Chereads / 60 Days I Love You / Chapter 11 - 11

Chapter 11 - 11

Uli berjalan menyusuri jalan setapak yang terdapat beberapa warung makanan.

Sayangnya hanya ada satu warung yang menjual makanan berat dan menunya pun tidak beragam hanya ada beberapa jenis olahan ikan dan ayam.

Akhirnya Uli memilih membeli satu porsi nasi bungkus dengan lauk ayam gulai.

Semoga saja Arya suka pikirnya karena tidak ada pendamping lain seperti dirumah makan padang. Hanya nasi putih, kuah dan ayam.

Ada tiga warung yang menjual aneka cemilan. Mulai dari yang segar-segar seperti sup buah dan minuman segar lainnya.

Cemilan kemasan yang banyak mengandung penyedap rasa terlihat memenuhi stand makanan.

Uli memutuskan untuk membeli beberapa cemilan dengan status agak berat agar bisa menahan rasa lapar sampai tiba dirumah nanti.

Bagaimanapun keadaannya masakan Mamak tidak akan ada tandingannya.

Saat berjalan kembali menuju tempat dimana Arya berada tiba-tiba saja Uli bertemu dengan teman lamanya.

Pria tampan menurut penduduk desa Suka Hati. Memiliki tinggi hanya semeter kotor, kulit hitam seperti orang pedalaman indonesia.

Pria itu bernama Angkasa. Salah satu anak yang kurang beruntung katanya karna tidak lahir dari orang kaya.

Dulu waktu ia didalam kandungan. Ibunya selalu mengidam ingin pergi keluar angkasa. Ingin melihat bentuk bumi serta planet lainnya.

Ingin merasakan sengatan matahari dari jarak dekat. Aneh memang tetapi itulah yang dirasakan Ibu Angkasa dulu.

Namun, sayang seribu sayang karena sampai detik ini hal itu tidak pernah dirasakan.

"Uli!" panggilnya saat melihat gadis cantik nomor dua dikampung yang sempat memenuhi pikirannya.

"Keleng ..." cicit Uli. Malas sekali rasanya bertemu sikeleng pemilik mulut cabai.

Karena jika kita bertemu dan laki-laki itu dan dia melihat sesuatu yang aneh maka satu penduduk kampung akan mempercayai gosipnya.

Angkasa terkenal dengan panggilan Keleng karena kulitnya yang hitam.

Meskipun memiliki tinggi dibawa rata-rata serta kulit hitam pekat tapi, warga kampung sangat menghormatinya.

Karena Keleng selalu membawa berita panas terbaru yang sedang terjadi. Kalau panggilan sayang Luhut untuk Keleng adalah 'tv gosip berjalan'.

Berita yang dibawakan oleh Keleng sungguh sangat akurat bahkan faktanya tidak perlu diragukan lagi.

"Hei sombong sekali kamu, Uli."

Angkasa sedikit berlari menghampiri Uli yang sama sekali tidak membalas sapaannya di panggilan pertama.

Wanita itu hanya berdiri memandang sekilas lalu mengalihkan tatapannya.

"Aku bukannya sombong, Keleng. Aku hanya tidak melihat dirimu. Aku mendengar suara tapi tidak melihat orangnya membuat aku melirik kanan kiri keheranan," kata Uli berkilah sudah bisa dipastikan pertemuan pertamanya dengan Angkasa sebagai istri Monang akan menjadi perbincangan hangat dikampung sore ini.

"Menatang-mentang kamu sudah menjadi istri si Monang salah satu pemilik perkebunan dikampung ini kamu menjadi sombong denganku. Tidak ingatkah kamu saat dulu sering main papa mama denganku. Bahkan kita memiliki anak lima."

Dari pandangan matanya saja sudah bisa dipastikan bahwa Keleng sedang memiliki niat terselubung.

"Aku ingat," kata Uli malas sedikit menarik kerah Hoodienya agar tanda merah dileher tidak terdeteksi sang pembawa berita.

"Hei banyak sekali makanan yang kamu beli. Apa tidak ada niat untuk membagi padaku?"

Keleng mencoba berbasa-basi agar bisa mendapatkan berita akurat hari ini.

"Kamu tidak boleh makan makanan yang mengandung banyak penyedap rasa seperti ini. Nanti menghambat pertumbuhan tinggi badanmu," ucap Uli sengaja meledek Keleng.

"Hei bodoh! Tinggi bandaku sedari dulu memang segini-segini saja."

Keleng melirik Uli dari atas sampai bawah seperti sedang menyelidiki sesuatu.

"Ha ... ia kah. Aku kira kamu sampai hari masih dalam masa pertumbuhan," ucap Uli kembali mengulang perkataannya.

Tak ingin mengeluarkan kalimat kreatif dari mulutnya.

"Daripada mengurusi tinggi badanku mending kamu pergi melihat suamimu yang sudah dikerubungi wanita-wanita cantik itu."

Keleng mencoba menghidupkan api di atas bara yang penuh air.

"Hei manusia setengah kerdil! Siapa yang berani menggangu si Monang ha? Satu kampung ini juga tahu bahwa aku adalah istri sah Hamonangan Pemberani."

Uli berkata dengan nada tinggi. Sangking kesalnya ia sudah berkacak pinggang dihadapan Keleng.

"Uli ... jangan katakan itu. Aku mohon ..." Keleng memulai dramanya.

"Hei, kerdil kamu kenapa?" tanya Uli heran melihat raut wajah serta nada suara Keleng berubah menjadi sedih.

"Aku ... aku sampai hari ini masih belum bisa menerimamu bersanding dengan pria lain. Aku mencintaimu Uli. Aku selalu berdoa agar Tuhan mau mempersatukan kita tetapi, Tuhan sangat jahat dia malah membuatmu menjadi istri Monang."

Perkataannya terdengar tulus tapi, penuh dengan ketidakpastian.

"Aku pusing. Aku tidak mengerti arah pembicaraanmu," kata Uli asal tanpa sadar ia membuka topi Hoodie yang menutupi tanda merah dilehernya.

"Astaga! Ya Tuhan! Ternyata aku benar-benar sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk mendapatkan mu," kata Keleng meraung-raung seperti orang kesetanan.

"Ah sudahlah. Aku mau pergi," ucap Uli meninggalkan Keleng yang masih meratapi kegagalan cinta pertamanya.

Saat melihat Uli sudah berjalan jauh dari hadapannya Keleng beranjak untuk berdiri meskipun kenyataannya hati Keleng sangat sakit mendengar pengakuan Uli tetapi tidak apa.

Setidaknya tanda merah dileher sang pengantin baru bisa dijadikan bahan gosip yang akan menghasilkan makanan gratis untuk seminggu ke depan.

Sebenarnya Uli adalah cinta pertama Keleng. Dulu waktu kecil mereka sering bermain papa mama bersama, memiliki lima anak boneka.

Sudah seperti keluarga sungguhan membuat Keleng merasakan benih-benih cinta monyet pada Uli sejak duduk di bangku SD bahkan sampai hari ini.

Keadaan ekonomi keluarganya yang sangat pas-pasan membuat ia mengubur dalam rasa cinta untuk Uli saat memasuki usia remaja.

Keleng juga bersumpah bahwa ia akan merelakan wanita yang dicintainya menikah dengan siapa saja asal jangan Monang.

Bagi Keleng Monang hanyalah pria tak tau diri yang beruntung dilahirkan dari keluarga kaya raya.

Sifatnya sombong, sok penguasa membuat rakyat kecil seperti Keleng sangat membenci Monang.

Keleng tidak tahu saja kalau yang menjadi suami Uli adalah Arya Wiraguna.

Jika si hitam itu tahu berita terpanas ini maka alam pun tidak akan bisa memprediksi apa yang akan terjadi.

***

"Kenapa lama sekali?" tanya Arya saat melihat Uli baru akan duduk disampingnya.

"Belum juga satu jam. Tadi aku bertemu dengan Keleng," ucap Uli tanpa menatap Arya tangannya sedang sibuk membuka bungkusan nasi.

"Hanya satu?" tanya Arya begitu menerima nasi. Melirik ke plastik keresek yang lain tapi, tidak melihat ada bungkusan lain disana.

"Ia. Aku mau makan cemilan saja. Setelah pulang baru aku akan makan berat," kata Uli yang seolah mengerti pemikiran suaminya itu.

"Oh. Keleng siapa?" tanya Arya. Ada rasa penasaran saat pertama kali Uli mengatakan bertemu dengan Keleng. Nama yang baru didengarnya.

"Dia teman kecilku. Dulu kami sering main bareng. Setelah SMP dia menjauh," kata Uli jujur karena memang begitulah kenyataannya.

"Laki-laki?" Arya bertanya lagi karena penasaran dengan nama Keleng tersebut.

"Ya. Makanannya enak gak?" tanya Uli mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Tidak terlalu tapi, masih bisa dinikmati."

"Enak atau tidak kamu harus menghabiskannya. Jangan membuang makanan. Kamu harus tahu bahwa diluar sana banyak orang kelaparan."

"Uli, apa sebenarnya yang ingin kamu katakan? Sekarang kita sudah berada disini maka bicaralah."

Arya berkata langsung pada intinya. Saat Uli pergi membeli makanan tadi dia sudah memikirkan segala sesuatunya matang-matang.

"Tidak ada. Hanya perihal rumah tangga kita saja." Uli mencoba untuk mengatakan. Namun, sulit rasanya.

"Katakan saja. Aku akan mendengarnya. Aku juga akan mengeluarkan unek-unekku ditempat ini," kata Arya jujur. Hari ini sepertinya akan ada perubahan pada status mereka.

"Bang ..." panggil Uli lirih ada rasa malu saat akan mengungkapkan sesuatu dihatinya. Meskipun hal itu sudah sering diungkapkan pada Arya.

"Ya," jawab Arya menyingkirkan pancing dan nasi bungkus dihadapannya beralih menatap istri yang baru dua hari dinikahi secara kebetulan.

"Ma–maafkan, Uli perihal pagi tadi," ucap Uli pelan. Kepalanya menunduk menatap air sungai tak berani memandang wajah suaminya.

"Lupakan saja. Aku juga sudah melupakannya. Anggap saja itu hubungan pertama kita," ucap Arya santai sambil memperhatikan tingkah istri dadakannya itu.

"Bang, bolehkah Uli berkata jujur."

"Katakanlah mumpung kita masih disini. Tadi Bapak sama Mamak bilang bahwa kita harus mengeluarkan segala keluh kesah kita dan jika nanti aku mendapatkan Ikan Emas maka aku harus membuat satu permintaan disini."

"Bang ... aku benar-benar tidak ingin menjadi janda."