Matahari mulai tenggelam. Devan mendatangi distributor minuman tempat ia bekerja sambilan sebagai pengantar minuman. Ia menemui pemilik toko dan mengatakan bahwa mulai besok ia akan berhenti bekerja sambilan, karena Devan sudah mendapatkan pekerjaan penuh waktu.
"Wah kalau begitu selamat ya van, sebenarnya bapak ingin kamu tetap kerja disini, tapi demi masa depan kamu, bapak harus rela", kata pemilik toko.
"Terima kasih pak, semoga usaha bapak semakin laris", kata Devan.
Dalam perjalanannya menuju rumah, Devan teringat bahwa ia harus mengantarkan surat untuk Nadia. Sudah lama surat itu ada ditangannya tetapi belum sempat ia berikan pada Nadia karena beberapa hari ini ia sibuk mempersiapkan interview nya.
"Waduh, gue lupa nih, ok deh gue ke Jakarta sekarang, sorry ya Tam, untung si Tama belum nyusul ke kosan gue"
Saat itu Ara sedang mengendarai mobilnya. Dari dalam mobil ia melihat Devan yang baru saja keluar toko dan hendak masuk ke dalam mobilnya. Devan terlihat sedang pusing, ia menggaruk - garuk kepalanya sesekali.
"Wah, mau kemana tuh anak. Kaya nya hari ini aku harus ikutin dia deh", kata Ara.
Hari itu Ara mengikuti mobil Devan dari belakang. Ia penasaran sekali dengan keadaan Devan. Semenjak Tama meninggal, Devan sering bertingkah aneh, membuat Ara jadi khawatir.
Sementara itu Nadia baru saja pulang dari kantornya. Hari itu teman nya yang bernama Dewi mengajaknya untuk pergi makan di restoran korea yang sebelumnya mereka kunjungi.
"Nad, hari ini kamu ada acara gak?", tanya Dewi.
"Hmmm,, gak ada sih"
"Gimana kalau kita ke restoran korea yang kemarin?", ajak Dewi.
"Oh, boleh deh, aku pingin makan ramyeon yang pedes".
"Asikkkk,, makan ramyeon di restonya oppa lee yeon"
"Dasar kamu dew, masih inget aja lagi namanya", kata Nadia.
Sesampainya di Restoran Korea, Lee yeon oppa pemilik resto itu sedang berdiri di depan kasir. Dari jauh ia melihat Nadia dan Dewi hampir sampai di pintu masuk restoran. Lee yeon nampak tersenyum dan tidak fokus, padahal ia sedang berbicara dengan kasir.
"Terus ada lagi sajang nim? sajang nim?"
"Jamkkanman,,"
Lee yeon berjalan dengan cepat menuju pintu restorannya. Kemudian ia membukakan pintu untuk Nadia dan Dewi.
"Selamat datang kembali di restoran kami", sambut Lee Yeon.
Lee yeon langsung mempersilahkan Nadia dan Dewi duduk. Setelah itu, ia bergegas untuk mengambil buku menu. Saat seorang karyawannya ingin memberikan buku menu untuk Nadia dan Dewi, Lee Yeon menghampiri karyawannya dan mengatakan bahwa dia sendiri yang akan melayani tamu yang satu itu. Sepertinya ada yang menarik perhatian Lee Yeon. Apakah itu Nadia, ataukah Dewi? Lee Yeon masih belum bisa ditebak.
Di Villa Putri, Tama sedang melamun di depan kamarnya. Denok datang membawakan makan malam. Malam itu Tama meminta Denok untuk menemaninya makan malam, dengan senang hati Denok masuk ke dalam kamar Tama dan meletakkan makannya.
"Ngomong - ngomong, mba denok.. Kamu tau gak, selain Kirana, siapa lagi yang bisa mengubah kita menjadi manusia selain di bulan purnama?", Tanya Tama.
"Hmmmm... kayanya nenek yang mengutuk Putri, dan.. oh ya, babang malaikat pencabut nyawa juga bisa?"
"Hah, malaikat pencabut nyawa?"
Setelah selesai makan malam, Denok merapihkan peralatan makan dan kembali ke dapur. Sementara itu Tama merenung sambil tiduran di kasurnya. Ia memikirkan bagaimana caranya ia bisa bertemu dengan malaikat pencabut nyawa. Selain itu apakah aman bagi Tama jika ia menemui malaikat pencabut nyawa. Apakah ia akan berhasil berubah menjadi manusia, atau malah ia dibawa ke alam baka oleh malaikat pencabut nyawa.
"Hmm,, tapi kan aku udah tanda - tangan kontrak, bebas dong aku dari kejaran malaikat maut".
****
Sementara itu Devan menunggu Nadia yang belum juga pulang. Devan duduk di ruang tamu rumah Nadia, ditemani oleh mama nya Nadia. Mama Nadia sudah berusaha menelpon Nadia namun tidak ada jawaban. Sepertinya hari itu Nadia benar - benar menikmati makan malamnya. Devan mulai merasa canggung, akhirnya ia memutuskan untuk menitipkan surat dari Tama kepada Ibunya Nadia. Setelah itu Devan pun pamit untuk pulang ke Banten.
Devan keluar dari rumah Nadia, dan Ara mengamatinya dari kejauhan. Tetapi Ara belum mengetahui bahwa rumah yang dikunjungi Devan adalah rumah Nadia, karena setelah Nadia pindah ke Jakarta, mereka semua sudah lost contact dengan Nadia.
Devan melaju mobilnya untuk kembali ke banten, dan Ara pun membuntutinya dari belakang. Devan mulai merasa ada yang tidak enak, sesekali ia melihat kaca spion.
"Loh perasaan mobil itu dari tadi ngikutin gue, siapa ya, jangan - jangan bos nya si Tama"
Devan melaju mobilnya dengan kencang hingga tidak dapat di kejar oleh Ara.
"Sial, kenapa dia ngebut sih, ilang deh", kata Ara.
Setengah jam setelah Devan meninggalkan rumah Nadia, Nadia sampai dirumahnya. Lalu ibunya memberikan surat yang dititipkan oleh Devan kepada Nadia.
"Dari Tama?", tanya Nadia.
"Ia, tadi Devan kesini, dia udah nungguin kamu lama banget, jadi cuma titip itu aja", jawab ibu nya Nadia.
"Devan kasi nomor hp Tama ga mah? atau dia ninggalin kartu nama nya gak?"
"Engga tuh, cuma kasih surat aja"
Setelah menerima surat dari Tama, Nadia langsung menuju kamarnya. Ia meletakkan surat itu di meja kecil di dalam kamarnya. Lalu ia mandi dan berganti baju. Setelah ia selesai mandi dan ganti baju, Nadia kembali mengambil surat itu,ia membuka jendela kamarnya hingga terasa hembusan angin yang masuk ke dalam kamarnya. Nadia duduk di sebuah kursi di samping jendela kamarnya. Ia perlahan membuka surat dari Tama.
Dingin nya angin malam berhembus merasuk hingga ke tulang. Namun Nadia tetap tegar. Ia membaca surat itu dengan tenang.
"Hari demi hari berlalu tanpa dirimu, aku rindu.. andai mampu ku ulangi sekali lagi, ingin ku bersama mu berbagi kisah dari kecil hingga kita sama - sama mengenakan toga. Tapi kini kita harus dipisahkan oleh jarak yang mungkin sulit bagi kita untuk saling bertegur sapa setiap hari. Namun kasih sayangku untukmu, tak pernah lekang oleh jarak dan waktu. Jangan khawatir karena aku tak disampingmu. Meski aku tak disampingmu, doaku selalu menyertaimu. Sampai jumpa lagi cintaku. Dari pria yang selalu menyayangimu. Ananda Pratama".
Setelah Nadia selesai membaca surat itu, terdengar suara petir. Tidak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Nadia mulai tak sanggup menahan dinginnya malam itu. Ia menutup jendela kamarnya, lalu bersiap untuk tidur.
"Terpisah oleh jarak yang mungkin sulit untuk tegur sapa setiap hari? lebay deh. Jakarta - Banten kan deket banget", kata Nadia sambil mengerutkan dahinya.
Nadia berbaring di kasurnya lalu ia menarik selimutnya.
"Met malem Mr. Pacar yang misterius, awas ya nanti pas ketemu aku cubit pipinya sampai merah".
Nadia pun mulai terlelap.