Dua puluh menit berlalu, Erland tak juga menemukan Briel. Dia lelah sekaligus merasa gelisah.
'Apa yang terjadi padanya sekarang? Bagaimana jika dia benar-benar dikerjai oleh preman-preman itu? Apa yang akan aku jelaskan pada papinya?' gumam Erland.
Erland sudah mencari ke setiap ujung gedung pasar tradisional itu tetapi dia tak melihat keberadaan Briel.
Erland pun tak membawa ponselnya. Dia lupa membawanya.
"Hei, monster!" panggil seseorang.
Erland berbalik, dia terperangah melihat sosok di hadapannya.
"Oh, kamu cukup peduli juga ternyata. Ini, bawakan belanjaan ini. Tanganku pegal," ucap orang itu seraya memberikan plastik belanjaan berwarna merah dengan ukuran cukup besar ke hadapan Erland.
Erland mengabaikan plastik itu. Dia menatap curiga orang itu yang tak lain adalah Briel. Erland merasa heran karena Briel tak terlihat ketakutan, Erland juga tak melihat penampilan Briel berantakan.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanya Erland penasaran.
"Memangnya apa yang bisa terjadi padaku? Aku belanja sejak tadi, nih belanjaanku," ucap Briel tenang seraya menunjukan plastik merah berukuran cukup besar itu.
"Benarkah? Lalu, apa maksudmu mengatakan dirimu di ganggu para preman?" tanya Erland seraya mengepalkan tangannya.
"Ha-ha-ha..." Briel tertawa keras membuat tubuh Erland menegang. Dia baru menyadari satu hal, dia baru saja di bodohi oleh Briel.
"Jadi, kamu percaya? Oh, ataukah kamu ke sini karena kamu cemas padaku setelah mendengar apa yang aku katakan? Dasar bodoh, aku bahkan hanya bercanda, tetapi kamu menganggapnya serius. Aku hanya menjahilimu agar kamu datang membawakan belanjaan yang--"
Ucapan Briel terhenti ketika Briel sadar Erland menatapnya tak biasa.
"Sudah cukup! Apapun yang terjadi padamu, jangan pernah lagi menghubungiku. Sekalipun itu kenyataan, aku takan peduli!" teriak Erland penuh kekesalan tepat di wajah Briel. Hal itu membuat tubuh Briel menegang.
"Ka-kamu marah? Kenapa? Aku hanya bercanda," ucap Briel syok kemudian terkekeh canggung.
"Dengarkan aku, sekalipun kamu dalam keadaan terancam, atau sekalipun kamu benar-benar di perkosa, aku takan pernah peduli padamu! Jangan pernah menggangguku lagi! Membuang waktuku saja!" geram Erland dan meninggalkan Briel begitu saja.
Jantung Briel berdegup kencang. Dia hanya berniat menjahili Erland agar Erland cepat datang kepadanya dan membantunya membawakan belanjaan yang terasa berat saat dia bawa. Tak di sangka respon Erland begitu tak terduga. Bukankah marahnya Erland itu terlalu berlebihan? Pikir Briel.
'Kenapa dia jadi serius begitu? Dia tak bisa membedakan mana yang bercanda, dan mana yang serius, ya? Dia itu terlalu kolot sekali, menganggap semua hal serius,' batin Briel heran.
'Ah, belanjaan ini siapa yang akan membawanya? Kenapa dia pergi, sih? Menyebalkan sekali!' gerutu Briel.
Briel akan membawa belanjaan itu ke mobil terlebih dahulu karena tak melihat keberadaan mama Erland. Briel memutuskan untuk menunggu mama Erland di mobil saja.
Sesampainya di parkiran, Briel tak menemukan mobil Erland ataupun Erland di sana. Dia melihat sekeliling mungkin saja dia salah ingat meski sebetulnya dia yakin mobil Erland terparkir di tempat yang saat ini dia pijak.
'Aku ingat, dia memarkirkan mobilnya di sini
Tapi, ke mana dia pergi? Apa dia pergi duluan?' gumam Briel seraya mengingat terakhir kali dirinya turun dari mobil setelah sampai di pasar tersebut.
Briel mengambil ponselnya, dia menghubungi kontak Erland tetapi hingga nada tunggu berakhir Erland tak menjawab panggilannya. Briel mencoba melakukan panggilan menuju kontak Erland untuk yang kedua kalinya, dan lagi-lagi tak ada jawaban dari Erland. Briel pun menggeram, dia benar-benar kesal karena Erland mengabaikannya.
'Dia pria atau wanita, sih? Baru di jahili seperti itu saja sudah marah. Gampang sekali terbawa perasaan. Dia juga berani meninggalkanku di sini, padahal ada mamanya juga di sini!' gerutu Briel.
"Briel!"
Briel berbalik ketika seseorang memanggilnya, tampak mama Erland mendekatinya seraya membawa plastik belanjaan.
"Mama pikir kamu ke mana, rupanya sudah di sini," ucap mama Erland.
"Em... Itu, tadi aku tak menemukan Mama di dalam, makanya aku tunggu di sini," ucap Briel.
"Ya sudah, di mana Erland?" tanya mama Erland.
"Aku tak tahu, aku ke sini tapi mobilnya sudah tak ada," ucap Briel canggung. Briel jelas tahu mengapa Erland meninggalkannya dan mamanya di pasar, Erland pasti marah setelah kejadian tadi.
"Anak itu, baru menunggu sebentar saja sudah meninggalkan Mamanya!" kesal mama Erland.
"Ya, sudah. Aku akan panggil taksi, Erland mungkin ada urusan penting di kantor," ucap Briel.
Mama Erland menghela napas. Apa yang Briel katakan mungkin benar, karena itu Erland pergi lebih dulu.
Mereka pun kembali ke rumah dengan di antar oleh taksi.
***
Waktu berlalu, taksi yang Briel dan mama Erland tumpangi akhirnya sampai di kediaman Erland. Tampak mobil Erland terparkir di garasi kediaman Erland.
Briel dan mama Erland turun dari taksi, Briel pun membantu membawakan belanjaan itu dan meletakannya di dapur.
"Aku akan ke kamar dulu," ucap Briel dan bergegas meninggalkan mama Erland yang masih berada di dapur.
Briel pergi ke kamarnya, dia tak melihat keberadaan Erland. Namun, begitu dia memasuki ruang ganti, tak lama Erland keluar dari kamar mandi.
"Hem... Bagus sekali, beraninya meinggalkan aku dan mamamu di pasar," ucap Briel.
Erland tak mengatakan apapun, dia pergi menuju lemari dan mengambil pakaiannya untuk ke kantor.
Briel mengepalkan tangannya. Tumben sekali Erland tak menyahuti ucapannya. Biasanya, Erland akan menyahut terus ketika Briel bicara. Ada yang tak benar.
'Apa dia masih marah?' batin Briel.
'Ah, sudahlah. Peduli apa dengannya? Baguslah dia tak banyak bicara, dengan begitu dis tak akan merusak mood-ku,' gumam Briel dan masuk ke kamar mandi.
Ponsel Erland berdering, Erland pun mengambil ponselnya dan menjawab telepon itu.
'Ya, halo?' ucap Erland.
'Aku sudah menemukan designer interior itu. Dia temanku. Apa pagi ini kamu sibuk? Kebetulan dia sedang free, dan bisa menemuimu,' ucap orang itu yang tak lain adalah teman Erland.
'Suruh saja datang ke kantorku saat jam makan siang, pagi ini aku ada pekerjaan,' ucap Erland.
'Hem... Baiklah, aku akan menyampaikan padanya.'
'Ya, terima kasih,' ucap Erland.
'Tunggu dulu, apa kamu sedang kesal?' tanya teman Erland.
'Tidak, biasa saja. Kamu jangan banyak omong jika tak ada yang penting lagi,' ucap Erland dan mengakhiri telepon itu.
Erland pun mulai memakai pakaiannya.
Tanpa Erland sadari, di dalam kamar mandi Briel diam-diam mencuri dengar apa yang Erland katakan.
'Aku rasa, dia bukan marah padaku. Bahkan pada yang lain pun dia memang dingin begitu 'kan? Sepertinya, dia banyak omong kemarin itu karena ada yang salah dengan kepalanya. Jangan-jangan saat dia melakukan perjalanan bisnis, kepalanya terbentur,' gumam Briel.