Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

LIKE HER

wajhaininur1
--
chs / week
--
NOT RATINGS
6.8k
Views
Synopsis
aku ingin bertukar posisi dengan orang-orang yang menurutku beruntung dalam kehidupan ini. Tapi, ternyata merek tidak seberuntung itu.. aku ingin kembali menjadi diriku, apa mash bsa? ........
VIEW MORE

Chapter 1 - TERBONGKAR

''Dasar miskin! Pergi sana jauh-jauh kami tidak sudi berteman denganmu!'' bentak Raisa padaku yang membuat seluruh orang yang datang pada acara reuni yang rata-rata adalah orang yang katanya kaya ini menatapku dengan tatapan sinis''

''Tapi aku nggak miskin, kok. Tadi aku kesini naik Lamborghini yang baru dibelikan oleh daddyku'' ucapku masih berusaha membela diri.

''Lamborghini katanya? Hahaha …" ucap Raisa sambil tertawa lebar yang membuat semua orang di ruangan ini juga mengikutinya. ''Sudahlah, kamu tidak usah berbohong dan mengarang cerita palsu lagi, aku sudah muak dengan semua cerita karangan khayalanmu itu! Jelas-jelas tadi Susi melihatmu diantar oleh seorang tukang becak kesini, dan kamu diturunkan di seberang jalan sana, mungkin saja kamu merasa malu untuk turun di depan hotel ini. benar kan, Susi? Kamu tadi melihat Si Miskin ini?'' Tanya Raisa kepada Susi yang dijawab anggukan kepala oleh yang bersangkutan.

Aku tidak bisa berkata-kata lagi, rasanya untuk saat ini, aku mau mati saja. Rahasia yang kujaga selama ini juga sudah terbongkar, harusnya tadi kuikuti saja saran Ayah yang bilang kalau aku tidak usah datang ke tempat ini. sekarang aku harus bagaimana? Harus kaburkah? Atau aku harus berlutut dikaki Raisa agar dia mau memaafkanku?, tapi rasanya dia tidak akan mau memaafkanku, dan bersikap seperti dulu lagi padaku. Dimatanya skarang aku hanyalah seorang miskin yang tidak pantas untuk berteman dengannya, bahkan untuk mendekatinya saja hukumnya sudah haram bagiku.

''Pergi sana! kamu tidak pantas berada disini! bahkan kamu juga tidak pantas mengenakan sepatu mahal yang kemaren kuberikan, sekarang kembalikan! Aku tidak sudi jika barangku dipakai oleh wanita mskin tukang tipu sepertimu, lebih baik sepatu itu aku buang saja, dari pada dipakai oleh kaki miskinmu itu! Cepat lepaskan!'' ucap Raisa sambil menunjuk sepatu yang kugunakan yang memang berasal darinya, waktu itu dia mengatakan kalau iu adalah hadiah dari satu minggu persahabatan kami.

''Tapi, sepatu ini sudah kamu berikan padaku, sebagai tanda persahabatan kita, sekarang kenapa harus diminta lagi?''

''Karna kamu bukan sahabatku lagi, aku sungguh tidak sudi! Sekarang cepat lepaskan!' teriak Raisa semakin kencang. Membuat para tamu semakin banyak yang menjadikan tragdiku ini sebagai tontonan gratis, bahkan sebagian bdari mereka ada ang merekamnya dengan gawai masing-masing.

Aku pun menurut dan segera melepaskan sepatu yang baru satu kali ini kugunakan dan kaki juga sudah merasa nyaman memakainya kemudian menyerahkan kembali kepada Raisa. Tapi apa yang Raisa lakukan? Bukannya dia mengambil sepatu yang kuulurkan dia malah menyuruh Susi untuk membuangnya ke tong sampah, adahal aku sangat menyayangi sepatu itu, bahkan tidur pun aku bersamanya. Karna baru kali ini aku memiliki sepatu mahal.

''Sudah, pergi sana!'' itu ketiga kalinya dia mengusirku, dan semuanya diucapkan hanya dalam waktu lima menit saja semenjak rahasiaku ini terbongkar.

Aku menurut dan pergi mennggalkan ruangan itu, tanpa alas kaki, diiringi puluhan pasang mata yang menatapku dengan tatapan menghina ditambah dengan bisikan, umpatan, makian, yang secara samar dapat kudengar. Lihat saja nanti pembalasanku, kalian semau akan membayar semua yang telah kalian lakukan, bahkan aku berjanji akan membalasnya dengan berlipat ganda dari apa yang sekarang aku rasakan, kalian tunggu saja.

***

ACHAPTER 2

Memang apa salahku jika aku berpura-pura menjadi orang kaya agar bisa berteman dengan mereka? Terutama Raisa. Yah, Raisa Kirana Widyatama. Aku sangat mengagumi wanita itu. Dia memiliki semua hal yang membuatnya cukup untuk disanjung oleh semua orang. Dia terlahir kaya dari orang tua seorang pengusaha sukses, yang bahkan semua perusahaan yang ada di kotaku ini berada di bawah manajemen perusahaannya. Dia juga dianugerahi wajah yang sangat cantik ibarat bidadari menurutku, yang bisa menghipnotis mata semua orang yang melihat. Sungguh dia benar-bena memiliki semua hal secara sempurna yang tidak akan pernah bisa tercapai olehku.

Sedangkan aku? Aku hanyalah Reina Marlina. Seorang anak dari ayah yang hanya seorang tukang bakso keliling. Ibuku sudah lama meninggal, sudah sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Dulu sebenarnya aku tidak begitu memperdulikan apa yang dikatakan oleh orang-orang yang selalu menghinaku dan ayah. Bahkan, dulu saat memasuki jenjang Sekolah Menengah Atas aku tidak memiliki teman satu orang pun. Eh, mungkin ada satu, dia Rei. Rei tidak pernah mengucilkanku seperti yang lain. Tapi, setelah memasuki kelas dua, Rei harus pindah ke luar negri untuk mengikuti papanya. Yah, begitulah aku kembali tidak memiliki teman untuk sekedar pergi ke kantin atau mengerjakan tugas kelompok yang diberikan oleh guru.

Setelah kepergian Rei, rasanya memang ada sedikit perubahan dari hidupku. Walaupun aku berusaha untuk kembali seperti saat dulu sebelum Rei datang. Aku berusaha keras untuk menjalani kehidupan sekolah seorang diri tanpa teman, sahabat, atau siapa pun. Toh, aku juga bisa lulus dari sekolah itu, walaupun mungkin tidak ada yang mengira aku telah lulus, atau mungkin mengira aku pernah bersekolah di sana.

Mungkin menurut sebagian orang masa sekolah itu adalah masa yang paling bahagia, atau setidaknya adalah masa yang paling berkesan. Tapi, bagiku semua sama saja. Hambar, tidak ada rasa, warna, momen indah, apalagi cinta. Bagaimana dengan Rei? Entahlah, mungkin aku terlalu takut untuk merasakan rasa yang tidak pernah ada sebelumnya. Aku lebih memilih menutup diri, walaupun Rei mungkin sudah memberikan banyak hal yang bisa menjadi kenangan indah bagiku di masa sekolah. Yah, untung saja takdir langsung memisahkan kami. Jadi, rasa kecewa tidak sempat singgah padaku.

Kehidupan masa-masa sekolah ternyata tidak bisa kuterapkan pada masa kuliah. Yah, akhirnya aku berkuliah juga, setelah perdebatan panjang dengan ayah. Rasanya, aku tidak ingin lagi membebaninya dengan biaya kuliah, walaupun aku mendapatkan beasiswa yang bisa mengurangi besarnya biaya. Tapi, tentu saja aku nanti akan membutuhkan banyak biaya tambahan yang mungkin nanti tidak bisa tertutupi oleh beasiswa yang kuterima. Ayah meyakinkanku bahwa semua itu tidak akan menjadi masalah baginya, yang terpenting anaknya bisa menjadi orang sukses dimasa depan, dan pasti ada rezeki yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Kuasa selama kita rajin berusaha.

Disinilah aku sekarang, di salah satu Universitas ternama di kotaku. Dan, disini jugalah aku kembali dipertemukan dengan Raisa. Seorang primadona di sekolah dulu. Bagaimana dengan sekarang? tentu saja dia semakin terkenal. Bahkan, jauh lebih terkenal. Dia menjadi primadona di kampusku, bahkan namanya sampai ke kampus-kampus lainnya di kota ini. Tentu saja, itu sangat wajar mengingat dia memiliki semua hal yang bisa membuatnya sampai di posisi itu.

Mungkin hari itu adalah awal aku berbicara dengan Raisa. Saat itu menjadi awal dari aku mengaguminya sekaligus awal dari inginku menjadi seperti dirinya. Haha … begitulah, ada saatnya kita akan menginginkn sesuatu diluar dari batas kewajaran logika dan batasan kemampuan diri. Bukankah ada kata motivasi yang mengatakan jika kita harus bisa keluar dari zona nyaman untuk mencapai kesuksesan? Tapi, aku melakukannya pada saat itu tujuannya bukan untuk kesuksesan, tapi hanya agar aku bisa berteman dengan Raisa. Bahkan, aku ingin di posisinya sekarang, aku ingin jadi sepertinya, dan aku ingin bisa jadi dia.

''Hai! Kamu Reina?'' ucap seorang wanita padaku saat itu. Aku masih ingat saat itu aku sedang membaca buku di pepustakaan kampus.

''Ya,'' jawabku singkat tanpa melihatnya. Aku emang tidak suka jika diganggu saat belajar, karna itu bisa mengganggu konsentrasi.

''Apa kamu sudah makan?''

''Hah?!'' ucapku kaget. karna sebelumnya memang tidak pernah ada yang mengatakan kalimat itu padaku selain ayah. Apalagi sekarang aku sedang di kampus, aku tidak pernah bicara dengan siapapun, kecuali jika ada sesuatu yang kubutuhkan, itupun selalu to the point tanpa basa-basi.

''Mau makan bersama?''

''Tidak, aku sedang belajar.''

''Hmm … benar juga. Bagaimana kalau nanti?''

''Apa kamu serius?'' tanyaku. Kali ini aku mulai menoleh padanya, melihat dengan siapa aku berbicara. ''Kamu Raisa, kan?''