Chereads / Ganjar Dear Aisyah / Chapter 25 - Ikhlas

Chapter 25 - Ikhlas

Beberapa bulan kemudian, hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, hari yang akan menjadi sejarah cinta dan kehidupan Ganjar dan juga Aisyah. Hari itu, Ganjar mengucap ikrar janzi sehidup semati dengan Aisyah dan disaksikan oleh beberapa orang kerabat dan juga sahabat-sahabat dari kedua mempelai.

Aisyah dan Ganjar dihadapkan kepada hari yang paling indah dan bersejarah, raut wajah keduanya memancarkan kebahagiaan yang tak terhingga.

"Saya terima nikah dan kawinnya Aisyah binti Haji Mustofa dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai," ucap Ganjar dengan lantangnya.

"Sah," sahut semua yang hadir di tempat tersebut.

"Alhamdulillaahirabbil'alamin," ucap Bu Ratna berlinang air mata, ia merasa terharu menyaksikan ijab qabul putra semata wayangnya itu.

Kemudian, acar dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin langsung oleh Penghulu. Setelah selesai berdoa, Ganjar dan Aisyah melakukan sungkeman kepada orang tuanya masing-masing dan juga kepada semua yang hadir di acara tersebut.

"Semoga kalian bahagia dan dapat membina hubungan rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah," ujar Haji Syarif.

"Amin," sahut Ganjar dan Aisyah dengan raut wajah berbinar-binar.

Usah melaksanakan akad nikah, acara pun dilanjut dengan makan-makan bersama, Haji Mansyur langsung mempersilahkan para tamu undangan untuk segera menikmati makanan yang sudah dihidangkan.

Kebahagian Ganjar dan Aisyah sangat bertolak belakang dengan apa yang dirasakan Rara saat itu. Ia tampak sakit hati dan hanya berdiam di rumah mengurung diri di kamar. "Tok, tok, tok, Neng buka pintunya!" ucap Hajah Kholifah dengan lirihnya.

"Masuk saja, Bu!" sahut Rara dari dalam rumah.

Hajah Kholifah melangkah masuk ke dalam kamar putrinya itu, kemudian duduk di samping Rara. "Kamu kok tidak datang ke acara pernikahan sahabatmu, Neng?" tanya Bu Hajah Kholifah memandang wajah putri semata wayangnya itu.

"Tidak, Bu." Rara tampak murung raut wajahnya pun terlihat pucat diselimuti kesedihan.

"Kamu harus ikhlas dan tegar, mau bagaimana pun Aisyah itu tetap sahabat baikku!" ujar sang Ibu penuh nasehat.

"Rara sedang tidak enak badan, lagi pula tadi pagi Rara sudah menelpon Aisyah dan meminta maaf karena Rara tidak bisa hadir," kelit Rara.

Ibu paruh baya itu, sangat khawatir dengan kondisi putri semata wayangnya itu. Sejatinya, ia paham apa yang dirasakan putrinya saat itu.

"Jika kamu mencintai seseorang, bebaskanlah dia. Jika dia kembali maka ia akan menjadi milikmu. Jika tidak, tinggalkanlah dan lupakan, karena itu akan menjadi beban hidupmu!" kata Hajah Kholifah.

"Iya, Bu. Ibu jangan khawatir, Rara sudah melupakan Ganjar!" Rara berkata tidak sesuai dengan apa yang ia rasakan saat itu.

Pada dasarnya, Rara sangat sulit untuk bisa melupakan Ganjar dan ia masih tetap akan berusaha untuk berada di samping Ganjar. Rara tidak peduli kalau pada akhirnya harus jadi istri kedua untuk Ganjar.

"Ya sudah, nanti kalau mau makan Ibu sudah siapakan makanan kesukaan kamu di ruang makan!" pungkas sang Ibu bangkit dan berlalu dari hadapan putri semata wayangnya.

***

Seminggu kemudian, Ganjar dan Aisyah berkunjung ke kediaman Pak Edi. Karena semenjak menikah, Ganjar tinggal di kediaman Aisyah atas permintaan sang Mertuanya.

Ganjar saat itu, sedang duduk santai di dalam rumah berbincang dengan Aisyah dan juga Bu Ratna.

"Ganjar," panggil Pak Edi dari luar rumah.

"Iya, Pak." Ganjar bangkit dan melangkah menghampiri sang Ayah yang sedang berada di teras rumah.

"Ada apa, Pak?" Ganjar duduk di samping sang Ayah.

"Kemarin Haikal pinjam uang kepada Bapak, terus Bapak kasih tapi pakai uang perkebunan," jawab Pak Edi lirih.

Ganjar tersenyum dan berkata lirih di hadapan sang Ayah. "Tidak apa-apa, Pak. Lagipula Haikal kan pekerja kita."

Pak Edi pun balas tersenyum dan merasa bangga dengan sikap bijaksana putranya itu. Usai berbincang Ganjar langsung kembali masuk ke dalam rumah, untuk segera mandi dan melaksanakan Salat Asar. "Neng, Aa ke Musala dulu yah," ucap Ganjar lirih.

"Iya, A." Aisyah tersenyum memandang wajah Ganjar.

Setelah Ganjar berlalu dari hadapan Aisyah, Bu Ratna datang menghampiri. "Sudah salat belum, Neng?" tanya Bu Ratna menatap wajah cantik menantu satu-satunya itu.

"Sudah, Bu. Tadi bersama Amel," jawab Aisyah lembut.

Bu Ratna tersenyum dan berlalu dari hadapan sang Menantu untuk segera melaksanakan Salat Asar. Aisyah pun kembali ke dapur membantu Amel memasak untuk persiapan makan malam.

Pukul 18:20, selepas Salat Magrib. Pak Edi dan yang lainnya melaksanakan makan malam bersama di ruang tengah dengan hidangan ayam dan ikan mas yang di ambil dari balong miliknya yang ada di belakang rumah. Malam itu, Ganjar dan Aisyah sengaja menginap di kediaman pak Edi, karena Haji Mustofa saat itu sedang ikut Ziarah ke daerah Bandung bersama para jama'ah Masjid yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

Usai makan malam, Ganjar, Aisyah dan kedua orang tuanya berkumpul di ruang tengah berbincang santai menikmati suasana malam.

"Pak Haji berangkat ziarah pukul berapa, Neng?" tanya Pak Edi mengawali perbincangan.

"Usai Salat Subuh, Pak." Aisyah menjawab dengan penuh keramahan dan bersikap hormat terhadap Bapak mertuanya itu.

"Memangnya, mau berapa hari Pak Haji berada di sana?" tanya Pak Edi lirih.

"Tiga hari, Pak," jawab Aisyah lirih.

Tidak lama kemudian, Amel datang dengan membawa martabak dalam kemasan kotak, Amel langsung meletakannya di atas meja.

"Kamu diantar siapa ke perempatan sana?" tanya Bu Ratna menatap wajah keponakannya itu.

"Kang Sobri, Wa." Amel duduk dan menghela nafas panjang.

"Beli martabak di perempatan sana, Mel?" tanya Ganjar.

"Iya, Kang," jawab Amel lirih.

Sayup-sayup, terdengar alunan azan berkumandang menandakan waktu isya sudah tiba. Pak Edi bangkit dan langsung mengajak Ganjar untuk berangkat ke Musala. "Iya, Pak." Ganjar langsung bangkit dan mengikuti langkah sang Ayah untuk menuju ke Musala yang tidak jauh dari kediamanya itu.

Sepulang dari Musala, Ganjar langsung masuk ke dalam kamar menghampiri sang Istri yang sudah lebih dulu berada di dalam kamar tersebut. "Assalamu'alaikum," ucap Ganjar duduk di samping Aisyah.

"Wa'alaikum salam," jawab Aisyah meraih tangan Ganjar dan menciumnya.

Dengan lembutnya, Ganjar menyentuh wajah halus Aisyah. Aisyah pun membalas sentuhan tangan Ganjar dengan pelukan hangat dan bersandar di bahu suaminya tersebut. Dengan penuh kasih sayang Ganjar menyentuh rambut Aisyah, perlahan membelainya. Tampak romantis dengan getaran-getaran cinta yang sudah bermuara.

"Neng sudah Salat Isya belum?" tanya Ganjar lirih.

"Sudah, A," jawab Aisyah lembut.

***

Esok paginya, selesai melaksanakan Salat Subuh. Bu Ratna dan Aisyah langsung mempersiapkan sarapan pagi.

"Bu," panggil Pak Edi lirih.

"Iya, Pak." Bu Ratna bergegas menghampiri suaminya. "Ada apa, Pak?" tanya Bu Ratna berdiri di hadapan sang suami.

"Kang Ucup mengantarkan ini." Pak Edi mengangkat plastik besar dan ia letakkan di atas meja.

"Oh, iya, Pak. Ini belanjaan yang Ibu pesan kemarin, sudah dibayar belum, Pak?"

"Sudah," jawab Pak Edi.

Bu Ratna meraih plastik tersebut dan langsung membawanya ke dalam rumah.

"Neng tolong bawakan nasi goreng untuk Bapak!" pinta Bu Ratna mengarah kepada Aisyah yang saat itu sedang berada di ruang dapur.

"Iya, Bu." Aisyah bangkit dan meraih sepiring nasi goreng dan langsung ia bawa ke teras rumah.

"Jar," panggil Bu Ratna.

"Iya, Bu." Ganjar melangkah menghampiri sang Ibu yang berada di ruang dapur.

"Ini nasi gorengnya!" ucap Bu Ratna.

Ganjar langsung meraih sepiring nasi goreng di atas meja dapur dan membawanya ke ruang tengah.

"Kamu sudah sarapan, Neng?" Ganjar menatap wajah Aisyah yang baru saja mengantarkan nasi goreng untuk Pak Edi.

"Aa, saja duluan. Aisyah nanti sarapannya bareng Ibu di dapur!" jawab Aisyah berlalu kembali ke ruang dapur.

Pukul 07:30, Ganjar dan Pak Edi sudah berangkat ke dapur untuk kembali melaksanakan aktivitas mereka mengelola perkebunan. Hari itu, Pak Edi hendak memanen pisang, karena sore harinya akan langsung diambil oleh Pak Rafli untuk dikirim ke pasar induk.

Pak Edi menugaskan Haikal dan Amin untuk mengambil pisang-pisang yang sudah cukup umur di perkebunannya tersebut. "Min, nanti langsung dibawa ke sini saja minta bantuan siapa saja supaya cepat selesai!" perintah Pak Edi mengarah kepada Amin yang ia percaya sebagai kordinator lapangan di perkebunan tersebut.

"Baik, Pak." Amin langsung melangkah berlalu dari saung tersebut, ia bersama Haikal dan juga beberapa pekerja langsung melaksanakan tugas dari sang Majikannya itu.

Perkebunan yang dikelola Ganjar bersama sang Ayah, semakin hari semakin terlihat perkembangannya. Saat itu, perkebunan tersebut sudah memiliki pos keamanan lengkap dengan enam orang petugas keamanan yang berjaga silih berganti selama tiga shift dan juga sudah mempunyai mes yang besar dan lengkap dengan fasilitas, serta sudah berdiri tegak sarana ibadah Musala yang dibangun di belakang mes tersebut.

Ganjar tidak besar kepala, meskipun kehidupannya sudah berkembang dan menjadi seorang petani muda yang sukses dan berlimpah harta. Ia sangat dermawan tak lepas dari setiap bulannya selalu menyantuni kaum dhuafa dan yatim piatu yang ada di sekitar desa tempat tinggalnya.

Namun, semua kebaikan Ganjar tak serta merta membuat orang kagum dan bangga terhadap Ganjar. Ada sebagian kecil dari warga justru tidak senang dan tidak menyukai kemajuan yang dialami oleh Ganjar dan keluarganya. Bahkan tidak jarang di antar mereka berusaha untuk menjatuhkan usaha Ganjar dengan bersaing secara tidak sehat. Namun, Ganjar tetap bersikap bijaksana dan tidak terlalu menanggapi hal tersebut dengan emosi, ia selalu bersabar dan berserah diri kepada Allah.

Karena Ganjar berpegang teguh kepada nasehat sang Ayah, yang selalu meminta dirinya tetap ikhlas apapun perilaku jahat yang dilakukan oleh saingannya harus di hadapi dengan kepala dingin dan sikap bijaksana.

***

Terkait dengan ikhlas, menurut Ibnu Faris dalam Mu'jam Maqayis al-Lughah, bermakna mengosongkan sesuatu dan membersihkannya. Menurut Hamka, arti ikhlas adalah bersih dan tidak ada ikut campur sesuatu apa pun. Sementara menurut Abu Thalib Al Makki, ikhlas mengandung pemurnian Agama dari hawa nafsu dan perilaku menyimpang, pemurnian amal dari bermacam-macam penyakit dan noda yang tersembunyi, pemurnian ucapan dari kata-kata yang tidak berguna, dan pemurnian budi pekerti dengan mengikuti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.