Happy reading
Berlian terbangun dalam pelukan hangat. Ketika dia membuka matanya, langit di luar masih redup. Sinar matahari pagi yang putih menerangi langit. Lingkungannya agak asing, dan dia menggosok matanya dan melihat lebih dekat dan merasa bahwa dia pernah ke sini sebelumnya. Iya itu adalah San House.
Saat dia mendongkak, wajah yang tampan bersitatap dengannya sehingga membuatnya kaget.
"Ah-!" Pada akhirnya, dia menyadari bahwa dia digendong masuk ke dalam rumah oleh Rayn San. Dia berteriak sambil memukul kecil dada pria itu. "Rayn San, turunkan aku!"
Senyuman tipis melengkung di bibirnya dan dia menatap Berlian. "Kamu sudah bangun?"
Wajah Berlian memerah. Diam-diam memindai tempat itu dan melihat pelayan yang berdiri berhadapan di depan pintu. Semua orang tersenyum padanya.
Dia menutupi wajahnya karena malu. "Turunkan aku! Aku bisa berjalan sendiri!" Berlian menggertakan giginya. Rayn San terkekeh tetapi menghargai permintaannya. Dia membungkuk untuk menurunkannya.
"Halo, Tuan! Halo, Nyonya! Selamat datang!"
Suara kompak mereka terdengar begitu keras sehingga membuat Berlian kaget. Kemudian dia mendengar suara terompet
"Pep-!"
"Pep-!"
"Pep-!"
"Pep-!"
Suara itu terdengar selama lima menit sebelum berhenti. Berlian ketakutan hingga dia hampir jatuh, tapi untungnya Rayn San memeluknya, jadi dia terselamatkan dari rasa malu. Setelah upacara penyambutan selesai, Kevin maju dengan senyum manisnya.
"Nyonya, ini upacara penyambutan yang telah saya persiapkan untuk Anda. Bagaimana? Apakah Nyonya menyukainya?"
Berlian tersenyum kaku dan mengangguk dengan susah payah. "Haha, iya aku sangat menyukainya."
"Syukurlah." Kemudian, Kevin mengedipkan mata pada Rayn San dan menatapnya dengan ekspresi penuh harapan. Rayn San sedang memiliki mood yang baik jadi dia tidak akan pelit. Dia melambaikan tangannya. "Bulan ini, bonusmu dobel!
Setelah mengatakan itu, dia bahkan mengedipkan mata ke Biden Lu dengan ekspresi bermanfaat.
"Terima kasih, Presdir San!"
Rayn San mengiring Berlian ke pelayan dan berkata dengan suara pelan, "Aku ingin memperkenalkan istriku, Berlian Zein kepada kalian. Mulai sekarang dia adalah Nyonya rumah ini. Kalian harus menghormatinya sebagaimana kalian menghormatiku, mengerti?"
"Baik." Para pelayan menjawab dengan serentak. Rayn San mengangguk puas dan mengami tangan Berlian sebelum masuk ke dalam rumah. Berlian sedikit linglung. Pikirannya belum jernih sepenuhnya. Mengapa dia mengikuti pria ini kembali ke San House?
Ketika mereka memasuki kamar, akhirnya Berlian bereaksi dan menariknya. "A-aku…"
"Mulai sekarang, kamu tinggal di sini." Rayn San menatapnya dengan serius. Jantung Berlian berdegub kencang. Dia baru menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh Rayn San itu bukanlah lelucon tapi dia serius.
Rayn San mengangkat tangannya untuk memanggil seorang pelayan dan berkata dengan suara yang lembut, "Bibi Lena, temanil istriku berkeliling agar dia terbiasa dengan lingkungan ini."
"Baik, Nyonya, mari ikuti saya." Bibi Lena adalah pelayan yang dipanggil. Dia dengan cepat menghampiri Berlian.
Berlian memandang Rayn San yang sedang melepaskan dasinya dan sepertinya dia ingin mandi.
Dia mengerutkan bibirnya, tidak mengatakan apa-apa, dan berbalik mengikuti Bibi Lena.
San House sangat luas. Itu adalah sebuah vila dengan taman besar yang dipenuhi dengan berbagai bunga eksotik.
Di belakang ada kolam renang, airnya yang berwarna biru dan tenang. Langit beriak bertiup angin pagi dan membuat tempat itu sangat indah. Berlian berjalan-jalan di luar, dan Bibi Lena menemaninya berkeliling vila. Dia baru menyadari bahwa Rayn San sebenarnya sudah menyiapkan kamarnya untuknya.
Tentunya, mereka akan tidur di kamar yang sama. Tetapi ruang pakaian dan kerjanya terpisah. Ruangan itu ada di lantai tiga. Di dalam ruang kerja itu, Berlian menemukan banyak buku dan sebagaian besar adalah buku-buku yang dia sukai. Sedangkan untuk ruang pakaian memiliki luas 2000 meter persegi dan dipenuhi dengan pakaian, tas dan sepatu model baru. Rancangan designer favoritnya. Tampaknya Rayn San telah menyiapkan semua ini dalam waktu yang sangat singkat.
Berlian menelan ludahnya. Rayn San benar-benar kaya. Namun, dia telah memikirkan kepindahan Berlian. Dia menunduk dan bertanya-tanya berapa lama pria itu telah merencanakan semuanya. Melihat tata letaknya yang sangat rapi, sepertinya membutuhkan waktu yang lama.
Berlian kembali ke kamar tidur dengan bingung. Rayn San sedang mandi. Berlian mendekap lengannya dan berjalan-jalan di sekitar kamar tidur. Matanya mengamati seluruh kamar itu. Kamar tidur bernuansa biru dan putih. Di sebelah timur ada balkon lebar. Di bawahnya ada kolam renang.
Di dinding, ada rak buku silver sebagian besar beisi dengan majalah mobil. Selain itu, ada beberapa ornamen kecil atau piala yang salah satunya ada foto.
Itu adalah piala pertandingan basket yang dimenangkan Rayn San. Pria yang berambut acak-acakan itu tersenyum lesu, tetapi matanya yang gelap cukup tajam menembus foto. Dia tersenyum dan dengan hati-hati dia membaca nama yang tertulis di bawahnya.
Kejuaraan Basket Universitas Harvad? Apakah dia kuliah di sana? Berlian tertegun. Dia tidak menyangka bahwa mereka sejalan dan terhubung dengan masa lalu.
Pertama kalinya dia datang ke sana ditemani oleh sahabat Ibunya. Kemudian dia kuliah di sana. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Rayn San melangkah keluar. Dia mengenakan handuk sebatas pinggang. Tetesan air yang berkilau mengalir di dadanya sehingga membuatnya terlihat seksi.
Wajah Berlian menegang, dan canggung. Seolah-olah udara membeku. Dia bingung harus mengalihkan tatapannya ke mana. Melihat Berlian, Rayn San melangkah ke arahnya. Rayn San menyeka rambunya yang basah dengan handuk di tangannya. dan mengambil piala yang dilihat Berlian.
"Kamu sedang melihat ini?"
Berlian menanggapinya dengan canggung. Rayn San tidak memperhatikan kekakuan Berlian. Dia meletakkan pila itu dan berkata dengan santai. "Itu piala saat aku pembicara seminar di Harvard."
"Spiker." Berlian tertegun. Rayn San menatapnya dan bertanya, "Apa kamu juga alumni dari kampus itu?"
Berlian mengangguk dengan pelan. "Iya, aku kuliah di sana."
Rayn San tersenyum. "Kita memang ditakdirkan bersama." Berlian terdiam. "Apakah kamu mau mandi?" Tanya Rayn San lagi.
Berlian masih tidak nyaman menggunakan lingkungan baru jadi dia menggelengkan kepalanya. "Tidak."
Rayn san menyerahkan handuk padanya sambil bertanya, "Bisakah kamu membantuku untuk mengeringkan rambutku?"
Berlian tercegang tetapi tidak menolak. Dia menerima handuk itu dan menunggu Rayn untuk duduk di sofa. Lalu mengusap lembut ke rambut Rayn.
Berlian berpikir bahwa dia telah menikah dengan Rayn San dan harus membiasakan dirinya untuk tinggal Rayn San. Setelah beberapa saat, rambut Rayn dikeringkan. Rayn San beranjak untuk mengambil pengering rambut.
Rayn San menghampirinya dan meraih tangannya. Dia menyruh Berlian untuk duduk di tempat tidur. Berlian menjadi linglung saat dia melihat Rayn San mengangkat kakinya. Dia reflek bergerak dan bertanya, "Apa yang kamu lakukan?"
Sorotan matanya sangat dalam dan Rayn San tersenyum. "Nyonya San, emangnya kamu tidak lelah?"
Bersambung