Sepulang dari perkebunan Ganjar, langsung bersiap untuk melaksanakan Salat Zuhur berjamaah bersama Rara di ruang khusus yang ada di sebelah kamarnya. Kebetulan hari itu mereka hanya berdua saja di rumah, Haji Syueb dan istrinya saat itu sedang berkunjung ke rumah kerabat yang ada di Pandeglang.
Usai melaksanakan salat, Ganjar hanya duduk sembari menikmati tayangan televisi di ruang tengah rumah tersebut. "Aa mau kopi apa mau aku buatkan teh manis?" tanya Rara lirih.
Rara mulai menunjukkan sikap ramah dan sopan terhadap sang Suaminya. Meskipun ia tahu Ganjar belum sepenuhnya menerima kenyataan hidup berumah tangga dengannya. "Kopi hitam saja, Neng." Ganjar menjawab lirih dan memandang wajah istri mudanya itu.
"Iya, A. Sebentar, Rara buatkan dulu!" Rara melangkah ke arah dapur untuk segera membuatkan kopi hitam kesukaan suaminya.
Selang beberapa menit kemudian, Rara sudah kembali dengan membawa secangkir kopi hitam di tangannya. Kemudian ia letakkan di meja di hadapan Ganjar. "Ini kopinya, A!" kata Rara penuh kelembutan.
"Terima kasih, Neng," jawab Ganjar.
"Habis ini, kita ke rumah Ibu ya, A!" ajak Rara lirih sembari merapikan baju yang baru ia angkat dari jemuran.
"Nanti saja sore, mau belajar membuat kue kan?" kata Ganjar meluruskan pandangan ke wajah Rara yang duduk di sebelahnya.
"Kan Aa mau berangkat ke perkebunan lagi?" Rara balas memandang wajah suaminya.
"Oh, iya. Aa lupa," jawab Ganjar. "Ya sudah, kamu ke rumah Ibu sendirian saja. Pulangnya nanti bareng Aa!" kata Ganjar.
Rara tersenyum dan menganggukkan kepala tanda setuju dengan apa yang dibicarakan oleh suaminya itu.
Pukul 13:30, Ganjar pamit kepada sang Istri untuk segera kembali ke perkebunan, karena siang itu di perkebunan sudah ada Pak Rafli yang menunggunya. "Ya sudah kalau seperti itu, Aa berangkat dulu yah," ucap Ganjar bangkit dan mencium kening istri mudanya itu.
Ganjar mulai membiasakan diri untuk berlaku adil terhadap kedua istrinya, meskipun pernikahannya dengan Rara tidak didasari atas perasaan cinta. Namun, Ganjar tetap berusaha untuk menanamkan rasa cintanya untuk Rara dan bukan hanya untuk Aisyah saja.
"Hati-hati ya, A!" Rara meraih tangan Ganjar, lalu menciumnya penuh kasih sayang.
"Assalamu'alaikum," pungkas Ganjar melangkah keluar, berlalu dari hadapan Rara.
"Wa'alaikum salam," jawab Rara tersenyum memandang langkah suaminya.
Untuk sampai ke perkebunan, Ganjar hanya berjalan kaki menyusuri jalan setapak melewati jalan pintas dari arah belakang rumah, yang langsung mengarah ke perkebunannya. Ganjar sengaja tidak membawa mobil, karena Rara akan memakai mobilnya untuk berkunjung ke rumah Bu Ratna.
Jarak dari kediaman Haji Syueb menuju perkebunan terbilang jauh, namun Ganjar tidak mengeluhkan hal itu. Meskipun di rumah masih ada motor, namun Ganjar memilih untuk berjalan kaki saja tanpa menghiraukan jauhnya tempat yang ia tuju.
Setibanya di di perkebunan, Ganjar langsung menghampiri Pak Rafli yang sedari tadi menunggunya. "Assalamu'alaikum," ucap Ganjar lirih melangkah sedikit merunduk dan masuk ke dalam saung.
"Wa'alaikum salam," jawab Pak Rafli tersenyum dan geleng-geleng kepala memandang wajah Ganjar.
Ganjar dan pria paruh baya itu langsung berjabat tangan. "Ya Allah, Ya Rabb. Jadikanlah hidup saya seperti Ganjar yang bisa memeluk dua wanita cantik," seloroh pria berjanggut tebal itu, bergurau sembari tertawa lepas.
"Sudah terlambat, Pak." Ganjar duduk di sebelah Pak Rafli. "Mobilnya di mana, Pak?" sambung Ganjar bertanya.
"Dibawa Haikal sedang muat sayuran di sana!" jawab Pak Rafli meluruskan jari telunjuk ke arah perkebunan sayur yang ada di sebelah kanan saung tersebut.
Tidak lama setelah itu, Pak Edi dan Pak Danu datang menghampiri. Mereka baru saja menyelesaikan penanaman pisang di kebun pribadi milik Pak Edi yang bersebelahan dengan perkebunan milik Ganjar itu. "Saya mau ke sana dulu ya, Pak!" ucap Ganjar bangkit.
"Iya, Jar," jawab Pak Rafli lirih.
Ganjar meminta ayahnya untuk menghitung jumlah harga sayuran yang sedang dimuat oleh para pekerjanya. Ganjar menyerahkan semua untuk diurus oleh Pak Edi.
"Nanti Bapak saja yang urus semua, Ganjar mau melihat kondisi kebun jagung!" kata Ganjar lirih.
"Iya, Nak. Kamu bilang juga ke Haikal sekalian lewat, brokoli jangan diangkut semua sisakan dua karung untuk Pak Kades!" ucap Pak Edi titip pesan kepada putra semata wayangnya itu.
"Baik, Pak. Nanti Ganjar sampaikan." Ganjar langsung melangkah keluar dari dalam saung dan bergegas berjalan menuju ke arah Haikal yang saat itu sedang memuat sayuran ke dalam bak mobil milik Pak Rafli.
Setibanya di tempat Haikal, Ganjar langsung menyampaikan pesan ayahnya kepada Haikal yang merupakan orang kepercayaannya itu. "Kata Bapak, brokoli sisakan dua karung untuk Pak Kades!" kata Ganjar lirih.
Haikal hanya mengacungkan ibu jarinya ke arah Ganjar tanda memahami apa yang dikatakan oleh bosnya itu. Ganjar tampak semringah melihat Haikal dan rekan-rekannya sangat bersemangat dalam mengerjakan aktivitasnya itu, dan ia pun sangat senang dengan hasil panen sayuran yang saat itu cukup lumayan, melebihi panen terdahulu.
"Kamu lihat! Bos kita melangkah dengan tak hentinya tersenyum, sepertinya Kang Ganjar sedang bahagia yah?" tanya Amin mengarah kepada Haikal.
"Kamu lihat saja, Min. Nanti aku akan seperti Ganjar punya istri dua!" kata Haikal sedikit bergurau sembari tertawa lepas.
"Satu kata untuk kamu. Mustahil," tandas Amin mencibir ucapan rekannya itu.
Ganjar saat itu kembali melangkah menuju ke perkebunan jagung untuk melihat kondisi terkini tanaman jagung yang baru berumur dua mingguan itu. Tampak beberapa orang pekerja sedang memperbaiki pagar di area perkebunan jagung tersebut. Ganjar pun ikut membantu para pekerjanya merapikan pagar dan membabat rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman jagung.
***
Pukul empat sore, usai melaksanakan Salat Asar di Musala yang ada di samping mes perkebunannya, Ganjar pamit kepada ayahnya untuk segera pulang. "Pak, Ganjar pulang sekarang yah," ucap Ganjar lirih.
"Langsung ke rumah Rara atau ke rumah Aisyah?" tanya Pak Edi tersenyum.
"Ke rumah Bapak, kan Aisyah dan Rara sedang belajar membuat kue bersama Ibu." Ganjar balas tersenyum dengan meraih ponsel yang tergeletak di bebalean saung tersebut.
"Sekalian bawa pisang saja untuk mertua kamu. Tapi masih mentah!"
"Iya, Pak," Ganjar langsung meraih pisang mentah yang sudah dipotong menjadi beberapa sisir, kemudian memasukannya ke dalam karung berukuran sedang.
Setelah itu Ganjar langsung mengangkat karung tersebut dan meletakkannya di atas pundak. Ganjar langsung pamit kepada sang Ayah seraya mengucapkan salam dan berlalu dari hadapan sang Ayah.
Ganjar tampak sederhana seperti layaknya petani buruh biasa dengan berpenampilan sama seperti para pekerjanya. Melangkah menyusuri jalan setapak dengan membawa karung yang berisikan beberapa sisir pisang. Ganjar tidak merasa angkuh dengan harta dan kekayaan yang ia miliki. Meskipun hidupnya sudah berubah, ia masih tetap bersikap seperti dulu tidak hanyut dengan harta yang ia miliki.
Hal itu menjadi nilai plus dalam diri Ganjar dan menumbuhkan rasa kagum dari para warga terhadap dirinya.
Dari hasil perkebunan, setiap bulannya secara rutin ia sisihkan untuk kemaslahatan umat.
Bersedekah dan berbagi untuk kaum dhuafa dan pakir miskin sudah menjadi kebiasaan Ganjar sedari dulu jauh sebelum hidupnya bergelimpang harta.
***
Pak Edi menerapkan dakwah bil qudwah dalam mendidik Ganjar, dakwah bil qudwah adalah dakwah melalui keteladanan sikap atau prilaku yang mencerminkan moralitas atau akhlak Islam. Peran ini harus dimulai dari yang paling dasar yaitu keluarga. Orang tua harus memberikan teladan yang baik bagi anak-anaknya. Kemudian lingkungan, dengan membuat kegiatan-kegiatan positif bahkan rutinitas yang baik seperti membaca Al-Qur'an setiap selesai Salat Magrib sampai menjelang waktu 'isya. Dalam prosesnya, semua orang tua harus memberikan teladan yang baik bagi anak-anaknya dan tegas demi membentuk lingkungan yang berakhlak Islami.
Metode seperti itu, sukses diterapkan oleh Pak Edi kepada putra semata wayangnya itu. Hingga tumbuh dewasa, Ganjar sudah terbiasa menerapkan dasar-dasar dan ketentuan yang mengarah kepada ajaran Islam yang ayahnya terapkan kepada dirinya. Sikap teloransi yang tinggi, baik dan peduli terhadap sesama sudah melekat dalam jiwa Ganjar dan kedua orang tuanya.
***