Akibat rasa penasarannya yang besar, tanpa sadar Sasya sudah melangkah jauh keluar dari kamar. Kini ia sedang berjalan di lorong panjang. Dahinya berkerut, disini sangat sepi. Seperti tak ada kehidupan saja.
Tangannya terulur, berusaha menggapai apapun yang berada disampingnya.
Tap!
Sasya menemukan sebuah tiang.
"Tiang? Untuk apa ada benda seperti ini disini?" Ia menggumam pada dirinya sendiri.
Sharon masih mengikuti Sasya di belakangnya. Pelayan itu menyeringai, saat melihat Sasya semakin jauh dari rumah.
"Baguslah, kamu yang bikin diri kamu sendiri sengsara. Aku cuma membantu. Membuatmu lebih menderita lagi." Ujarnya pelan, matanya mengedar. Melihat keadaan yang sepi. "Bahkan waktu telah berpihak padaku." Batin Sharon.
Dengan segera, Sharon mengejar langkah Sasya yang tertatih.
"Anda ingin kemana nona?" Ia bertanya pada Sasya setelah berhasil mengejar gadis itu.
Mendadak langkah Sasya berhenti, ia menoleh kan kepala ke asal suara. Tersenyum tipis, "Aku mau jalan-jalan sebentar."
Seringaian Sharon semakin melebar, ia mengamit lengan Sasya. "Mari saya temani anda."
Jika saja mata Sasya berfungsi dengan baik, pasti binar senang kini terlihat dimatanya. "Terimakasih... Sharon?"
"Anda jangan sungkan begitu, saya akan membantu anda.. mari."
Setelah mengatakan kalimat tersebut Sharon dan Sasya berjalan, sesekali Sasya terseok karena batu kecil di jalan.
Sharon membawa Sasya ke halaman belakang. Hatinya bersorak ketika melihat pintu gerbang belakang terbuka.
"Udaranya segar sekali." Gumam Sasya ketika akan melewati gerbang.
Mendadak, perasaan Sasya menjadi tidak enak. Ia melepaskan jepit rambutnya, dan melempar ke tanah.
Untungnya, Sharon tidak melihat apa yang dilakukan Sasya tadi.
Ia sibuk memikirkan bagaimana jika sudah berada di tempat itu.
Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di tengah hutan. Ini bukan hutan biasa, ditengahnya ada taman kecil juga. Bryan lah yang membuatnya sendiri satu tahun lalu, tapi tempat ini jarang dikunjungi Bryan. Beberapa meter ke arah barat, mereka bisa menemukan sungai.
Tadinya Sharon ingin membawa Sasya ke sana. Tapi ia urung, "Biar saja dia kesana dengan sendirinya." Batin Sharon.
"Sharon, apa kita sedang di taman?" Tanya Sasya dengan nada riang. Ia bisa mencium harumnya bunga, melepas tangan Sharon dilengannya. Sasya berjalan sesuai penciuman, harum bunga itu sekarang tepat berada didepannya.
Dibelakang Sasya, Sharon membawa kayu bakar yang berukuran sedang. Ia menemukannya dibawah pohon tadi, "Hari mu berakhir sampai disini saja." Ucapnya lirih, kemudian Sharon memukul kepala belakang Sasya.
"Arrgghh!"
Sasya merasakan sakit dikepalanya, sangat sakit. Baru saja ia berbalik, ia merasakan sakit di wajahnya.
Sasya menangis, siapa yang tega melakukan hal ini padanya?
Tunggu.. bukankah ia bersama Sharon kesini?
"Sharon??" Panggilnya pelan. Berharap pelayan itu mau menjawabnya.
Hening..
Tak ada jawaban dari Sharon, Sasya mengambil langkah mundur. Jantungnya berdetak kencang, samar-samar ia mendengar langkah kaki menuju kearahnya.
Ketakutan Sasya semakin menjadi, andai saja dirinya tidak buta. Andai saja...
Bugh!
Pukulan diperutnya membuat Sasya jatuh tersungkur, ia meringis. Luka yang ia dapat saat kecelakaan belum sembuh dengan sempurna, tapi ia sudah mendapatkan luka baru sekarang.
"S-sakit.."
"Kau akan merasakan lebih sakit dari ini." Ucap Sharon dengan nada dingin, ia menatap Sasya penuh dengan rasa benci.
Tangannya terulur menjambak rambut Sasya kasar, setelahnya Sharon membenturkan kepala Sasya ke pohon terdekat.
Teriakan Sasya menggema di tengah hutan.
Darah mengucur dari pelipisnya, kepalanya semakin berdenyut sakit.
"Kenapa kamu melakukan ini pada ku? Aku tak mempunyai salah sama kamu!" Teriak Sasya histeris, kakinya bergerak. Mencoba menendang namun yang Sasya lakukan hanya sia-sia. Ia menendang angin.
Benturan yang kedua, Sasya kehilangan kesadarannya.
"Salahmu sudah merebut tuan Bryan dariku." Bisik Sharon. Ia berdiri, menatap Sasya sekali lagi sebelum ia benar-benar meninggalkan Sasya disana.
.
.
Deg..
Mendadak perasaan Bryan tidak enak, ia melihat kedepan. Bagaskara sedang berdiri menyambut para tamu.
"Lo kenapa? Muka lo pucet banget." Tanya Lian heran, seingatnya saat mereka berangkat kemari. Bryan baik-baik saja.
"Nngg..nggak, cuma-"
"Lo ngerasa punya saingan? Liat tuh mantan pacar dia, lumayan sih. Bisa jadi setelah dia oprasi. Dia balik lagi ke mantan pacarnya."
Bryan melirik Bagas lagi, dari sudut manapun. Bryan merasa Bagas biasa-biasa saja. Keunggulannya hanya karena pewaris utama.
"Gak mungkin, dia pasti lebih milih saya." Ujar Bryan penuh percaya diri.
Lian mendengus, setelahnya dokter muda itu mendecak kesal saat para gadis yang mungkin saja masih duduk dibangku SMA menghampiri mereka.
"Apa kakak mau berdansa dengan aku?" Tanya salah satu gadis. Pipi mereka bersemu melihat Bryan juga Lian.
Tapi semu itu hilang saat kedua lelaki itu menatap mereka dingin. Lian merangkul pundak Bryan, kemudian berkata. "Maaf nona, kami tidak tertarik dengan ajakan kalian."
Bryan melirik Lian, sebenarnya ia sedikit terganggu dengan rangkulan sobatnya itu. Tapi siapa sangka? Para gadis itu meninggalkan mereka tanpa kata.
Tertohok... kerumunan gadis itu tidak mengira, kedua pria yang mereka datangi ternyata gay.
"Cakep sih... sayang belok." Gumamnya.
Bryan melepaskan rangkulan Lian pada pundaknya. Ia merasa risih lama-lama.
"Saya rasa, kita cukup sampe disini." Kata Bryan lirih.
"Apanya?"
"Kita pulang saja, perasaan saya gak enak."
"Baiklah,, pasti tuan muda ini sudah merindukan si tuan puteri." Ujar Lian dengan senyum mengejek.
Sasya..
Entah kenapa Bryan memikirnya terus-menerus sepanjang ia menghadiri pesta disini.
"Ya, saya kangen sama bidadari cantik saya."
Lian memutar bola matanya bosan, ia mengikuti langkah Bryan.
Banyak pasang mata yang memperhatikan mereka, mungkin heran sekaligus bingung.
.
.
Sasya terbangun saat ia merasa tetesan air membasahi tubuhnya.
"Ughh... sakit sekali."
Ia mencoba bangun dengan berpegangan pada pohon. Lukanya terasa pedih akibat air hujan.
Gelap dan sunyi.
Sasya mengingat kembali kejadian tadi siang.
Ugh...
Ia harus pergi kemana? Air matanya mengalir. Kenapa Sharon begitu jahat padanya?
Sasya melangkah kearah timur, mengandalkan insting ia berjalan terseok. Perutnya sangat sakit, ia juga lapar.
Menggigit bibir, Sasya berdoa dalam hati. Semoga disini tak ada hewan berbahaya, juga tak ada para preman.
Kembali dirinya menangis.. ia teringat dengan Bryan. Pria itu selalu memperlakukan Sasya dengan baik, Sasya hanya mencoba percaya pada orang kepercayaan Bryan.
Tapi malah ini yang didapatnya.
Berhenti sejenak saat hujan terus mengguyur bumi dengan derasnya.
"Bryan..." Sasya menyebut nama pria itu. Berharap Bryan datang menolongnya, seperti waktu itu.
Ah.. mungkin saja jika ia berteriak. Seseorang akan datang menyelamatkan dirinya saat ini. Tapi orang waras mana yang berkeliaran saat hujan deras begini?
"Setidaknya aku sudah mencoba.." gumam Sasya lirih.
Ia mengulurkan tangan, merasakan tetesan air hujan sudah lebih kecil dari sebelumnya.
"BRRYAAAAN!!!!" teriaknya keras, ia mengambil nafas sebelum
"BRYAAAAN!!!" Teriaknya lagi, tenggorokan Sasya tercekat.
Sasya terjatuh saat tak sengaja tersandung akar pohon.
"Bryan tolong aku..."
.
.
Perjalanan Bryan sedikit terganggu karena cuaca mendadak berubah. Tapi ia tetap menerobos derasnya hujan.
"Kenapa saya inget kamu terus Sya.." gumamnya khawatir.
Sebisa mungkin Bryan tetap fokus menyetir.
"Sebentar lagi." Gumam Bryan saat melihat pagar rumahnya yang menjulang tinggi.
.
.
"Bryann... tolong..." tangisan Sasya kian lirih. Ia meraba kakinya yang membengkak, sepertinya terkilir saat tersandung tadi.
"Kapan kamu dateng.. aku butuh kamu sekarang Bryan!" Teriaknya frustasi.
Sasya kembali berjalan, meski dengan langkah kaki yang pincang.
"Sharon! Lihat saja nanti. Aku akan balas perbuatanmu." Ucap Sasya penuh kebencian.
"Mulai sekarang, aku gak akan percaya pada siapapun lagi.." ia mengepalkan tangan. "Kecuali Bryan.."
.
.
Bryan berjalan cepat menuju lantai dua, dimana letak kamar mereka berada.
"Sya... Sasya!" Panggil Bryan.
Mia yang melihat tuannya datang segera menghampiri.
"Anda sudah kembali tuan."
Bryan mendelik, nafasnya tersengal karena berlari. "Mana Sasya?" Pertanyaan Mia ia abaikan.
"Mungkin di kamarnya.." jawab Mia takut-takut.
"Tsk!"
Bryan membuka kamar Sasya, kosong. Dahinya mengernyit, ia masuk kedalam. Mengecek kamar mandi, kosong juga.
"Kamu dimana..." gumam Bryan lirih, wajahnya tampak panik saat tak menemukan Sasya di kamarnya.
"Sharon!"
Sharon yang mendengar teriakan Bryan segera menghadap tuannya.
"Dimana Sasya? Saya tugasin kamu buat jaga dia! Kenapa dia gak ada dikamarnya!"
Menelan ludah dengan susah payah, Sharon melirik tuannya takut-takut.
"Maaf tuan.. saya lalai.. Saya.."
Wajah Bryan mendingin seketika, "Jadi kamu mau bilang kalau kamu gak tau keberadaan Sasya begitu?"
Sharon mengangguk takut,
"Kamu.... tahu kan. Siapa yang melalaikan tugasnya. Dia akan mendapat hukuman." Ujar Bryan sambil berlalu.
Para pelayan yang mendengar keributan berbisik-bisik. Jangan sampai mereka melakukan kesalahan juga.
Bryan keluar dari rumahnya, menatap kearah sekitar. Dirinya bingung, ia harus mencari Sasya kemana.
Tiba-tiba pelayannya yang paling kecil menghampiri. Ia menatap Bryan takut dan ragu.
Secepat mungkin Bryan merubah raut wajahnya.
"Ada apa?" Tanya Bryan lembut.
Gadis yang baru menginjak tiga belas tahun itu memainkan kedua tangannya. "Anu tuan.. s-sebenarnya saya melihat kak Sharon membawa nona Sasya ke halaman belakang." Cicitnya.
Rahang Bryan mengeras, emosinya tiba-tiba naik. "Kamu liat dimana?"
Gladys.. gadis kecil itu berbalik, sebelum berjalan menyusuri lorong. Bryan mengikutinya di belakang.
Tepat saat di hamalan belakang Gladys berhenti, ia menunjuk gerbang belakang yang tertutup. "Kak Sharon membawanya keluar sana."
Saat Bryan ingin membuka gerbang, tatapannya jatuh ketanah. Ia mengambil benda yang menarik, "Jepit rambut Sasya.." gumamnya.
Ia melirik Gladys, "Kamu jangan khawatir. Gak perlu takut kalo nanti Sharon nyakitin kamu. Kamu udah jujur, saya bangga sama kamu." Ia menepuk puncak kepala Gladys.
"Sekarang kamu sembunyi disana dulu." Ujar Bryan menunjuk gazebo yang tak jauh dari tempat mereka berpijak.
"Tapi tuan.."
"Sudah, kamu nurut aja." Bryan membuka gerbang dengan tergesa. Ia berlari menuju hutan.
"Saya mohon.. kamu bertahan sebentar lagi..." Bryan membatin.