percaya diri mengira makanan itu untuknya.
'Tapi, kantor Erland dan tempat melukisku 'kan berbeda arah. Erland pasti akan sangat terlambat makan siang jika aku pergi ke sana. Makanannya bisa tak termakan nanti,' ucap Briel beralasan.
Meski sesungguhnya hal itu adalah masuk akal, tetapi Briel pun memang ingin menghindari Erland. Malas sekali harus datang ke kantor Erland meski dirinya tak ada pekerjaan lain lagi karena sekolah melukisnya telah selesai hari ini.
'Mama sudah bicara dengan Erland, dia akan menunggu. Dia takan mengabaikan masakan Mamanya. Kamu pergi saja sekarang ke kantor. Oh, ya. Pulang cepatlah, sore nanti Mama akan kembali ke Bandung,' ucap mama Erland.
Briel menghela napas lega. Wajahnya seketika sumringah.
'Akhirnya dia akan pergi, setidaknya aku akan sedikit lega tinggal di rumah itu. Dua hari bersamanya terasa seperti dua bulan,' batin Briel.
'Halo, Briel!'
'Iya, Ma. Aku akan ke kantor Erland sekarang,' ucap Briel dan telepon itu pun berkahir. Briel bergegas menuju mobilnya. Briel pun meninggalkan sekolah melukisnya tanpa bicara dulu pada Jenny.
***
Sesampainya di kantor Erland.
Briel melangkahkan kakinya menuju ruangan Erland. Sebelum itu, dia pergi menuju sekretaris dan meminta sekretaris mengatakan kedatangannya pada Erland.
"Maaf, Nona. Saat ini, tengah ada tamu di ruangan Pak Erland. Nona bisa menunggu hingga tamu tersebut pergi," ucap sekretaris.
"Oh, begitu. Jadi, Saya pun harus menunggu, ya?" ucap Briel memastikan. Yang benar saja, pikirnya. Masa iya istri dari petinggi di perusahaan tersebut pun harus menunggu.
"Betul, Nona. Dan maaf, Saya masih ada pekerjaan lain. Silakan Nona menunggu di ruang tunggu," ucap sekretaris seraya menunjuk sebuah sofa di dekat ruangan Erland. Setelah itu, sekretaris itu pun meninggalkan Briel.
Briel menyeringai.
'Kenapa aku harus mendengar kata-katanya? Pergi saja langsung, lagi pula ini perintah mamanya Erland,' ucap Briel.
Briel bergegas menuju pintu ruangan Erland. Dia melihat pintu ruangan Erland sedikit terbuka dan terdiam ketika mendengar Erland tengah bicara dengan seseorang.
Merasa penasaran, Briel pun mengintip ke dalam ruangan Erland.
"Jadi, kamu akan pergi sekarang?" tanya Erland pada seseorang di hadapannya.
Briel mengerutkan dahinya.
'Dia bicara dengan siapa? Siapa pria itu?' batin Briel penasaran.
"Ya, apa kamu masih merindukanku?" tanya orang itu pada Erland.
"Hem... Mungkin," ucap Erland seraya tersenyum manis.
'Ah, lihatlah manusia satu itu, bisa juga tersenyum manis pada orang,' batin Briel.
Briel tersentak ketika orang yang dia lihat adalah seorang pria itu menarik dasi Erland sehingga tubuh Erland mendekat ke tubuh pria itu. Wajah keduanya begitu dekat.
"Tenang saja kita akan bertemu kembali, tak perlu terburu-buru jika ingin kembali melihatku, kita masih memiliki banyak waktu, atau jangan-jangan sebenarnya kamu ingin kembali padaku?" ucap orang itu seraya tersenyum menggoda.
Briel menelan air liurnya.
"Hem... Apa kamu sungguh berpikir aku ingin kembali padamu?" tanya Erland.
"Kenapa tidak? Bukankah hal yang wajar, jika sudah berstatus mantan kekasih, lalu kembali bersama? Banyak juga pasangan yang melakukannya," ucap orang itu seraya mengejek Erland.
Tubuh Briel menegang mendengar apa yang baru saja di katakan pria itu. Jantungnya berdegup kencang. Dia bergegas menjauhi ruangan Erland dan melihat sekretaris Erland sudah kembali.
"Tolong antarkan ini ke ruangan Pak Erland. Bilang saja, seorang kurir mengantarkan makanan dari mamanya. Saya pergi dulu," ucap Briel seraya meletakan paper bag itu di meja sekretaris dan bergegas menuju mobilnya.
Di dalam mobil. Pikiran Briel menjadi kacau.
'Sial, bagaimana bisa aku menikahi seorang gay?' batin Briel.
'Papi, lihatlah nasib anakmu ini. Sungguh sial!' gumam Briel kesal. Tubuh Briel pun seketika menggigil.