2018.
Akhirnya, aku dan istriku menginjakan kaki di Kalimantan. Tanah harapan dan impian, setelah bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan di tanah kelahiranku, di Gunung Kidul, Yogyakarta.
"Amplop ini serahkan dengan Pak Kasno ya. Dia akan mengurus segala keperluan di sana. Ingat.. enam bulan lagi prajabatan di provinsi.
Nanti akan ada surat pemanggilan. Kamu akan berangkat bersama-sama CPNS lainnya. Nanti akan dilepas langsung oleh Pak Bupati"
"Inggih pak, Terima kasih banyak. Akan saya sampaikan salam bapak buat Pak Kasno".
Aku kemudian menyimpan amplop dari lelaki setengah baya tersebut ke dalam tas punggung yang kubawa. Aku sisipkan diantara berkas-berkas lainnya, yang disatukan dalam wadah plastik khusus untuk menyimpan berkas.
Setelah keluar ruangan, beberapa orang lainnya kemudian masuk ke ruangan tersebut. Sama seperti diriku, mereka adalah CPNS yang akan ditugaskan ke sekolah masing-masing, sebelum nantinya secara resmi dikukuhkan sebagai abdi negara.
Aku kemudian segera pergi dari gedung dinas Pendidikan Barito Utara, menggunakan tukang ojek menuju penginapan dimana istriku telah menunggu.
***
Setiba di penginapan, aku segera bergegas menuju kamar kami yang ada di lantai dua. Istriku masih tertidur pulas setelah menempuh perjalanan darat selama 10 jam dari Banjarmasin.
Wajahnya teduh, khas wajah wanita Jawa yang hitam manis.
Sebenarnya aku ingin dia tinggal dulu bersama mertuaku di Jawa, menanti hingga aku resmi dilantik sebagai PNS. Namun ia bersikeras, takut aku kepincut gadis Dayak dan menghilang tanpa kabar katanya. Apalagi omongan tetangga yang mengatakan bahwa tanah Kalimantan penuh hal mistis, dibumbui cerita tentang banyaknya orang Jawa yang tidak bisa pulang setelah menikah dengan orang Dayak, membuat istriku semakin memaksa untuk ikut.
Orang tuaku juga sempat melarang, takut peristiwa yang menimpa mas Tarno, tetangga kami, juga terjadi padaku.
Aku masih teringat peristiwa beberapa tahun lalu. Saat mas Tarno baru sampai di halaman rumah, ibunya langsung teriak histeris dan memeluknya dengan isakan tangis. Saudaranya yang lain juga berhamburan menyambut mas Tarno, karena mengira ia telah meninggal dunia di tanah perantauan.
Sehari setelah kedatangannya, keluarga mas Tarno langsung mengadakan malam syukuran atas kepulangannya. Setelah Isya, Aku dan para tetangga lainnya turut hadir, sekaligus penasaran dengan cerita mas Tarno selama bekerja di Kalimantan. Rumah orang tua mas Tarno yang kecil, penuh warga yang duduk berdesakan. Kami ingin mendengar langsung tentang pengalamannya selama di Kalimantan. Apalagi, baru sehari tiba di kampung halaman, sudah beredar kabar bahwa mas Tarno seharusnya sudah mati, tapi dihidupkan lagi oleh orang Dayak.
Aku dan Herman, sengaja memilih duduk agak dekat dengan mas Tarno. Siapa tahu, ada informasi menarik yang bisa kami dapatkan, misalnya informasi tentang lowongan pekerjaaan.
" Bim, kamu lihat gak? Di leher mas Tarno ada bekas luka tebasan. Pasti dia bikin ulah dengan orang Dayak" tanya Herman yang duduk di sampingku.
Aku yang sedari tadi sibuk mainan Hp, segera mengalihkan perhatian dan memandang bagian leher mas Tarno. Benar juga, di bagian lehernya terdapat bekas luka memanjang.
"Sstt... Jangan keras-keras, nanti didengar mas Tarno atau keluarganya ga enak.." kataku sambil berbisik pada Herman.
Mas Tarno memang dikenal sebagai pemuda yang pemberani di kampungku. Meski tidak pernah bersikap sok preman, namun ia tak takut untuk menghajar apabila ada pemuda atau warga yang berlagak sok jagoan. Ditambah lagi, ia salah seorang pelatih silat sebuah perguruan yang berasal dari Madiun, sehingga ia memiliki banyak murid yang siap membantunya bila terlibat perkelahian. Bahkan, banyak murid perguruannya yang berasal dari beberapa kampung sebelah, sehingga namanya semakin disegani.
Usai Pak Ustad membacakan doa, giliran Pak Kades memberikan sambutan. Kemudian, tibalah giliran mas Tarno diminta menceritakan tentang pengalamannya selama di Kalimantan.
" Kalian lihat luka bekas tebasan di leher saya ini? Leher saya hampir putus ditebas orang Dayak. Waktu itu saya kira saya akan mati di tanah perantauan, di tengah hutan. Tapi Alhamdulillah, Allah masih mengijinkan saya hidup sampai sekarang".
Wargapun tiba-tiba hening saat mas Tarno memulai ceritanya, terhanyut akan suasana.
" Suatu ketika, saya memeriksa kebun karet milik perusahaan tempat saya bekerja. Biasanya tugas seperti itu kami lakukan 2 hingga 3 orang. Namun entah kenapa, 2 orang teman saya tidak bisa datang sehingga saya nekat berangkat sendirian. Untuk jaga-jaga, aku membawa mandau, senjatanya orang Dayak. "
" Nah... Saat sudah di kebun yang berada di tengah hutan, saya bertemu dengan seorang warga lokal. Sepertinya waktu itu dia sedang berburu, sebab dia tidak hanya membawa mandau, tapi juga sumpit dan memakai tas punggung terbuat dari anyaman rotan."
Mas Tarno lalu menyeruput kopi dan menghisap rokok, kemudian melanjutkan ceritanya.
" waktu itu kami saling bertatap mata. Mungkin karena merasa jumawa, aku tidak takut sedikitpun saat itu. Toh aku sudah sering berkelahi juga di kampung halaman, satu orang Dayak bukanlah masalah pikirku. Hanya saja, aku terbiasa berkelahi tangan kosong, tidak pernah berniat untuk mencabut nyawa orang"
Mas Tarno kemudian menghela nafas, mengumpulkan serpihan-serpihan memori yang bisa diingatnya tentang peristiwa tersebut
"Yang aku tidak sangka, kalau orang Dayak berkelahi maka niatnya sudah pasti ingin membunuh. Bukan hanya sekedar menghajar agar musuhnya jera."
"Mungkin saja, waktu itu dia ingin menjajal kemampuanku, sebab sepertinya dia tahu kalau aku bawa bekal ke Kalimantan. Saat sudah hampir berpapasan, tiba-tiba saja mandaunya sudah menebas leherku. Aku yang tidak siap dapat serangan tiba-tiba, langsung saja kabur ke arah sungai"
"Aku ingat sekali, baju yang kupakai sudah bermandikan darah. Orang Dayak itu tidak mengejar, tapi mengarahkan sumpitnya. Beruntunglah, belum sempat ia meniup sumpitnya aku sudah terjun ke sungai Barito"
"Setelah terbawa arus, Aku lalu diselamatkan warga yang menjala ikan. Aku kemudian dibawa ke kampung dan diobati oleh tetua adat, orang Dayak menyebutnya mantir. Leherku yang luka diolesi minyak yang disebut minyak bintang. Kata Pak Mantir, kalau malam ini terlihat bintang, maka aku masih bisa selamat. Tapi kalau tidak ada bintang, maka aku akan meninggal. Alhamdulillah, malam itu ada bintang terlihat, sehingga aku masih selamat. Sepertinya Allah masih ingin aku panjang umur. Kalau tidak, mungkin aku sudah meninggal di tanah orang"
" Wah...pasti mas Tarno menggoda istri orang, makanya ditebas orang Dayak" celetuk Pak Kades sehingga semua yang hadir tertawa.
"Itu gimana rasanya mas, waktu dikasih minyak bintang. Apa urat-uratnya nyambung lagi atau gimana? " Tanya salah seorang warga yang penasaran.
"Waktu itu saya sudah gak sadar lagi mas, antara hidup dan mati. Saya hanya pasrah. Saya ditaroh di luar rumah biar terkena cahaya bintang.
Rasanya sakit sekali saat urat-urat leher dan daging saya kembali menyambung. Kretek...kretek...kretek...bunyi yang saya dengar saat urat-urat leher saya kembali menyatu"
"Wah...benar juga ya, orang Dayak itu sakti...yang katanya bisa jalan di atas air, atau mandau terbang itu benar gak mas?" Tanya Pak Kades lagi.
"Kalau itu saya gak pernah ketemu Pak. Sebenarnya orang Dayak ya sama seperti kita juga. Asal ga diganggu, mereka juga gak akan ganggu kita"
"Yang penting, kita berprilaku sopan di kampung orang. Gak usah petantang petenteng, nanti kayak saya. Merasa jagoan, merasa punya ilmu, malah hampir mati di tanah orang. Hahaha..."
Melihat mas Tarno tertawa, warga lain pun otomatis ikut tertawa. Setelah mulai reda, aku memberanikan diri untuk bertanya.
" Nuwun sewu mas Tarno...jenengan kan udah 14 tahun gak pulang kampung. Itu kenapa mas? Apa benar mas Tarno dipelet orang Dayak?"
Mas Tarno kemudian menoleh kearahku. Jujur, saat itu aku kaget, takut dia marah atau tersinggung. Tapi kemudian senyum mengembang di wajahnya, sehingga akupun kembali tenang.
"Maaf nggih, adek ini sinten ya? Maklum...saya sudah lama gak pulang kampung. Jadi agak lupa sama tetangga"
"Saya Bimo mas...anaknya Pak Supri" ujarku sambil menunjuk dengan jempol ke arah ayahku yang duduk beberapa jarak di samping Pak Kades.
Ayahku lalu mengangguk kepada mas Tarno.
"Owalah...si Bimo,udah gede toh le..dulu masih SD, sekarang udah besar. Sebentar lagi punya istri, atau malah sudah punya anak, hehehe..."
"Belum mas... Baru lulus kuliah. Sekarang masih cari kerja yang layak"
"Iya...iya.. " mas Tarno tampak mengangguk angguk.
"Sebenarnya,setelah setahun pertama di Kalimantan saya sudah berniat pulang"
Mas Tarno lalu menghentikan kalimatnya, kembali menyalakan rokok lalu menyeruput kopi. Warga kembali hening, antusias mendengar cerita mas Tarno.
"Apalagi, baru beberapa bulan di Kalimantan saya sudah hampir kehilangan nyawa. Saya takut jika saya diserang lagi. Tapi Alhamdulillah, setelah itu saya gak pernah punya masalah lagi di Kalimantan"
"Namun anehnya, setiap kali saya ingin pulang, tiba-tiba saja saya sakit. Entah demam, entah terluka saat bekerja, yang mengharuskan saya harus dirawat beberapa hari di klinik perusahaan "
"Saya bahkan beberapa kali sudah tiba di pelabuhan Trisakti Banjarmasin. Hanya tinggal menaiki tangga kapal, saya tiba-tiba tanpa sadar langsung kembali ke daerah pedalaman Barito. Begitu sadar, saya sudah berada di mess karyawan. Begitu pula saat tiba di bandara, saya pasti kembali tanpa sadar ke mess perusahaan"
Warga kembali hening. Terdiam. Seakaan takut peristiwa yang dialami mas Tarno juga menimpa mereka atau keluarga mereka yang di Kalimantan.
"Kenapa gak pernah kirim kabar mas? Kan ada Hp atau Facebook?" Tanya salah seorang warga.
"Itulah masalahnya mas. Tempat saya bekerja tidak ada sinyal. Sinyal hanya ada di kecamatan. Jaraknya lumayan jauh. Sekitar 2 jam. Begitu sampai kecamatan, saya selalu lupa menghubungi keluarga. Sepertinya ada yang sengaja menghalangi saya kasih kabar buat keluarga di kampung"
"Terus...akhirnya bisa pulang kampung itu bagaimana ceritanya mas? " Tanya Pak Kades lagi.
"Kata kawan saya yang orang Dayak, saya kemungkinan kena palarangan. Guna-guna orang Dayak. Saya lalu berobat ke orang pintar, juga beberapa ustad di Martapura. Tapi gak juga berhasil. Saya baru terbebas setelah dimandikan oleh orang Dayak Maanyan. Kata beliau, saya kepuhunan"
"Kepuhunan...? Apa itu mas? " Aku kembali bertanya penuh penasaran.