"Owalah...Kalian kok bisa nyasar ke Kalimantan sih?" mas Tarno juga tak kalah kaget begitu mengetahui bahwa orang yang dari ditunggunya adalah aku dan istri.
"Loh...kalian kok saling kenal?" Bang Junai mengernyitkan dahinya pada mas Tarno.
"Mereka ini tetanggaku satu kampung." ujar mas Tarno sembari menyurungkan tangan padaku dan istri bergantian.
"Ini istrimu Bim ? Wah cantik ternyata. Namamu siapa nduk?" mas Tarno bertanya pada istriku.
"Sriatun mas... Dulu satu kampus sama mas Bimo. Cuman beda jurusan." Istriku memperkenalkan diri sambil tersenyum, berusaha untuk ramah.
Mas Tarno memang tak mengenal istriku, karena pada saat pernikahan kami dia telah pergi entah kemana bersama anak dan istrinya. Setahun kepulangannya, mas Tarno menikah dengan mbak Ajeng, masih satu kampung dengan kami. Seingatku, mereka hanya pulang setahun sekali saat lebaran.
"Asal darimana ?"
"Magelang mas. Kaliangkrik." Jawab istriku.
"Oh iya..iya.. yaudah masukin barang kalian ke dalam mobil. Perjalanan kita masih panjang. Nanti masalah ongkos gampanglah...bisa di diskon. Iyakan Jun?" mas Tarno menoleh pada Bang Junai, meminta penegasan.
"Gampang lah, bisa diatur." Ujar bang Junai.
Mereka lalu membantu kami memasukan barang bawaan kami ke dalam mobil. Aku dan istri duduk di kursi belakang. Bang Junai bertindak sebagi sopir, sedangkan mas Tarno bertugas sebagai kernet.
Ada perasaan tenang dan bahagia, bertemu orang satu kampung di tanah perantauan. Perasaan yang tidak bisa dilukiskan, hanya orang-orang yang merantau yang bisa merasakannya.
Perlahan, mobil kami dengan bak belakang penuh muatan bergerak kearah luar kota.
Di samping jok kiri kanan mobil bagian depan, terselip masing-masing satu buah Mandau. Bagian gagangnya yang berhiaskan rambut, terlihat jelas olehku yang duduk di jok belakang.
Selain itu, juga ada sebuah senapan angin kaliber besar, cukup untuk membunuh seekor babi hutan.
"Buat jaga-jaga, soalnya kita lewat hutan." ucap Bang Junai, seolah tahu pertanyaan di kepalaku.
"Kalian kok bisa nyasar ke Kalimantan ini gimana ceritanya?" tanya mas Tarno.
Aku lalu menceritakan awal mula perjalananku dan istri hingga sampai ke sini. Berawal dari ikut tes CPNS akhir tahun lalu di Palangkaraya, ketidak setujuan ibuku, hingga akhirnya tiba di sini.
Kulihat istriku sudah tertidur. Kepalanya menyender pada jendela, sedangkan jaketnya iya jadikan selimut.
"Mbak Ajeng dan anak-anak juga di sini mas?"
"Iya Bim...kami masih tinggal di kontrakan. Kapan-kapan kalian main lah. Sesama satu kampung harus sering-sering silaturrahmi"
Malam semakin sepi, tidak ada satu kendaraan yang lewat. Obrolan semakin panjang, sesekali bang Junai juga ikut terlibat. Mobil kami mulai memasuki jembatan sungai Barito. Di plank jembatan bagian atas, tertulis ucapan Selamat Jalan dari Kota Muara Teweh.
"Setelah menikah, aku sempat buka warung bakso di Sleman. Namun tidak sampai setahun sudah bangkrut. Setelah itu aku merantau Surabaya dan Bandung, lalu kembali lagi ke sini. Istri dan anak-anakku juga kuboyong sekalian."
Mas Tarno lantas mulai menceritakan perjalanan hidupnya, sejak awal mula ia merantau hingga kembali lagi ke tanah perantauan. Ternyata Bang Junai adalah kawannya ketika masih bekerja di perusahaan dulu. Bang Junai lah orang yang dulu mendadak sakit, sewaktu mereka ditugaskan untuk memeriksa kebun karet milik perusahaan.
Setelah berhenti dari pekerjaannya, Bang Junai membeli mobil dengan uang pesangon yang ia dapat dari perusahaan. Mobil itu ia gunakan untuk membuka usaha jasa antar angkut muatan ke daerah pedalaman. Muatannya sebagian besar sembako, kadang juga BBM, sesekali ia juga membawa penumpang. Pelanggannya adalah para pedagang besar di pedalaman, namun lebih sering mengangkut pesanan perusahaan.
"Beginilah hidup Bim, kadang di atas kadang di bawah. Kalau Junai gak ngasih aku pekerjaan jadi kernetnya, keluargaku mungkin mati keparan."
"Hussh...kamu ini ngomong sembarangan. Pamali..!" Ujar Bang Junai. Mas Tarno hanya tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu.
Setelah melewati jembatan, mobil terus melaju melewati jalan beraspal yang naik turun dan berkelok-kelok. Rumah-rumah penduduk segera berganti dengan tanaman pohon sawit di kiri-kanan jalan.
Tikungan yang mendadak serta jalan yang tiba-tiba menanjak dan tiba-tiba menurun, membuat kepalaku pusing. Padahal, selama di Jawa aku tak pernah mabuk darat. Daripada muntah, aku pamit untuk tidur pada mas Tarno dan Bang Junai.
Jalanan beraspal berganti dengan tanah merah yang dilapisi kerikil. Pohon-pohon sawit di kiri kanan jalan sudah berganti dengan hutan belantara. Aku yang sudah tidak kuat lagi menahan kantuk lalu tertidur bersender pada jendela mobil.
***
Hentakan demi hentakan pada mobil, membuat aku terbangun dari tidur. Disebelahku, istriku masih terlelap berjaketkan selimut. Di bagian depan, Mas Tarno dan Bang Junai asyik mengobrol dalam bahasa Dayak. Aku kagum dengan mas Tarno, ternyata ia sudah menyatu dengan budaya setempat.
Karena pusingku belum hilang, aku masih menyender pada jendela mobil. Kuperhatikan pemandangan melalui jendela, hanya ada pohon-pohon besar yang terlihat seperti bayangan yang menakutkan karena langit masih gelap.
Akar-akar yang menggantung di pepohonan seperti tangan-tangan panjang yang melambai-lambai kearah kami.
Sedangkan belukar yang lebat di bagian bawah, bila terkena lampu mobil bagaikan sekelompok mahluk mirip manusia dengan posisi sedang jongkok namun dengan tubuh pucat, yang antusias memperhatikan mobil kami yang lewat di depan mereka.
Aku mencoba kembali memejamkan mata untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang hanya membuatku takut. Namun sekilas, aku melihat cahaya di antara pepohonan yang terbang seperti nyala bola api. Hanya sekejap, cahaya itu kemudian menghilang dibalik pepohonan.
"Ahh... Palingan hanya bintang jatuh atau meteor." batinku. Mobil terus melaju di tengah belantara hutan. Tiba-tiba berbelok saat menurun, lalu tiba-tiba menanjak lagi membuat aku malah semakin susah tidur.
Dan tiba-tiba saja, hanya beberapa meter di belakang kami, cahaya itu menyebrang menuju hutan di sebelah jalan. Jelas sekali itu bukanlah meteor atau bintang jatuh, tapi bola api.
Selama beberapa detik, aku hanya duduk mematung. Tidak percaya dengan yang baru kulihat. Sakit kepalaku rasanya tiba-tiba saja hilang karena kekagetanku.
Mas Tarno dan Bang Junai masih asyik mengobrol dan sesekali tertawa. Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran.
Setelah detak jantungku mulai teratur, aku berusaha memberitahu mas Tarno dan Bang Junai tentang yang kulihat barusan.
Namun belum sempat mengucapkan kata, bola api tadi kembali muncul di antara pepohonan. Bola api itu terbang seolah sengaja mengikuti mobil kami.
Bodohnya aku, tubuhku lagi-lagi tidak bisa bergerak. Mulutku tiba-tiba terkunci. Jantungku berdegub semakin kencang. Aku berusaha untuk memberitahu mas Tarno dan Bang Junai, tapi tak ada satu katapun yang keluar. Ternyata ketakutanku lebih besar daripada nyaliku.
Bola api itu semakin mendekat ke arah kami, dan kini hanya beberapa meter dari jendela mobil. Bukan, itu bukanlah bola api. Tapi itu adalah kepala manusia. Iya..jelas sekali itu adalah kepala manusia dengan isi perutnya. Nyala api tadi ternyata berasal dari jantungnya. Rambutnya terlihat acak-acakan dengan wajah yang tidak kalah menyeramkan. Matanya menatap tajam ke arahku.
Dua taring menyembul di celah bibirnya. Dan di mulutnya...
"Astagfirullahullazzim..." Aku hanya bisa berdoa dalam hati. Di mulutnya ternyata ada seorang bayi. Taring-taringnya yang tajam menancap di perut bayi malang yang sudah tak bernyawa itu, darah segar menetes dari perutnya.
Aku membaca ayat kursi dalam hati, namun bacaanku malah amburadul. Mahluk itu kemudian menyeringai, seperti sengaja memamerkan bayi tak berdosa yang di mulutnya, lalu kembali melesat ke dalam hutan.
Aku bernafas lega. Mahluk itu menghilang di balik gelapnya malam. Tubuhku kembali bisa digerakkan, meski degub jantungku belum normal. Meski AC mobil sangat dingin, namun tubuhku justru bermandikan keringat.
Aku lalu mencoba memberitahu mas Tarno tentang apa yang kulihat barusan.
Namun, belum sempat aku mengucapkan sesuatu, tiba-tiba...
....Braakk....
Ada benturan keras diatas atap mobil. Istriku terbangun dan langsung menjerit.
"Allahu akbar...!" Istriku berteriak.
"Allahu akbar...allahu akbar..!"
Mobil kami oleng kearah jurang di sisi kiri jalan. Suara ban berdecit karena gesekan rem. Di sampingku, istriku terus mengucapkan takbir sambil menjerit ketakutan.