Benturan tadi membuat mobil kami oleng ke kiri dan ke kanan. Jalan tanah yang berlapis pasir dan kerikil membuat mobil semakin tidak bisa dikendalikan.
Istriku terus menjerit histeris sambil menangis. Aku berusaha menjangkau istriku, namun laju mobil yang liar membuat aku terpaksa berpegangan dengan apa saja yang bisa kugapai.
Bang Junai berusaha mengendalikan laju mobil. Namun sia-sia, mobil kami telah keluar dari badan jalan dan meluncur kearah jurang.
Aku pasrah, ajal kami telah tiba.
.Braaakkkk.
Kembali terdengar suara benturan, tapi kali ini suaranya berasal dari samping kiri. Mobil seketika berhenti, raungan suara mesin menggema di tengah kegelapan.
Kami semua terdiam, bungkam di kursi masing-masing. Tubuhku kembali kaku tidak bisa digerakan, tangganku bergetar tanpa terkendali.
Suara nafas yang memburu terdengar di sampingku. Kuperhatikan, istriku menggigit bibirnya. Air mata mengalir di kiri kanan batang hidungnya.
"Semua keluar..." suara Bang Junai kembali menyadarkan kami. Akupun sudah mulai menguasai keadaan. Tanganku yang masih bergetar meraih gagang pintu mobil yang dingin. Kami semua keluar dari pintu sisi kanan.
Setelah menginjakan kaki di tanah, kubantu istriku keluar dari mobil secara perlahan. Begitu kedua kakinya sudah berada di atas tanah, tubuhnya langsung lemas. Segera kuraih badannya agar tidak jatuh, mas Tarno juga sigap membantu. Kami papah tubuhnya beberapa meter agak menjauh dari mobil, dan mendudukannya dia atas tanah yang ditumbuhi rerumputan.
"Kalian tidak apa-apa?" Bang Junai bertanya sambil menyodorkan satu botol air mineral. Air itu lalu kuminumkan pada istriku yang masih shock.
"Tidak apa-apa bang, hanya sedikit shock." Ujarku dengan nafas tersengal-sengal.
Headlamp terpasang di kepala Bang Junai, cahayanya yang terang menembus pekatnya kabut belantara.
Satu headlamp diserahkan pada Mas Tarno yang sudah berdiri di sampingku, satu buah senter ia serahkan padaku.
"Kalian tenangkan diri saja, kami mau memeriksa mobil dulu." Ucap masTarno, lalu mereka berdua mulai memeriksa keadaan mobil. Mesin mobil dimatikan, hanya lampu depan dan belakang yang terus menyala.
Istriku merangkul erat pinggangku. Ia terus menangis tanpa suara. Sesekali, tubuhnya bergoncang karena sesenggukan. Aku mencoba menangkannya, mengelus-mengelus bagian belakang kepalanya yang tertutup jilbab.
Langit masih gelap, hanya ada cahaya bintang yang bertebaran. Disini, di jalan yang berada di tengah belantara, kami terdampar jauh dari peradaban manusia. Angin bertiup dari arah hutan, menggerakan dedaunan dan juga belukar. Di padang gelap seperti ini, pepohonan bisa terlihat seperti sosok hitam yang mengerikan.
Suara jangkrik bersahutan, diiringi suara burung hantu dan binatang malam lainnya. Bayangan setan kepala dengan bayi di mulutnya tadi, membuat bulu kudukku merinding.
Aku berusaha menghilangkan pikiran-pikiran yang membuatku takut.
Namun, semakin coba dihilangkan justru pikiran itu terasa semakin menjadi-jadi.
Aku menyalakan rokok, mencoba menghilangkan rasa takut, sekaligus menenangkan diri atas kecelakaan yang hampir saja merenggut nyawa kami.
Udara terasa dingin, namun aku dan istri justru bermandikan keringat. Keringat juga membasahi tubuh mas Tarno dan Bang Junai yang tengah mengotak-atik mobil.
brum...brum
Suara mesin mobil kembali menyala, meraung-raung di tengah belantara.
"Bimo...!" Mas Tarno memanggil namaku, melambaikan tangan, memberi kode agar kami segera mendekat.
Aku dan istri lalu berdiri dan melangkahkan kaki ke arah Mas Tarno dan Bang Junai.
"Mobil aman. Hanya penyok sedikit di sebelah kiri. Kamu bantu Tarno mendorong mobil ya, agar bisa kembali ke badan jalan." Pinta Bang Junai.
Aku mematikan rokok dengan menginjaknya di tanah, dan menyerahkan senter pada istriku.
Aku segera bergeser ke samping mas Tarno di belakang mobil. Sedangkan Bang Junai sudah duduk di kursi sopir.
Istriku berdiri satu meter di belakang kami, membantu memberi cahaya kepadaku dan mas Tarno dengan senter yang dipegangnya.
Cahaya senter dari istriku mengenai sebuah pohon yang ada di samping mobil. Rupanya, mobil kami tertahan oleh pohon sawit yang besar. Suara keras di bagian samping tadi adalah suara benturan badan mobil dengan pohon sawit ini.
Beberapa langkah di sampingnya menganga jurang yang sanga besar. Karena hari masih gelap, dasar jurang itupun tidak terlihat.
"Untung saja ada pohon sawit ini, kalau tidak, entah bagaimana nasib kita." ujar Mas Tarno.
Bulu-bulu di tangan dan tengkukku langsung merinding, membayangkan betapa ngerinya kalau saja mobil kami tadi tidak terhalang pohon sawit. Mobil kami pasti sudah jatuh berguling-guling kedalam jurang di tengah hutan. Kalau itu terjadi, bisa saja tidak ada seorangpun yang menyadari tentang peristiwa kecelakaan kami.
"Untung saja, kita tidak kepuhunan." lanjut mas Tarno. Walau tidak mengerti yang dikatakannya, aku mengangguk tanda setuju.
"Iya mas." balasku.
Mendengar aba-aba dari Bang Junai, aku dan mas Tarno mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong mobil. Suara mesin terus meraung-raung, dan ban mobil berputar sangat cepat. Tapi, mobil tetap saja tidak mau bergeser dari tempatnya.
Sudah hampir 20 menit, namun usaha kami tetap sia-sia. Istriku juga turut membantu, tapi tetap percuma. Tenaga kami sudah hampir habis, keringat terus keluar, namun mobil tetap tidak bergerak barang satu senti. Padahal, lubang yang menenggelamkan ban belakang sebelah kanan, tidak begitu dalam. Tidak lebih dari seperempat ban.
"Istirahat sebentar ! "ucap Mas Tarno sambil berteriak kepada Bang Junai.
Istriku menyerahkan sebotol air mineral yang diletakkan di tanah dekat mobil kepada mas Tarno. Mas Tarno langsung menenggak air itu hingga tumpah-tumpah di mulutnya.
Istriku lalu bergegas kedalam mobil, mengambil dua botol air mineral yang tadi kami bawa, lalu menyerahkan satu botol kepadaku.
Setelah mematikan mesin, Bang Junai turun dari mobil, menghampiri kami di bagian belakang lalu menyalakan rokok. Hanya lampu depan dan belakang dibiarkan tetap menyala.
"Aneh sekali, padahal lubangnya gak terlalu dalam tapi kok bisa amblas seperti ini." Bang Junai menghela nafas, lalu kembali menghisap rokoknya. Tubuhnya bersandar pada badan mobil, beberapa langkah di samping mas Tarno yang juga bersandar.
"Mungkin ada yang ikut." Ucap Mas Tarno.
"Hushh...jangan macam-macam. Kita ini di tengah hutan." balas Bang Junai.
Kami lalu tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Mungkin karena iseng, istriku mengarahkan senter ke segala penjuru. Cahayanya mengarah ke pepohonan di kiri kanan jalan, lalu ke semak belukar, lalu kembali lagi ke pepohonan.
" Sudah...kamu itu penakut. Nanti malah melihat yang bukan-bukan, malah repot." tegurku pada istriku.
"Gapapa...daripada bete." ucap istriku kesal, mungkin jengkel dengan teguranku barusan.
Tiba-tiba, sorot cahaya senter istriku mengarah pada satu titik di semak belukar. Dia tertegun, hidungnya kembang kempis dan wajahnya pucat.
"Mas... Apa itu?" Dia menggigit bibirnya, sedangkan tangannya yang memegang senter terlihat gemetaran.
Aku langsung menoleh kearah belukar yang tersorot cahaya. Mas Tarno dan Bang Junai juga melakukan hal yang sama.
Namun, tidak terlihat apa-apa di sana. Sejenak, kami bernafas lega. Beberapa saat berlalu, terdengar suara krasak krasuk dari belukar. Bang Junai mengarahkan cahaya dari headlampnya untuk mencari sumber suara. Sorot cahaya itu bergerak ke kanan dan ke kiri, kadang ke belukar di seberang jalan. Pandangan kami mengikuti bulatan cahaya headlamp
dengan perasaan waswas. Di satu titik, sorot cahaya headlamp berhenti, sekitar 10 meter dari titik sorotan senter istriku tadi.
Belukar itu tampak bergoyang-goyang, pucuk-pucuknya membelah karena ada sesuatu yang bergerak disitu. Kini sudah jelas, suara krasak krasuk disebabkan gesekan sesuatu itu dengan belukar. Jarak kami dengan sesuatu di belukar itu hanya 100 meter.
Mas Tarno bergegas ke dalam mobil, lalu kembali lagi dengan dua buah mandau dan sebuah senapan angin.
"Sri...masuk ke dalam mobil!" perintah mas Tarno pada istriku. Tanpa banyak suara, istriku langsung masuk ke dalam mobil dengan panik.
Aku dan bang Junai kini masing-masing memegang mandau. Bang Junai mengikat mandau di pinggangnya, lalu menghunuskan bilahnya yang berwarna hitam mengkilat dengan tangan kanannya. Cahaya headlamp dari kepalanya tetap menyorot kearah belukar yang terus bergoyang.
Mas Tarno mengarahkan senapan angin ke arah belukar itu, siap menarik pelalatuknya sewaktu-waktu. Mungkin saja itu binatang buas, entah beruang atau ular.
Sedangkan aku, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan mandau ini. Tubuhku gemetaran, dan jantungku berdetak lebih kencang.
Sesuatu dari belukar itu mulai keluar ke badan jalan secara perlahan.
"Astagfirullahulazzim !" Bang Junai berteriak sangat kencang. Ternyata yang keluar dari belukar bukanlah binatang buas, tapi sebuah PETI MATI.