Berbekal dengan list belanjaan yang tiap bulan aku buat, segera aku melangkah menuju bagian peralatan rumah tangan dengan memdorong troli besar. Tak butuh waktu lama, troli itu sudah terisi dengan tisu, detergen, pengarum ruangan dan serba serbi rumah tangga lainnya.
Seperti biasanya saat berbelanja bulanan gini aku selalu milih buat pesan taksi online. Karena sudah pasti bawaanku banyak dan naik motor jelas bukan pilihan tepat.
Sambil menunggu taksi yang datang aku memutuskan untuk duduk di sudut cafe market. Lumayan ramai, meskipun malam minggu. Beberapa pasangan tampak menikmati kebersamaan. Aku hanya tersenyum masam. Iri? Bilang bos!
Sorry, nggak ada dalam kamus hidup Aluna iri sama orang pacaran. Ponselku berbunyi dan panggilan dari sopir taksi yang kupesan membuatku segera berdiri.
********************************************************
"Lho, Mbak Luna." Pak Seno yang bertugas malam terkejut melihatku yang bersandar di pagar kantor dengan menenteng kantong plastik besar. Segera di bukanya kunci pagar dan aku pun masuk ke dalam.
"Pak bantuin turunin ya, di taksi masih ada 5 kantong lagi!" Perintahku yang segera di laksanakan olehnya.
"Kok naik taksi Mbak Lun?" Tanyanya setelah selesai membantuku menurunkan barang belanjaan.
"Lha terus naik apa aku Pak? Masak naik motor? Mau balik berapa kali coba." Dengusku kesal.
"Ya, kan bisa minta antar siapa gitu Mbak Lun?" Katanya sambil tersenyum kikuk.
"Eh, iya lupa kan Mbak Luna Jombles." Potongnya sebelum aku sempat menjawab.
"Wah, pelanggaran ini. Ora iso, angel iki. Abot, abot,,." (Wah, pelanggaran ini. Nggak bisa, sulit ini. Berat, berat)
"Anak-anak sales itu lo Mbak, yang bilang. Kata nya Mbak Luna Jombles gitu."
"Wes, ngajak gelut iki. Hmmm, delok sesuk tak pending iku biaya dinas e" (wes, ngajak bertengkar ini. Hmmm, lihat besok tak pending itu biaya dinas nya) kataku pura-pura ngomel, padahal memang ngomel beneran. Sedangkan Pak Seno hanya tersenyum canggung menatapku.
"Makanya Mbak Lun, kalau ada yang ngajakin pacaran di terima aja. Biar nggak Jombles lagi." ledeknya tertawa geli
"Hemmm ojo nyindir.. Dah wes aku mau pulang ae, capek aku di bully terus" kataku sok teraniaya. Ku lmbaikan tangan dan segera membuka pintu taksi, mengambil duduk dan segera menyuruh sopir taksi segera jalan. Sebelum ejekan Pak Seno makin panjang.
Jalan ramai, lampu kendaraan berkelap-kelip indah sayang tak seindah perasaanku sekarang. Tahun ini usiaku menginjak 27 Tahun. Itu artinya lima tahun sudah aku bekerja di tempat ini semenjak lulus kuliah. Itu juga berarti 27 tahun sudah aku hidup menjomblo. Itu juga artinya 27 tahun aku belum pernah ngerasain namanya pacaran.
Banyak teman-temanku yang coba mengenalkanku dengan teman cowoknya tapi sampai detik ini masih juga tak satu pun yang sreg di hati. Sampai mereka capek sendiri dan berhenti mengusikku tentang pasangan. Katanya aku ini nyari yang seperti apa.
Kalau ditanya begitu aku sendiri juga binggung. Yang jelas aku ingin merasa hatiku berdebar-debar saat bertemu dengan pria itu, jantungku berdetak cepat dan waktu seperti berhenti berputar. Dramatis bukan?
Taksi berhenti di gedung apartemen yang aku beli, bukan apartemen mewah. Tapi apartemen ini ku beli dengan uang hasil kerja kerasku selama ini. Hebat kata teman-temanku. Tapi aku nol besar soal percintaan. Setelah membayar ongkos taksi segera aku menuju lorong sebelah kanan. Aku memilih di bawah, karena aku sedikit takut dengan ketinggian dan aku juga paling males naik turun. Takut tubuh idealku berubah menjadi kurus karena kalau berat badanku sampai berkurang sekilo saja Bunda pasti akan segera menyuruhku pulang ke rumah. Dan itu berarti aku harus siap dengan omelannya setiap detik untuk mencari pasangan.
Deretan kamar di bagian bawah ini hampir semunya terisi, hanya ada satu sebelah ku yang kosong sejak setahun lalu karena pemiliknya pindah ke rumah pribadinya. Memasuki apartemenku segera aku menyalakan lampu dan masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Tubuh lelahku butuh penyegaran setelah seharian berjibaku dengan kerjaan.
Bandanku terasa segar setelah mandi, ku buka nasi di magic com masih ada dan layak makan, aku memasaknya tadi pagi, menyalakan kompor dan mengambil sebutir telur. Lima menit kemudian sepiring nasi dengan telur dadar, irisan cabai dan kecap siap mengisi perut yang mulai dangdutan. Bukan aku hemat, pelit atau nggak ada uang aku hanya malas untuk keluar cari makan. Lagian aku juga bukan tipe orang yang pilih - pilih makanan.
Piring makanku baru saja selesai aku cuci saat ponselku berdering nyaring. Bunda.
"Hallaoow Aluna sayangnya Bunda.." suara cempreng yang nyaring terdengar begitu aku mengangkat telepon itu.
"Waalaikum salam Bun."
"Xixixixii.." Bunda terkekeh mendengarku yang justru mengucap salam menyindir halus kebiasaannya saat telepon.
"Assalamualaikum Aluna nya Bunda yang cantik, pinter, mandiri tapi jombles."
"Bunda jangan mulai deh, Luna tutup nih teleponnya." Ancamku
"Wowowo... jangan dong sayangnya Bunda. Masak gitu aja ngambek sih."
"Habis Bunda kebiasaan sih, suka ngejekin Luna." Protesku kesal.
"Iya,, iya,, ih maaf jangan marah ah cuma gitu doang lagian itu juga kan kenyataan."
"Ada apa Bun, malem-malem nelpon?"
"Ish.. kamu kok gitu sih. Masak nelpon anak sendiri nggak boleh. Kangen donk bunda. Kamu nggak ada rencana pulang akhir pekan ini" cerocosnya panjang lebar khas emak-emak kompleks.
"Iya nanti Luna pulang."
"Bunda kesepian ini nggak ada kamu." Katanya sedih. Sepertinya mau berdrama dia.
"Ayah mu mana sibuk juga. Bunda capek ngikutin dia terus." Nah nah tuh kan mulai curcolnya.
"Yah, Bunda kayak yang nggak seneng aja di ajak pergi - pergi terus sama Ayah."
"Isshh.. kamu ini anak Bunda apa anak Ayah sih kok nggak pernah sejalan sama Bunda."
"Lha habisnya Bunda bilang capek ngikutin Ayah terus bukan nya emang Bunda suka ngintilin kemana aja Ayah pergi?" Kali ini aku yang gantian nyerocos.
"Ya udah Bunda capek mau berdebat sama kamu. Itu Ayah juga sudah manggil-manggil. Ingat! Pokoknya akhir pekan pulang! Dah, assalamualaikum"
""Ii.."
Belum sempat aku menjawab telepon sudah di tutup sepihak sama Bunda. Kebiasaan.
Sebenernya aku juga kasihan sama Bunda, dia pasti kesepian punya anak cuma satu dan malah milih tinggal terpisah. Jadi hiburannya selalu nempelin kemana Ayah pergi. Dan anehnya Ayah malah senang di tempelin Bunda yang udah kayak lintah kemana-mana. Romantis? Aku malah lebih berasa geli.
Bunyi pesan di WA grup beberapa kali bersahutan. Tapi aku nggak ada minat untuk sekedar mengintip apa saja yang di bahas di group-group itu. Merebahkan diri di ranjang dan berguling-guling lebih menyenangkan, kebiasaan burukku sebelum tidur yang nggak jarang buat aku sampai terjatuh ke lantai. Untung lantainya aku lapisi karpet bulu tebal jadi nggak benjol kepala.
Rasa kantuk mulai menyerang aku yang perutnya sudah kenyang, aroma bantal seperti bau aromatherapy penghantar tidur untuk menjemput mimpi. Nggak sampai sepuluh menit mataku rasanya seperti di lem dan akupun mulai terbuai. Ah Senin yang melelahkan telah terlewati.