Tak ada yang dilakukan oleh Angga dan juga Eiji selain terduduk di depan jasad itu dengan wajah yang tidak karuan dan tubuh yang terasa sangat lemas. Mata Angga terus menatapi tubuh dari jasad lelaki itu yang kini sengaja di tutupi oleh Jas miliknya. Angga maupun Eiji sama-sama terdiam di hadapan jasad tersebut, tak ada satu pun kata atau pembicaraan yang mendominasi.
"Sampai kapan ini semua akan berakhir??" sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Eiji saat itu terdengar begitu menyedihkan, dan bahkan Angga yang mendengarnya pun kini menoleh menatap Eiji yang kini menatap jasad tersebut dengan sorot pandangan yang begitu merasa sedih.
Kedua mata Eiji kini memancarkan sorot kesedihan. Seolah dirinya tidak ingin melihat hal-hal yang mengerikan dan menyedihkan seperti yang baru saja terjadi di depan mata kepalanya sendiri, dan tidak dapat dielakan lagi bahwa Angga merasa jika Eiji pasti akan mengalami semacam trauma setelahnya. Hal itu pun membuat Angga menepuk bahu Eiji dan mengusapnya untuk menenangkan anak itu.
"Sudah berapa lama kau berada di sini, Eiji?" itulah pertanyaan yang spontan terlontar dari mulut Angga kepada Eiji. Angga akui dirinya cukup penasaran dengan hal itu, yang pada akhirnya ia pun bertanya demikian kepada Eiji yang kini beranjak dari duduknya dan kembali menggendong tas ransel miliknya.
"Satu tahun, itu jika aku menghitung dari siang dan malam yang telah ku lalui di labirin ini semenjak aku datang, maka aku terjebak di dalam dimensi ini selama itu" jawab Eiji kepada Angga, jawaban yang diucapkan oleh Eiji saat cukup mengejutkan Angga yang kini membelalakan matanya cukup lebar.
Anak ini sudah banyak melewati hal-hal yang mengerikan. Kata itulah yang pada akhirnya muncul dari dalam benak Angga yang saat ini ikut beranjak dari duduknya dan menoleh mengajak Eiji yang kini mengajaknya untuk terus berjalan.
"Ayo … kita tidak bisa tinggal di sini!" ajak Eiji kepada Angga, ajakan dari Eiji saat itu membuat Angga menoleh menatap jasad yang tergeletak di hadapannya,
"Apakah kita tidak perlu menguburkannya?" tanya Angga kepada Eiji yang kini menggelengkan kepalanya,
"Tidak … kita tidak memiliki waktu karena kita harus segera mencari jalan lainnya agar tidak bertemu dengan para psikopat, dan lagi … jasad ini nantinya akan menghilang dengan sendirinya" jawab Eiji kepada Angga yang kini mengerutkan dahinya mendengar hal itu.
"Apakah kau memiliki tujuan?" tanya Angga menoleh kepada Eiji yang kini ikut menoleh menatapnya dan kemudian menganggukkan kepalanya menjawab hal itu.
"Tentu saja, kita semua memiliki tujuan bukan? Semua orang pasti memilikinya dan begitu juga denganmu, kita semua pasti memiliki satu tujuan yang sama" jelas Eiji kepada Angga yang kini praktis mengerutkan dahinya setelah mendengar ucapan Eiji yang terlihat amat yakin dengan apa yang baru saja diucapkan olehnya.
Angga dan Eiji pun mulai melangkahkan kakinya meninggalkan jasad itu dan menelusuri jalan yang lainnya, tidak seperti Eiji yang kini terfokus dengan jalanan, Angga justru bertanya mengenai hal yang membuatnya penasaran terhadap jawaban Eiji beberapa waktu yang lalu.
"Eiji … bagaimana bisa kau seyakin itu??" tanya Angga kepada Eiji yang kini mengerutkan dahinya dan balas bertanya,
"Mengenai apa?" tanya Eiji tidak paham,
"Bagaimana bisa kau merasa yakin jika aku memiliki satu tujuan yang sama denganmu dan juga yang lainnya?? bagaimana bisa kau seyakin itu?" lanjut Angga menjelaskannya kepada Eiji, pertanyaan yang dilontarkan oleh Angga saat itu pun membuat Eiji terkekeh pelan dan kemudian menganggukkan kepalanya seraya berucap,
"Bagaimana bisa aku seyakin itu?? tentu saja aku yakin! Karena Angga juga pasti ingin kembali ke dunia bukan? Intinya, kita semua memiliki satu tujuan yang sama dan itu adalah kembali ke dunia dan itulah yang sedang kita cari sekarang, benar bukan? Kau juga pasti sedang mencari jalan keluar sama seperti ku!" jawab Eiji menjelaskan kepada Angga yang kini mengangguk menyetujui hal itu.
"Ya … tapi, sepanjang perjalananku, aku tidak menemukan sebuah pintu keluar dari tempat ini … apakah kau yang selama setahun di sini tidak juga menemukannya?" tanya Angga kepada Eiji yang kini tertawa mendengar hal itu,
"Hahaha … kita tidak mencari sebuah pintu, Angga!" ucap Eiji kepada Angga yang kini mengerutkan dahinya mendengar hal itu,
"Lalu … apa yang kita cari?" tanya Angga masih merasa bingung dengan penjelasan Eiji.
"Sebenarnya kita tidak mencari, Angga … tapi kita sedang menunggu." jelas Eiji meralat pertanyaan Angga, yang pada akhirnya kembali dibenarkan oleh Angga yang langsung bertanya,
"Baiklah … apa yang kita tunggu?" tanya Angga kepada Eiji,
"Kunci … kita menunggu sebuah kunci yang akan membawa kita langsung menuju dunia, itulah yang akan kita tunggu saat ini." jelas Eiji, dan itu membuat Angga menyipitkan dahinya mendengar kata tersebut,
"Jadi … jika kita menemukan kunci itu, maka kita bisa pulang karenanya??" tanya Angga lagi kepada Eiji yang kini menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri ketika mendapati tikungan dan kemudian menganggukkan kepalanya.
"Tapi … kunci itu hanya datang satu kali dalam beberapa waktu, dan selama kita menunggunya, kita harus bertahan hidup agar tidak terbunuh oleh yang lainnya di sini, dan kita tidak boleh melewatkan kedatangan kunci tersebut." penjelasan yang dikatakan oleh Eiji, membuat Angga kembali terbingung karenanya.
Ia memiliki sebuah pemikiran lain mengenai kunci dan para psikopat yang memperebutkan kunci. Jika memang ada sebuah kunci untuk kita berhasil kembali, kenapa mereka harus saling membunuh karenanya? Kenapa mereka tidak membuka kunci itu bersama-sama dan pulang ke dunia tanpa harus berlaku kejam? yang pada akhirnya memakan banyak korban seperti yang telah terjadi di sini, saat ini. Kalimat itulah yang memenuhi pikiran Angga, yang kini memilih untuk mengerutkan dahinya, tanpa sedikitpun berucap.
Seolah mengetahui apa yang ada di dalam benak Angga, Eiji pun akhirnya berjalan menghampirinya dan kemudian berucap, "Mereka saling membunuh dan melukai orang lain karena kunci yang datang hanya akan membawa satu orang saja untuk kembali ke dunia, dan meninggalkan sisanya di sini untuk menunggu kunci yang selanjutnya tiba." mendengar hal yang diucapkan oleh Eiji, membuat Angga segera menolehkan kepalanya kepada Eiji yang kembali berucap, "Dan itu akan terus terulang, yang membuat mereka berpikir bahwa yang paling kuat dan yang paling di takuti lah yang layak untuk mendapatkan kunci tersebut. Mereka akan menjadi saling melukai dan akan terus seperti itu, tidak ada kata sabar untuk menunggu giliran … mereka semua pasti ingin terlebih dahulu bebas dari dimensi ini, itulah sebabnya kenapa mereka akan menjadi orang yang tega untuk melukai yang lainnya." sambung Eiji.
Penjelasan yang diucapkan oleh Eiji kepada Angga, membuat dirinya mulai memahami permainan yang ada di dalam labirin ini, dan permainan seperti itulah yang tidak dapat diterima oleh Angga. Mereka terlalu berambisi untuk mendapatkan kunci tersebut, sehingga akal mereka menjadi rusak dan secara kejam melukai orang-orang yang mereka temui tanpa harus mengetahui yang lainnya.
Logika dari orang-orang yang berada di sini sudah rusak karena tekanan yang diberikan oleh dimensi dan juga situasinya. Hal itu lah yang membuat Angga memutuskan untuk tidak mengikuti emosi dan tetap berada di dalam logikanya sekuat yang ia bisa.
Kedua pandangan Angga saat ini menoleh kembali menatap Eiji yang berjalan ke depan sana, "Sekiranya, kapan kunci itu akan tiba?? apakah kita akan mengetahuinya?" tanya Angga kepada Eiji.
Mendengarkan pertanyaan yang dilontarkan oleh Angga, membuat Eiji menggelengkan kepalanya dan berucap, "Kunci tiba dengan tidak tentu …. jadi, yang sekarang yang harus kita lakukan adalah bertahan di sini hingga kunci itu tiba." jelas Eiji kepada Angga yang juga berjalan mengimbangi langkah Eiji.
"Apakah kita akan mengetahui kapan kunci itu tiba?" tanya Angga lagi kepada Eiji yang kini menganggukkan kepalanya.
"Ya … kita pasti akan mengetahuinya nanti." jawab Eiji dengan singkat.