"Sudah selesai mas?" Pertanyaan istriku membuyarkan segala ingatanku tentang mas Tarno.
"Alhamdulillah... Sudah selesai. Tinggal berangkat aja ke tempat tugas"
Aku meletakan tas punggungku di sebelah lemari, lalu berganti baju dengan T-shirt.
" kira-kira kapan mas kita berangkat?"
"Nanti subuh, jam 2."
"Hah...!?" Istriku kaget mendengar jawabanku barusan.
"Kenapa gak besok pagi aja mas? Atau siang sekalian? "
"Kata tukang ojek tadi, desa tempatku bertugas cukup terpencil. Hanya bisa ditempuh lewat jalur sungai. Perahu motor yang menuju ke sana hanya ada di ibu kota kecamatan, dan mereka adanya cuman pagi. Kalau tidak, kita terpaksa menunggu sehari lagi. Jadi, kita harus sudah ada di ibu kota kecamatan saat pagi. Makanya kita harus berangkat subuh, sebab ibu kota kecamatan lumayan jauh dari sini. Sekitar dua jam."
Istriku menghela nafas, terlihat agak kesal. Rupanya rasa lelahnya masih belum hilang. Namun apa boleh buat, inilah resiko yang harus kami tempuh bila ingin memperbaiki nasib.
Aku mendekati istriku yang duduk di pinggir ranjang, mengelus rambutnya lalu mencium keningnya.
"Kita cari makan aja yuk..aku lapar."
Istriku tersenyum mendengar ajakanku.
"Yuk mas...aku juga lapar. Sekalian ingin merasakan kuliner kalimantan. Tunggu sebentar ya, aku pasang jilbab dulu."
"Aku tunggu di depan penginapan ya. Sekalian mau ngerokok."
"Iya..."
Aku sengaja memilih menunggu di depan penginapan, karena istriku untuk urusan memakai jilbab saja bisa hampir satu jam.
Aku duduk di salah satu kursi panjang yang ada di depan penginapan. Menikmati rokok dan kopi dingin botolan yang di jual di lemari pendingin.
Di depanku, membentang sungai Barito yang begitu megah. Sungai-sungai di Jawa seolah tidak ada artinya dibandingkan lebarnya sungai ini. Saya perkirakan, lebarnya 5 kali lapangan sepak bola. Mungkin juga lebih.
Kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara, perahu dan speed boat terlihat lalu lalang.
Di pinggirnya, terdapat taman yang luas yang tertata rapi, sehingga membuat pemandangan dari tepian Barito sungguh indah. Mungkin karena masih siang dan cuaca sedang terik, tidak ada seorangpun di situ.
Jujur, aku malu pada diriku sendiri.
Ternyata Kalimantan tidak semengerikan yang kubayangkan. Dulu, Kalimantan yang kubayangkan hanyalah hutan, daerah tertinggal, dan hal-hal mistis. Kini aku sadar, berbagai stereotip tentang Kalimantan hanya kudapatkan dari televisi, koran maupun internet.
Berbagai informasi tersebut ternyata juga mempengahuri orang tuaku dan mertuaku. Terutama ibuku. Aku ingat beberapa minggu lalu dia bersikeras agar membatalkan niatku untuk bekerja di Kalimantan, setelah aku dinyatakan lolos tes CPNS.
Sore itu, hanya ada aku, ibu dan ayah di rumah. Sementara istriku sedang memberi les tambahan kepada beberapa anak tetangga yang cukup kaya. Dua orang adikku, Bagus dan Irma, sudah kebiasaan mereka kalau sore hari bermain entah dimana, dan baru pulang menjelang magrib.
"Le... Apa gak bisa dibatalkan saja. Ibu khawatir. Nanti kamu seperti mas Tarno. Gak pulang bertahun-tahun. Bahkan saat ayahnya meninggal dia gak datang. "
Suara ibu parau, jelas sekali kalau dia cemas tentang nasibku dan istri bila nekat merantau ke Kalimantan. Cerita dari mas Tarno beberapa tahun lalu rupanya masih menghantui pikiran ibu.
"Gapapa Bu, cuman ini kesempatan saya memperbaiki nasib. Ibu tahu sendiri kan berapa gaji guru honorer. Itupun kadang telat. Ngasih les tambahan juga gak cukup. Saya tidak mungkin terus bergantung pada ayah dan ibu. Apalagi saya sekarang sudah punya istri."
Aku berusaha menjelaskan sebisanya pada ibuku, berharap dia memberikan restunya tentang keinginanku untuk merantau.
Ibu menoleh pada ayah, meminta dukungan.
Ayah yang sedari tadi hanya mendengarkan perbincangan kami, akhirnya mulai bicara.
"Bimo sudah dewasa bu, sudah beristri. Apalagi dia laki-laki, dia kepala keluarga. Kita sebagai orang tua sudah tidak berhak ikut campur urusannya. Siapa tahu, setelah di Kalimantan hidupnya berubah. Mungkin saja, rezekinya di seberang pulau." ujar ayahku panjang lebar.
Mendengar perkataan ayah, ibuku langsung merengut. "Huh... Dasar, ayah dan anak sama saja. Ini pasti gara-gara si Sri, menantu kesayanganmu. Sejak dia ada di rumah, kalian selalu menentang aku"
"Ibu..! Istriku gak ada sangkut pautnya dengan keinginanku." Suaraku langsung meninggi mendengar ibu yang selalu berusaha menyalahkan istriku.
"Mas...kok melamun?" tepukan istriku di pundak membuat aku tersadar dari lamunan.
"Tadi habis video call sama Simbok juga Bapak. Kalau ayah lagi di luar. Sedangkan ibu, seperti biasa, cerewet. Makanya lama baru keluar kamar."
Simbok dan Bapak adalah panggilan istriku untuk orang tuanya. Sedangkan ayah dan ibu adalah panggilannya untuk orang tuaku, mengikuti kebiasaanku.
***
Aku dan istriku berjalan-jalan di sekitar penginapan untuk memilih salah satu warung makan yang kira-kira cocok dengan selera kami. Sepanjang jalan, istriku bercerita bahwa betapa cerewetnya ibuku yang meminta istriku untuk selalu memperhatikanku, mengingatkanku untuk makan dan sebagainya. Ibuku memang kadang berlebihan dalam mengurusku. Sudah beristripun, dia masih saja ikut campur urusanku. Sejak kecil, perhatian ibu memang selalu lebih besar kepadaku dibanding kedua adikku.
Setelah berjalan hampir 100 meter, akhirnya pilihan kami jatuh pada salah satu rumah makan yang agak ramai pengunjung. Kami berdua sama-sama memilih lauk ikan sungai. Aku memilih ikan Lais bakar sedangkan istriku memilih ikan Baung bakar. Untuk sayur, kami mencoba merasakan rotan rebus dan juga kulit cempedak gorek, dengan sambal daging durian goreng yang disebut Tampuyak.
Istriku kembali bercerita betapa senangnya bisa terbebas dari mertua cerewet seperti ibuku. Aku hanya mendengarkan segala curhatnya, dan sesekali menasehari bila sudah berlebihan.
Beberapa saat kemudian, dua orang pelayan mengantarkan pesanan kami. Ikan bakarnya memang enak,tapi untuk sayur rasanya masih asing dengan lidah kami. Demikian juga sambalnya. Untung saja, di meja juga tersedia sambal biasa.
"Tadi aku sudah ketemu dengan orang yang bisa mengantarkan kita ke ibu kota kecamatan. Saudaranya tukang ojek yang antar jemput saya ke Dinas Pendidikan tadi pagi. Nanti, kita akan dijemput di penginapan jam 2 subuh."
"Ongkosnya berapa mas?" tanya istriku.
"Lumayan mahal. Tapi mau gimana lagi, kita gak ada pilihan lain"
Usai dari warung makan, aku dan istri jalan-jalan sebentar di sekitar penginapan, menikmati pemandangan di tepian sungai Barito. Lalu istriku mengajakku berhenti di salah satu toko yang menjual cinderamata khas Dayak. Istriku membeli dua gelang yang terbuat dari anyaman rotan, serta beberapa gantungan kunci model perisai dan mandau, lalu kami kembali ke penginapan.
***
Pukul setengah 2 malam, aku terbangun dari tidur. Dari tadi tidurku memang tak nyenyak. Aku gelisah memikirkan tentang perjalanan nanti ke tempat tugas. Ada rasa bahagia juga bercampur keraguan. Bahagia karena masa depanku cerah, dalam 6 bulan kedepan aku akan resmi dinyatakan sebagai PNS. Namun juga ragu, karena tempatku bertugas sebagai guru berada jauh di pelosok Kalimantan yang terisolir dan jauh dari peradaban. Aku tidak mengenal siapa-siapa, juga adat istiadatnya. Bahkan, warga lokal saja tidak berminat mengisi formasi CPNS di tempat itu.
Kutatap wajah istriku yang tertidur pulas di sampingku. Salah satu alasannya memaksa ikut, karena tidak betah dengan sikap ibuku. Entah kenapa, ibuku selalu berusaha mencari-cari kesalahan istriku. Apalagi setelah lebih dari 3 tahun menikah, kami belum diberikan momongan. Lengkaplah kalimat tidak enak yang keluar dari mulut ibu kepada istriku.
"Mas...kalau aku tinggal di tempat orang tuaku selama mas di Kalimantan, nanti omongan ibu semakin macam-macam. Nanti dibilangin istri tidak taat suami. Aku capek mas dengar celotehan ibu." ucap istriku beberapa waktu lalu, sewaktu kami belum berangkat ke Kalimantan.
Aku membuka jendela agar angin segar masuk ke dalam kamar. AC yang tidak menyala sempurna membuat kamar terasa cukup pengap.
Membuang kejenuhan, aku menyulut rokok dan menyalakan televisi. Baru seperempat batang, panggilan telpon di whattapp ku berbunyi. Tertera nama Junai, sopir yang akan mengantarkan kami ke Ibu Kota Kecamatan.
" Mas Bimo...ini Junai mas, sopir yang tadi siang ketemu. Saya udah di depan penginapan. Gimana ? Udah siap?"
"Oh iya mas...sebentar ya, kami siap-siap dulu. Tunggu aja di depan. Sebentar lagi kami turun."
Setelah mematikan sambungan telpon aku membangunkan istriku. Setengah sadar, dia mengucek-ngucek matanya sambil menguap. Istriku menanyakan ulang apa yang aku ucapkan, setelah mendengar jawaban ia segera bangun dan menuju kamar mandi untuk cuci muka.
Keluar dari kamar mandi, istriku lalu mengenakan jilbabnya. Dia lalu memasukan peralatan mandi yang dibungkus kresek hitam ke dalam tas punggungnya. Setelah itu, dia memasukan beberapa snack untuk bekal perjalanan ke dalam tas kresek hitam. Snack itu terdiri dari dua botol aqua ukuran sedang, beberapa roti basah dan kering, kacang telur dan taro, serta beberapa biji telur asin kegemaranku.
Selesai berkemas, kami kemudian segera menuruni tangga penginapan. Masing-masing dari kami membawa satu tas punggung dan satu koper besar berisi pakaian.
Setelah selesai urusan check out di resepsionis, kami berdua segera keluar penginapan.
Di depan penginapan telah terparkir mobil Hilux double cabin. Di bagian bak, penuh muatan yang ditutup terpal berwarna biru.
Melihat kami berdua keluar dari pintu penginapan, Bang Junai langsung menyambut kami dengan senyuman. Beberapa meter di belakangnya, berdiri seorang pria yang wajahnya seperti ku kenal. Sambil menghisap rokoknya, pria itu menatapku penuh selidik, lalu mendekat.
" Loh...mas Tarno !? " tanyaku kaget.
Tanpa kusadari, perjumpaan dengan mas Tarno adalah awal dari petaka yang segera menimpaku dan istri di tanah Kalimantan.