Chereads / HANYA AKU UNTUK DIA / Chapter 53 - 53 Rasa Hati Ini

Chapter 53 - 53 Rasa Hati Ini

INEZ POV

Aku membenamkan wajahku di bantal kamarku. Menangis sejadinya karena Ayahku bersi keras tak setuju dengan permintaan izinku. Aku ingin ikut acara trip ke Jogja bersama-sama yang lain, disana ada Liza padahal, tapi Ayahku seakan tak percaya. Mungkin karena Jogja adalah kota Arman berasal, jadi Ayahku tak mau aku kesana meskipun beramai-ramai.

"Sudahlah jangan menangis seperti anak kecil, Nez! Hari minggu kamu tunangan, masak jum'at masih jalan-jalan sama mantanmu itu! Memang kamu mau ngapain sama dia ke Jogja huh?!" Damprat Ayahku kepadaku.

Aku menelungkupkan tubuhku diatas kasur dan masih menangis, sedangkan Ayahku berdiri berkacak pinggang dari tadi memang memarahiku.

"Aku enggak sama Arman, Yah! Aku sama teman se kantor! Kantor habis dapat bonus besar, Yah. Jadi teman-teman usul untuk rekreasi ke Jogja selama dua hari saja, Ayah!" tukasku tak kalah dengan emosi.

"Iya, sabtu kamu baru datang dan minggu acara pentingmu! Bagaimana kalau kamu sakit? Kamu akan kecapekan!" tambah Ayahku.

"Hari minggu bukan acara pentingku!!! Tapi hari penting Ayah!!!" pungkasku setengah berteriak.

"Kamu ini selalu membantah!!, Ayah hajar baru tahu rasa kamu!!!" Kemarahan Ayah sudah sampai batas maksimalnya kepadaku.

Ibu buru-buru mengatakan karena sejak tadi memang duduk di ranjangku, disampingku.

"Sudahlah Ayah, jangan terlalu keras dan kasar kepada Putrimu, lihatlah sejauh ini dia telah menuruti semua kemauan kita. Dia sudah mengalah dan menyiksa dirinya sendiri dengan menjalani hubungannya yang tanpa cinta dengan pilihan Ayah," penjelasan Ibuku.

"Kamu itu selalu membela dia, dia itu mau ke Jogja! Jogja kan rumahnya Arman! Bagaimana sih Ibu ini? Masak aku salah melarang dia?" tambah Ayah berikutnya.

"Oiya, bereskan tangisanmu, dan bermake uplah sekarang, karena Royan akan kesini menjemputmu, dia bilang ingin berdiskusi denganmu tentang apa yang perlu dan kurang untuk acara pertunangan kalian nanti."

"Ayah saja yang berdiskusi dengannya! Aku tak tahu apa itu! Bukankah ini semua kamauan Ayah?!" jawabku dengan ketus dan tetap dalam tangisan.

"Kamu ini! BANGUN!! Sini!!!" Ayah sangat ingin menamparku. Aku merasa tangan Ayah meraih bahuku dan berusaha menarikku untuk bangun.

"Ayah! Stop! Jangan begitu Ayah!" Tiba-tiba aku mendengar suara pria lain selain Ayahku, menghentikan apa yang Ayah lakukan.

Ternyata dia Royan. Royan tiba-tiba datang tanpa permisi dan ikut memasuki kamarku. Dia mengaku telah mengucapkan salam dan mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban dari dalam, sehingga membuatnya pelan-pelan memasuki rumahku. Lalu ia mendengar suara sedang ribut dalam suatu kamar, maka dia segera mencari sebuah kamar itu. Dan dia dapatilah adegan yang seperti ini tadi.

Aku menangis menelungkupkan badan dengan wajah di bantal dan Ayahku hendak memukul aku.

"Maafkan Royan lancang Ayah, Ibu ... tadi langsung nyelonong masuk kesini," ucapnya meminta maaf.

"Tidak apa-apa, lagian ini akan jadi rumahmu kalau kalian sudah menikah kelak," balas Ayah melembut.

"Kalau boleh tahu, Inez kenapa? Kenapa Ayah sampai marah seperti itu kepadanya?" tanyanya ingin tahu.

"Dia ... ingin ikut acara kantornya pergi ke Jogja, dua hari ini. Karena kalian kan minggu bertunangan, jadi Ayah tidak memberi izin. Ayah juga tak mau karena Jogja itu rumahnya Arman, mantan Inez, Nak." Ibu menjawab dan menjelaskan kepada Royan.

"Jam berapa berangkatnya, Nez?" tanyanya.

"Sudah berangkat mungkin setengah jam yang lalu," jawabku singkat.

"Ayah, aku sebagai calon suaminya, beri aku limpahan untuk dia. Ayah ... Ibu ... Aku mengizinkan dia ikut teman-temannya. Mumpung dia belum menikah denganku,"

"APA?!! Kamu enggak salah Royan?! Dia itu nanti dua hari dari pagi sampai malam bertemu dengan Arman. Apa tak takut ada apa-apa?" Ayah setengah berteriak.

"Aku sangat percaya kepada Inez, Ayah. Aku membiarkan dia ikut wisata ke Jogja hari ini." Entah apa yang membuat Royan berbeda pendapat dengan Ayah dan mengizinkan aku untuk acara ke Jogja. Yang jelas aku merasa sangat senang. Aku bangkit dan terduduk segera. Aku usap semua air mataku yang membuat wajahku benar-benar tampak sembab. Dia mengambil saputangan dari sakunya. Lalu setengah menunduk menatapku, dengan kedua tangannya dia menyentuh wajahku. Lalu mengusap saputangannya ke kedua pipiku dengan lembut. Aku terdiam dan tak berkata sepatah kata pun. Begitu juga Ayah dan Ibu yang melihatnya. Mereka diam saja. Setelah beberapa saat ...

"Royan! apa kamu enggak salah? Aku menyuruh Inez keluar dari pekerjaannya agar tidak bertemu mantannya itu. Kamu melarangku, sekarang dia mau dua hari dua semalam bersama-sama dengan pemuda itu juga aku melarang, tapi kamu mengizinkan. Ada apa ini? Kamu tidak marah dia bertemu pemuda itu? Apa kamu tidak cemburu? Apa kamu tak mencintai anakku?" desak Ayah kepada Royan.

"Bukan begitu Ayah, Aku sudah mencintai dia sejak dia berhasil mewarnai hari-hariku yang sempat kacau. Aku sangat cemburu ketika dia bertemu dengan lelaki lain. Apalagi orang yang dia cintai itu, tapi bagiku mencintai bukan dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak. Aku akan membuat Inez mencintaiku dengan kelembutan yang benar-benar akan tumbuh untukku. Aku tahu tidak mudah, tapi aku yakin. Dia akan perlahan-lahan bisa mencintai aku, jadi ... biarkan Royan yang mengatur semuanya. Tolong setelah ini tidak ada yang kasar kepada Inez. Aku tahu apa yang harus aku perbuat, aku akan mendapatkan hatinya dengan caraku,"

"Heleeeeh!!! Sok-sok an puitis, agar Ayah dan Ibu makin simpati sama kamu! Aku tak peduli puisi yang kamu utarakan. Yang penting hari ini aku akan pergi ke Jogja dan aku memang harus berterima kasih kepadamu karena membuatku bisa ikut acara itu." gesahku dalam hatiku sendiri.

"Ambillah keperluanmu, Nez. Pergilah kau sudah telat." perintahnya kepadaku.

Aku dengan cepat merapikan pakaianku, lalu aku ambil tas ranselku yang memang sudah aku siapkan sejak kemarin sore. Aku berusaha salim kepada Ayahku yang tampak masih berat lalu aku salim kepada Ibuku. Aku sangat senang.

"Terima kasih Ayah, terimah kasih Ibu, terima ka ... sih ...." pamitku terhenti ketika aku mengucap terima kasih kearah Royan, dan berhadapan dengannya.

"Terima kasih Mas Royan. Aku 29 tahun dan kamu 24 tahun. Mulai sekarang kamu harus panggil aku Mas!" ucapnya menyahut kata-kataku tadi.

"Terima kasih Mas Royan," Aku mengatakan juga. Menyebut dan memanggil namanya. Baru pertama ini aku memanggil namanya dengan sopan dan mimik wajah yang berbunga-bunga. Bukan karena apa? Tapi karena aku kegirangan. Sebelum bertunangan aku berlama-lama bersama Arman. Memang itu tujuan  utamaku ikut acara itu. Biasanya aku menyebut namanya disertai amarah dan umpatan.

"Kau mau naik apa, Nez?" tanyanya

"Aku bisa naik Gr*b,"

"Tidak, aku sendiri yang akan mengantarmu," dia segera ikut berpamitan kepada kedua orang tuaku. Aku tak sengaja mengembangkan senyumanku.