Sore itu, Ganjar mendapatkan undangan resmi dari pihak kecamatan yang meminta dirinya untuk menjadi pembimbing bagi para petani yang ada di kecamatan tersebut. Hal itu merupakan satu penghormatan untuk Ganjar, undangan tersebut resmi disampaikan oleh pihak pegawai dinas kantor kecamatan.
Ganjar merasa bangga, karena undangan tersebut merupakan suatu kehormatan untuknya. Ganjar didaulat sebagai pembimbing bagi para petani dan tokoh petani muda di kecamatan tersebut, banyak pujian dilontarkan kepadanya dari para warga serta kaum pemuda, sehingga banyak menarik minat dari para pemuda untuk ikut mengembangkan sumber daya manusia di desa tempat tinggal mereka dalam bidang pertanian.
"Bapak dengar tidak, kabar tentang Ganjar?" tanya Aisyah duduk di sebelah sang Ayah.
"Kabar apa, Neng?" pria paruh baya itu balas bertanya.
"Ganjar jadi pembimbing dalam acara penyuluhan petani di kantor kecamatan, Pak." Aisyah menjawab dengan raut wajah semringah
"Alhamdulillah," ucap Haji Mustofa tersenyum dan merasa bahagia mendengar kabar dari putri kesayangannya.
***
Malam hari sekitar pukul setengah delapan dalam perjalanan menuju ke kediamannya, Ganjar dihadang sekelompok orang tidak dikenal. Mereka berjumlah sekitar enam orang dengan perawakan tinggi kekar, keenam pria itu menghentikan laju motor yang dikendarai oleh Ganjar.
"Berhenti anak muda!" ucap salah satu dari keenam pria tersebut.
Ganjar menghentikan laju motornya, ia langsung membuka helm dan berjalan beberapa langkah mendekati para penghadang itu. "Maaf, Akang-Akang ini siapa? Dan ada maksud apa menghadangku?" Ganjar meluruskan pandangan ke arah para pria bertubuh kekar itu.
"Tinggi juga nyali kamu anak muda?" sahut pria berjaket hitam tersenyum sinis menatap Ganjar.
Ganjar berusaha untuk tetap tenang dan tidak terpancing emosi oleh sikap para pria tersebut. "Mohon maaf sebelumnya, jika tidak ada kepentingan izinkan aku untuk melanjutkan perjalanan!" ucap Ganjar dengan sikap rendah hati.
Hal tersebut tidak membuat keenam pria itu berbaik hati. Justru sebaliknya, mereka malah geram dengan ucapan Ganjar. "Serahkan uang kamu, baru aku izinkan lewat!" pinta pria berjaket hitam melangkah menghampiri Ganjar.
Ganjar hanya tersenyum kemudian berkata lirih. "Aku tidak punya uang seperti apa yang kalian inginkan," jawab Ganjar lirih.
Mendengar jawaban seperti itu dari Ganjar, pria itu dengan cepat menjambak rambut Ganjar dan berusaha untuk memukul wajah Ganjar. Namun, Ganjar tidak tinggal diam, ia melakukan perlawanan dengan menangkis tangan pria bertubuh kekar itu.
"Sialan, mau cari mati kamu," hardik pria tersebut.
Pria itu mengepalkan telapak tangan dan mengayunkan tangannya seraya memukul wajah Ganjar. Ganjar sedikit tersungkur tak kuasa menahan pukulan pria yang mempunyai tangan berotot itu. "Hahaha, mampus kamu," ucap pria itu merasa bangga karena berhasil menjatuhkan Ganjar hanya dengan satu pukulan.
Ketika Ganjar mulai tersudutkan, ia pun bangkit dan melakukan perlawanan. Dengan cepat Ganjar membalas dengan melancarkan pukulan ke bagian bahu pria itu, pria tersebut jatuh tak sadarkan diri. Hal itu membuat kelima rekan pria itu merasa terheran-heran dengan kekuatan yang dimiliki Ganjar.
"Bargo pingsan hanya dengan sekali pukulan, apakah pemuda itu mempunyai ilmu kanuragan?" bisik salah satu rekan Bargo.
"Bisa jadi, sekarang kita bawa Bargo pergi dari tempat ini!"
Kelima pemuda itu langsung mengangkat tubuh Bargo yang sudah terkulai lemah tak sadarkan diri, lalu mereka membopong rekannya itu dan membawanya pergi jauh dari hadapan Ganjar.
"Alhamdulillah, terima kasih ya Allah," ucap Ganjar menghela nafas panjang.
Ganjar sedikit mengalami luka dipergelangan tangan dan wajah sebelah kiri tampak memar. Setelah keenam pria itu menjauh dari hadapannya, Ganjar bergegas melanjutkan perjalannya menuju pulang.
Setibanya di rumah, Ganjar langsung menghampiri kedua orang tuanya dan menceritakan apa yang ia alami sewaktu dalam perjalanan pulang. Bu Ratna dengan cepat memberikan pengobatan terhadap luka di pergelangan tangan Ganjar dan mengompres luka memar di wajah putra kebanggaannya itu.
"Bapak kan sudah sering bilang, jalanan itu sepi dan banyak kejadian pembegalan yang dilakukan oleh para preman," terang Pak Edi. "Tapi Bapak salut sama kamu, satu pukulan saja preman itu sudah pingsan," sambung Pak Edi tertawa kecil seraya memberikan pujian terhadap putra semata wayangnya itu.
***
Pagi harinya, Ganjar kedatangan tamu. Tamu tersebut merupakan kakak kandung Bu Ratna dari Bandung, Pak Ratno sengaja datang dikarenakan ingin mengetahui lebih lanjut perkebunan yang sedang dikelola oleh Ganjar. Pak Ratno merupakan seorang pengusaha dan mempunyai pabrik tepung maizena. Kehidupan Pak Ratno sangatlah beruntung di banding dengan kehidupan sang Adik. "Uwa berniat untuk melakukan kerjasama dengan kamu, Nak," terang Pak Ratno.
Mendengar penuturan Pak Ratno, Pak Edi dan Bu Ratna sangat menyambut hangat niat baik pria paruh baya itu.
"Iya, Wa. Silahkan saja, kalau memang Uwa berniat untuk melakukan kerjasama dengan perkebunan Ganjar!" jawab Ganjar lirih.
Pak Ratno berniat untuk memberikan modal penuh kepada keponakannya itu, ia berniat membeli sebidang tanah yang dekat dengan lokasi perkebunan Ganjar dan akan ditanami jagung yang sepenuhnya dikelola oleh Ganjar dan jagung tersebut setelah panen akan menjadi pasokan utama pabrik tepung maizena yang dimiliki oleh Pak Ratno.
"Sebenarnya, ada beberapa hektar tanah milik Haji Gufron yang akan dijual," imbuh Pak Edi lirih. "Jika Kakak berkenan dan merasa cocok dengan harganya, nanti saya akan menelpon Haji Gufron untuk segera datang ke sini," sambung Pak Edi mengusulkan.
Pak Ratno pun setuju dengan apa yang dibicarakan oleh adik iparnya itu. "Sudah kamu hubungi saja Haji Gufron suruh ke sini sekarang!" pinta Pak Ratno.
Pak Edi langsung menghubungi Haji Gufron dan memintanya segera datang ke kediamannya itu.
Setengah jam kemudian, Haji Gufron bersama ketua RT setempat, tiba di kediaman Pak Edi. Mereka langsung membicarakan perihal tanah yang akan dijual oleh Haji Gufron. "Kalau Pak Ratno berminat mari kita tinjau lokasinya!" ajak Haji Gufron mengarah kepada Pak Ratno.
"Tidak usah, Pak Haji. Saya percayakan semua kepada adik saya!" jawab Pak Ratno tersenyum manis menatap wajah Haji Gufron.
Setelah itu, Haji Gufron langsung menyerahkan sertifikat tanah miliknya kepada Pak Ratno dengan disaksikan oleh ketua RT setempat sebagai saksi jual beli yang saat itu juga langsung ditanda tangani oleh kedua belah pihak di atas materai.
"Untuk pembayarannya, nanti sore saya transfer ke rekening Pak Haji," tandas Pak Ratno.
"Iya, Pak. Santai saja, nomor rekening saya sudah ada di Ganjar," jawab Haji Gufron menoleh ke arah Ganjar. "Masih ada kan, Jar?" sambung Haji Gufron bertanya kepada Ganjar.
"Ada Pak Haji, Ganjar simpan di ponsel," Ganjar menjawab dengan lirih dan bersikap ramah terhadap pria paruh baya itu.
Usai melakukan kesepakatan, Haji Gufron dan Pak RT langsung pamit kepada Pak Ratno, Ganjar dan juga Pak Edi. Keduanya langsung berlalu dari kediaman tersebut.
"Alhamdulillah," ucap Pak Ratno penuh syukur. "Kamu kelola lahan tersebut dengan baik. Uwa percayakan sepenuhnya kepada kamu tiga bulan ke depan, Uwa tunggu hasil jagungnya!" sambung Pak Ratno tampak semringah. "Nanti sore, antar Uwa ke Bank!" sambung pria paruh baya itu.
"Iya, Wa." Ganjar tampak bahagia kembali mendapatkan kepercayaan dari Pak Ratno.
***