Chereads / Bosku Mantan Gebetanku / Chapter 7 - Bos Baru

Chapter 7 - Bos Baru

Ya Allah ini nggak mungkin, jangan bilang pemilik suara itu orang yang sama yang aku kenal.

"Kalau gitu kita bareng saja Bu." lagi suara itu nyata.

Aku masih menunduk dan belum mengubah posisiku yang masih menghadap brangkas.

"Lho emang searah Pak?" suara Mbak Rere membuatku kaget.

"Kebetulan hotelnya kita sama."

Mbak Lita yang masih duduk di kursinya menyengol lenganku. Aku hanya bisa membalasnya dengan tersenyum canggung.

"Ini sudah mau pulang ya?"tanya suara itu lagi.

"Iya Pak. Cuma tadi tinggal nungguin Luna saja setoran."

Karena posisiku yang masih membelakangi mereka jadi wajahku jelas masih tidak terlihat. Apalagi rambutku yang terlepas dari ikatannya jelas menutupi mukaku.

"Lho iya Lun, kan kamu belum kenalan sama Bapak." celetuk Mbak Rere yang jelas membunuhku. Astaga, ini benar-benar kiamat.

"Lun, " panggilnya setelah tidak ada respon dariku.

"Eh, i.. iya Mbak."

Bismillah anggap saja sedang berhadapan dengan hantu, aku bacakan saja ayat kursi supaya cepat hilang. Tangganku ternyata gemetar bagaimana ini bisa coba.

"Itu Luna Pak, yang jadi admin all in one.";

"Admin all in one?" guman laki-laki itu.

Mbak Lita dan Indah mulai bangkit dari tempat duduknya dilihat dari gelagatnya jelas mereka mau cabut. Oh, Tuhan aku harus gimana ini. Baiklah salaman terus kabur sajalah. Ayo Luna kamu pasti bisa. Berlagak saja kayak orang nggak kenal.

Aku mulai menghitung dalam hati, , satu, dua, ti.. tiga. Kubalikkan badanku dan segera menyalami pria itu sebelum dia menyadari wajahku.

"Aluna Pak." ku jabat tangannya dengan wajah yang menunduk dan segera ku tarik tanganku yang sialnya masih di gengam pria itu.

"Aluna. Saya Arga." Benar bukan. Aku dengan susah payah menelan ludahku. Pria ini. Kenapa setelah tujuh tahun berlalu takdir ini harus mempertemukan kami sebagai bos dan babu?

Aku bisa melihat ekspresi kaget di wajah itu, mungkin dia juga tidak menyangka Aluna karyawannya adalah Aluna yang sama dengan yang dia kenal.

"Ah, Iya Pak selamat bergabung di cabang ini Pak. Semoga,, semoga betah." kataku dengan segenap kekuatan yang aku miliki.

"Oh, iya tentu saja." jawabnya dengan seringai yang menyebalkan. Buru - buru aku menarik tanganku dari gengaman pria itu. Terlalu lama tidak baik untuk kesehatan jantung. Aku tidak ingin mati muda begitu saja.

Dengan sedikit tidak rela dia melepaskan tanganku, dan aku segera mundur mengambil tasku.

Mbak Rere yang melihat sikap anehku, mengawasiku dengan tajam.

"Kamu kenapa Lun kok pucat?"

Hah benarkah aku pucat? Nggak mungkin efek bertemu dengan orang di masa lalu bikin aku pucat.

"Eh, e,, nggak apa-apa mbak. cuma sakit perut aja." jawabku sekenanya.

"Ya udah langsung ke kamar mandi." perintahnya.

"Nggak apa-apa mbak sekalian pulang saja." ini memang hawa dinginnya berasal dari Ac apa gimana ya. Kok seperti ada yang dingin meniup tengkukku.

"Astagfirulloh... " gumamku yang tanpa sengaja melihat pria itu memperhatikanku dengan matanya yang tajam.

"Kamu kok aneh banget sih Lun? Kayak habis lihat hantu aja."

Mbak Rere kamu nggak tahu aku bukan melihat hantu ini bahkan lebih horor dari makhluk itu.

"Bu, udah boleh pulang kan?" Ya allah Mbak Lita, terima kasih kamu sudah menyelamatkan ku dari situasi yang seram ini.

"Lha kalau udah selesai ya pulang saja to." Bu Endah yang menjawab pertanyaan Mbak Lita.

"Hehehe,, kalau gitu saya pulang duluan ya Bu, Pak." begitu melihat Mbak Lita yang mulai berjalan keluar ruangan dengan Mbak Indah aku segera saja bergabung dengan mereka.

"Bu, aku pulang ya." pamitku ke Bu Yeni yang di ikuti tatapan aneh dari si bos baru. Biarlah terserah. Yang penting hari ini aku harus selamat dulu. Besok.. Besok biar aku pikirin lagi.

Mungkin tingkah ku sangat kekanakan. Tapi jujur aku nggak pernah dan nggak sedikitpun terlintas di pikiranku bakalan ngalamin hal kayak gini. Ini benar - benar diluar dugaanku.

Dengan setengah berlari aku segera melakukan absensi dan bergegas kearah maticku. Tak ku pedulikan ekspresi Mbak Lita yang aku lewati begitu saja.

Kuhidupkan segera motorku, memasang helm dan mulai mengendarainya dengan tergesa. Bahkan saking paniknya aku hampir menabrak pagar yang setengah terbuka.

Teriakan orang - orang di halaman parkir akhirnya mengembalikan kesadaranku. Menghembuskan napas dengan berat mencoba mencari ketenangan dan mengumpulkan kekuatan.

"Lun, kamu kenapa sih? Nggak usah buru-buru gitu. Itu barusan udah mau nabrak pagar juga. Perutmu apa sakit banget?"

Perut. Kenapa Mbak Rere malah nanyain perut? Oh, lupa. Tadi kan aku bilang kalau perutku sakit.

"I..iya mbak Re. Perutku sakit." jawabku dengan wajah sesendu mungkin.

"Tapi hati-hati nggak usah ngebut gitu. Tak anterin ta?" aku langsung mengelengkan kepala menolak tawarannya.

"Yakin nggak apa-apa kamu? Beneran bisa?"

"Iya aku nggak apa-apa. Aku jalan dulu ya mbak." pamitku

"Ya wes ati-ati."

Tanpa basa basi langsung ku geber motorku mengarungi keramaian jalanan. Pulang adalah tujuan utama sekarang. Meskipun entah apa yang akan ku lakukan setelahnya.

*****************. ****. ***************

Aku memasuki apartemenku dengan lemas. Pertemuan yang tak pernah terlintas akan terjadi sungguh membuatku shock. Maharga Wiranata, bagaimana bisa aku harus kembali bertemu dengan pria itu.

Ini dunia nyata bukan sinetron apalagi drakor tapi ... ah entahlah.

Ku rebahkan badanku di ranjang, rasa sakit akan kisah masa lalu itu mau tak mau kembali membayang.

Deretan kejadian demi kejadian seperti melemparkanku pada rasa sakit yang tak berkesudahan. Tak terasa air mataku sudah mulai menetes. Sungguh aku benci diriku yang lemah.

Suara getar dari ponselku membuatku menghentikan kesedihanku.

"Ya, hallo.."

"Ini aku Sila." aneh. padahal aku juga tahu ini dia tapi masih saja memberi tahukan dirinya sendiri

"Iya kenapa Sil?" jawabku

"Nggak ada aku cuma mau kasih tau aja kalau si sombong Arga ada di kota ini. Semoga kamu nggak ketemu deh."

Klik. Panggilan di tutup. Seperti biasanya.

Kamu terlambat Sil. Infomu telat. Aku sudah bertemu orang itu. Dan parahnya lagi sekarang dia jadi bosku. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hari hariku ke depan.

Apa aku resign saja ya? Tapi apa nggak kelihatan kalau aku pengecut. Dia pasti akan nertawain aku seperti dulu. Berhenti kerja sepertinya bukan pilihan tepat. Aku jelas tak ingin tampak seperti pecundang yang kalah perang.

Yang harus aku lakuin adalah bersikap biasa saja. Seperti orang yang nggak kenal. Dan cuek, anggap aja keberadaannya bukan sesuatu hal yang patut di takutkan dan di hindari.

Yupz iti sepertinya keputusan yang tepat. Bekerja dan bersikap seperti biasa. Selama dia nggak mengusik dan menganggu apalagi cari masalah aku harus tetap bersikap layaknya orang tak kenal dan acuh.