Chereads / Ganjar Dear Aisyah / Chapter 29 - Ujian dalam rumah tangga Aisyah

Chapter 29 - Ujian dalam rumah tangga Aisyah

Di usia kandungan yang keenam, Aisyah dihadapkan dengan permasalahan berat dalam kehidupan rumah tangganya dengan Ganjar. Namun, ia tetap berusaha untuk tegar dan ikhlas dalam menyikapi semua permasalahan hidupnya.

Satu pekan ke depan, Ganjar akan menikah lagi dengan Rara. Pernikahan tersebut, memang sesuai kehendak Aisyah yang merasa iba melihat kondisi Rara yang sangat terpuruk dan jatuh sakit, dikarenakan defresi dan tergila-gila oleh Ganjar yang saat itu sudah resmi menjadi suami Aisyah.

"Aa minta maaf ya, Neng," kata Ganjar dengan menggenggam telapak tangan sang Istri.

Aisyah tersenyum memandang wajah Ganjar. "Kita jalankan saja, A. Lagipula ini semua bukan kesalahan Aa!" jawab Aisyah penuh kebijaksanaan. "Aku harap, Rara menyayangi Aa dan juga menyayangi anak kita kelak jika sudah lahir," tambah Aisyah.

Ganjar tidak bisa berkata-kata lagi, ia hanya diam dan tertunduk menahan kesedihan yang mendalam. "Kenapa aku ditakdirkan untuk menjadi seorang pria yang harus membagi Cinta?" kata Ganjar dalam hati.

Aisyah bangkit dan langsung mengajak Ganjar untuk segera makan bersama, karena Marni sudah mempersiapkan makanan tersebut di ruang makan. "Ayo, A. Kita makan dulu!" ajak Aisyah.

Ganjar bangkit dan langsung mengikuti langkah sang Istri berjalan menuju ke ruang makan.

***

Mendengar kabar tentang rencana pernikahan Ganjar dengan Rara, sebagian warga kampung tersebut banyak yang mengambil kesimpulan dan menuduh Rara sebagai wanita pengganggu rumah tangga Ganjar dengan Aisyah.

Namun, ada sebagian warga juga yang menganggap hal itu memang sudah direncanakan oleh Ganjar, sehingga kabar itu didengar oleh Haji Syarif yang merupakan paman Ganjar.

"Memangnya, si Ganjar sudah memikirkan hal tersebut secara matang?" tanya Haji Syarif mengarah kepada Pak Edi yang saat itu sedang duduk santai di saung yang ada di perkebunan.

Pak Edi menghela nafas panjang, kemudian berkata lirih menjawab pertanyaan dari sang Adik. "Bukan keputusan Ganjar, Ji."

"Kok, bisa, Kang?" Haji Syarif tampak penasaran dengan jawaban dari sang Kakak.

"Aisyah yang meminta Ganjar untuk menikahi Rara. Karena Aisyah khawatir melihat kondisi Rara yang sakit keras gara-gara Ganjar menikah dengannya," terang Pak Edi tersenyuman-senyum.

"Beruntung sekali jadi Ganjar," kata Haji Syarif. "Itu yang dinamakan istri saleha!" sambung Haji Syarif tertawa kecil.

Tidak lama setelah itu, Ganjar tiba dengan mengemudikan mobil sedan warna merah milik istrinya. Keluar dari mobil, ia langsung melangkah menghampiri paman dan ayahnya yang saat itu masih berada di dalam saung. "Assalamu'alaikum," ucap Ganjar lirih.

"Wa'alaikum salam," jawab Haji Syarif dan Pak Edi secara bersamaan.

Ganjar langsung mencium tangan kedua pria paruh baya itu, dan ia langsung duduk di samping sang Paman. Haji Syarif tampak serius berbincang dengan Ganjar dan Pak Edi mengenai rencana pernikahan Ganjar dengan Rara. Haji Syarif menyarankan acara pernikahan itu digelar dalam kesederhanaan saja dan jangan terlalu mewah, semata-mata menghargai perasaan Aisyah. "Meskipun istrimu yang memintanya, tapi kamu juga harus bisa menghargai perasaan istrimu!" ujar Haji Syarif lirih. "Nanti, Paman yang akan membicarakan ini semua kepada Haji Syueb," sambung Haji Syarif lirih.

Ganjar hanya mengangguk tanda setuju dengan apa yang dibicarakan oleh pamannya itu.

"Ya sudah, Paman dan bapakmu mau melihat balong dulu!" pungkas Haji Syarif.

Ia langsung mengajak kakaknya untuk segera berangkat ke balong yang kebetulan saat itu sedang dikuras oleh para pekerja.

***

Pukul 16:00, usai melaksanakan Salat Asar di Musala yang ada di perkebunan, Ganjar langsung pamit kepada ayahnya dan juga pamannya yang saat itu masih berada di saung perkebunan tersebut. Ganjar sore itu berencana untuk menemui Rara di kediamannya. Sebelum berangkat ke rumah Rara, Ganjar meminta izin terlebih dahulu kepada Aisyah melalui sambungan telpon selular, dengan senang hati Aisyah pun mengizinkan suaminya untuk menemui Rara.

"Iya, A. Tidak apa-apa, sampaikan salamku untuk Rara!" kata Aisyah di sela perbincangannya dengan sang Suami melalui panggilan telpon.

"Iya, Neng. Terima kasih, nanti Aa sampaikan," jawab Ganjar lirih.

Usai berbincang dengan sang Istri, Ganjar langsung melajukan mobilnya keluar dari perkebunan dan melaju rendah menuju kediaman Rara yang jaraknya tidak terlalu jauh dari perkebunan tersebut.

Setibanya di rumah Rara, Ganjar langsung keluar dari mobil dan melangkahkan kaki berjalan menuju ke arah teras kediaman tersebut. Karena saat itu, Haji Syueb dan istrinya sedang berbincang di teras rumah. "Assalamu'alaikum," ucap Ganjar lirih.

"Wa'alaikum salam," jawab Haji Syueb dan Hajah Kholifah.

Ganjar langsung mencium tangan kedua calon mertuanya itu dengan sikap ramah dan penuh kesopanan. "Silahkan duduk, Nak!" kata Haji Syueb tersenyum manis menyambut kedatangan Ganjar yang sebentar lagi akan menjadi menantunya itu.

Ganjar pun langsung duduk di hadapan calon mertuanya. "Sebentar, Nak. Ibu mau panggilkan Rara, sekalian mau buatkan kopi!" kata Hajah Kholifah bangkit dan berlalu dari hadapan Ganjar dan Haji Syueb.

Ganjar hanya menganggukkan kepala dan tersenyum ke arah calon ibu mertuanya. Sementara, menunggu kedatangan Rara, Ganjar melakukan perbincangan dengan Haji Syueb mengenai hari pernikahannya dengan Rara. "Tadi juga pamanmu sudah telpon Bapak, ia meminta acara pernikahan ini dilangsungkan dalam kesederhanaan saja. Semata-mata untuk menghargai perasaan istrimu," terang Haji Syueb.

"Saya ikut kata Bapak saja," jawab Ganjar singkat.

Rara tampak senang mendapat kabar dari sang Ibu, kalau Ganjar sudah ada di beranda rumah. Ia bergegas memakai hijab dan sedikit mempercantik diri dengan pulasan makeup sederhana. Raut wajahnya tampak semringah dan saat itu ia sudah mulai pulih dari sakitnya.

"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Rara bangkit dan langsung melangkah menuju ke teras rumah.

Hajah Kholifah sudah lebih dulu mengantarkan segelas kopi untuk Ganjar. Setibanya di hadapan Ganjar, Rara langsung mengucapkan salam dan mencium tangan calon suaminya dengan penuh kelembutan ia menyapa lirih pria tampan itu. "Bagaiman kabarnya, A?" suaranya lembut disertai dengan lontaran senyum manis yang memikat.

"Alhamdulillah baik, Neng." Ganjar balas melontar senyum.

Haji Syueb dan sang Istri saat itu langsung bangkit dan pamit kepada Ganjar untuk masuk ke dalam rumah. Mereka paham dan berusaha memberi ruang untuk kedua calon suami istri agar lebih leluasa dalam berbincang.

Setelah kedua orang tuanya berlalu, Rara mulai mengatakan sesuatu di hadapan Ganjar. "Aa harus berusaha ikhlas menerima aku menjadi istri kedua Aa!"

"Iya, Neng." Ganjar tampak gugup, sejatinya ia tampak merasa bersalah terhadap Aisyah. Karena sudah menyetujui untuk menikah dengan Rara, meskipun itu semua sudah menjadi kesepakatan dirinya dengan Aisyah. Namun, hati kecil Ganjar tidak dapat dibohongi, ia tetap merasa melakukan kesalahan besar dalam kehidupan rumah tangganya dengan Aisyah.

"Kemarin Aisyah memintaku untuk datang ke rumah kamu, A." Rara tersenyum memandang wajah tampan seorang pria yang selama ini sudah membuatnya tergila-gila itu.

Kemudian, Ganjar bertanya kapan Rara akan ke rumahnya. Rara pun menjawab lirih pertanyaan dari Ganjar. "Besok, A."

"Tapi aku malu sama Aisyah," tambah Rara.

Ganjar tersenyum dan kembali berkata lirih. "Kenapa harus malu, Neng?"

"Aku malu dengan kebesaran hati Aisyah dan sikap baiknya selama ini. Namun, aku sudah mengkhianati persahabatanku dengannya." Rara tertunduk dan merasa banyak melakukan kesalahan terhadap Aisyah.

"Lupakan saja! Semua sudah menjadi takdir yang tidak dapat dihindari. Yang penting kamu berusaha menjadi istri yang saleha dan baik terhadap Aisyah dan buah hati kami kelak!" ungkap Ganjar. "Jangan pernah sekalipun menganggap anakku dengan Aisyah sebagai anak tiri. Anggap saja itu adalah anakmu juga!" sambung Ganjar.

Hampir setengah jam keberadaan Ganjar di kediaman Rara, setelah itu ia langsung pamit kepada kedua calon mertuanya dan juga kepada Rara sebagai calon istri keduanya.

***

"Jadikanlah dirimu seperti lilin, yang tidak akan pernah menyesal saat api menyala membakar dirimu. Jadilah seperti air yang mengalir mengikuti arah yang penuh kesabaran. Janganlah takut memulai sesuatu yang baru dalam kehidupanmu!"