"Kenapa anak yang satunya berlari begitu?" tanya Hilman. Melihat anak yang berlari dan memegangi perutnya membuatnya merasa khawatir terjadi apa-apa pada Ayub.
"Oh, si Ayub? Biasa itu anak kalau habis makan banyak, kayak kutilang dia," jawab Diyon santai.
"Kutilang? Maksudnya burung kutilang?" selidik Hilman. Ia belum tahu kalau ada burung kutilang. Karena selama ia berada di Bukit itu, tidak mendengar ada burung kutilang.
"Iya, Pak. Si Ayub itu kayak burung kutilang. Baru masuk, eh langsung keluar," ungkap Wawan, meneruskan apa yang dimaksud oleh Diyon.
Hilman tidak tahu apa maksud dari dua anak itu. Otaknya tidak bisa berpikir dengan benar, apa yang diungkapkan oleh dua anak lelaki itu. Namun dua gadis yang di belakang mereka, masih terdiam. Mereka berdua tidak banyak bicara saat berada di dekat orang yang baru bertemu.
"Maksud kalian itu apa? Kutilang? Bukannya di sini tidak ada kutilang? Terus, bagaimana kalian bisa menyamakan teman kalian seperti kutilang?"
"Ya kayak butung kutilang lah, Pak. Pak Hilman tahu, kan, kalau burung kutilang kalau habis makan, pasti akan buang kotoran juga, kan?" sahut Diyon.
"Oh ... jadi paham saya. Kutilang, kukira ada burung kutilang di hutan ini. Kalau begitu, kita tunggu di sini saja atau gimana? Istriku sedang kedinginan sekarang. Dia tertidur karena ketakutan," ungkap Hilman, menatap ke arah Eva.
"Eh, bukannya istrinya Pak Hilman ini, kak Laila, yah? Ini kan bukan kak Laila," celetuk Diyon menunjuk Eva.
"Heh, kamu lupa, pak Hilman sebelumnya kan sudah menikah," lirih Wawan membisiki Diyon.
Dia istri pertamaku. Sedangkan Laila, itu istri kedua ku."
"Kenapa sudah punya istri, masih menikah lagi? Tetapi lebih cantik kak Laila, dari bibi ini," jujur Diyon. Memang Diyon orang yang selaku jujur dengan apa yang ada.
Sifat anak-anak yang tidak mengetahui masalah orang dewasa, kadang akan banyak bertanya. Tandanya mereka termasuk anak yang tanggap dan suka belajar. Meski pikiran anak-anak hanya bermain dan suka mencari ilmu-ilmu baru yang belum mereka dapatkan.
"Kalian!" geram Hilman. Ia merasa ucapan dari Diyon adalah sebuah cambukan buatnya. Namun ia sadar, yang bicara dengannya adalah seorang anak yang baru berusia sekitar sebelas atau dua belas tahunan. Hilman tidak bisa memarahi anak-anak itu. Apalagi ia masih membutuhkan mereka untuk menunjukkan jalan.
"Hh-ha-ha-chi!" Tiba-tiba Eva terbangun dan langsung bersin. Ia masih memejamkan matanya namun ia sudah tidak lagi bersandar pada pohon jati tersebut.
"Eva ... kamu sudah bagun?" Hilman membantu Eva untuk berdiri. Namun Hilman merasakan tubuh Eva mulai panas. Ini berarti Eva saat ini mengalami sakit demam.
Akibat dari kehujanan ditambah dengan trauma saat terjadi petir, membuat pikiran Eva terganggu dan membuat ia mudah terserang demam.
Wawan menarik Diyon untuk menjauhi Hilman. Wawan yang mendengar suara Hilman dengan nada tinggi, membuatnya sedikit takut. Karena bisa berbahaya buat mereka yang masih anak-anak. Tidak mungkin bisa melawan orang dewasa.
"Husss ... kamu bilang apa tadi?" Wawan menarik tangan Diyon ke arah di mana mereka bisa berbicara tanpa didengar oleh Hilman.
"Aku salah ngomong, yah? Tapi kan bener, Pak Hilman sudah memiliki istri. Kenapa dia malah menikahi kak Laila. Seharusnya hari ini dia ada jadwal ngajar kita ngaji. Tapi malah belum pulang. Eh, Pak Hilman malah mesra-mesraan sama orang lain, aku nggak terima," ungkap Diyon. Meskipun ia masih anak-anak, walau bicara tanpa disaring dulu, karena memang ia masih memiliki jiwa anak-anak yang bebas, Diyon tahu yang benar dan salah.
"Sudahlah. Lagipula pak Hilman juga perlu kita untuk nunjukin jalan. Tapi sekarang kamu jaga bicaramu. Nanti kalau berkata seperti itu lagi, entah apa yang bakal terjadi," peringat Wawan.
"Iya, deh, iya," tandas Diyon. Akhirnya ia tahu dirinya salah berbicara. Walau sebenarnya ia mengatakan kenyataan. Tapi ia bersalah telah membuat orang yang lebih tua, marah.
"Ini, kalian nggak mau pada nolongin bibi itu, apa?" tanya Neni tiba-tiba. Walau ia belum kenal orang itu, ia juga khawatir terjadi apa-apa terhadap wanita itu.
"Lah, kita bisa ngapain? Orang aku nggak bisa ngobatin orang, juga," ujar Diyon.
"Betul. Mereka kan sudah gede. Pasti bisa ngatasin urusan sendiri," imbuh Wawan menyetujui pemikiran Diyon.
"Huh ... benar juga, sih. Aku juga bingung, huhh," keluh Neni. Ia memegang tangan Nur, adiknya. Lalu ia melihat Hilman dan Eva yang terlibat saling memeluk satu sama lain.
Neni mengambil jarit yang ia bawa dan ia masukan ke dalam kantong kresek. Ia berpikir untuk memberikan jarit itu untuk sekedar mengganti atau digunakan untuk selimut oleh Eva.
"Aku ke sana dulu ya, Dek. Aku mau kasih jarit ini pada bibi itu. Kelihatannya dia kedinginan sekarang," tutur Neni pada adiknya.
"Iya, Mbak. Jangan lama-lama, aku takut sama bapak-bapak itu," jujur Nur. Karena melihat perawakan Hilman yang memiliki jambang tipis dan orangnya pun tinggi, membuatnya merasa takut. Apalagi melihat Eva yang berpenampilan berantakan.
"Yaudah, Mbak mau ke sana. Kalian berdua, jagain adikku, yah!" titah Neni pada dua anggota tiga kurcaci.
"Pokoknya beres!" jawab keduanya serentak sambil mengacungkan jempol.
Neni memberanikan diri untuk mendekati Hilman dan Eva. Ia terlihat agak ragu-ragu namun tetap mencoba memberanikan diri. Akhirnya ia menyerahkan jarit itu pada Hilman. Sebenarnya ia membawa jarit karena dibawakan oleh ibunya. Maka ia pun membawa jarit itu. Siapa sangka, jarit itu bisa berguna untuk orang lain.
"Ini, Pak. Pakai jarit punyaku. Biar nggak kedinginan," ucap lirih Neni sambil mengulurkan jarit pada Hilman.
"Terima kasih, Dek," ujar Hilman. Jarit yang diberikan oleh Neni memang tidak cukup untuk menghangatkan Eva. Namun itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
"Sama-sama, Pak. Anu, aku mau balik ke temen-temen dulu." Neni berlari menjauhi Hilman dan Eva. Ia menghampiri teman-temannya yang sedang berada dua puluh meter dari Hilman dan Eva.
"Duh, anak itu benar-benar baik," ungkap Eva. Ia tersenyum pada suaminya. Karena bersama sang suami, ia bisa melewati apapun juga. Walau menderita dan harus mengalami sakit, tidak ada yang mereka syukuri, melainkan saat kebersamaan di antara keduanya.
"Kamu buka baju kamu, ini sudah sangat basah, kamu pakai jarit ini saja," pinta Hilman pada Eva. Kerena tidak mungkin Eva memakai pakaian yang basah.
"Tapi aku malu, Mas. Ada anak-anak di sana. Ini pakai jarit, huhuhu ... dingin, Mas. Peluk aku," pinta Eva. Pakaian itu pula yang membuat rasa dingin itu. Apalagi saat melewati rerumputan dan tanaman liar, mereka terkena beberapa tanaman yang juga bikin gatal. Eva mulai menggaruk tangan dan kakinya.
"Kamu gatal juga? Aduh, bagaimana ini, yah?" Hilman bingung apa yang harus ia lakukan sekarang. "Eh, kamu buka aja bajunya dan pakai jarit ini. Mungkin karena bajumu basah, kamu jadi gatal seperti itu."
"Emm ... bantuin yah, Mas. Kamu bukain baju aku, tapi malu di sini kita cari tempat yang enggak dilihat anak-anak itu," ujar Eva.
"Yaudah, ayo." Hilman membawa Eva untuk pergi ke tempat di mana anak-anak tidak melihat mereka.
Di balik pohon besar, Hilman membuka pakaian basah milik Eva. Sementara Eva merasa hatinya tersentuh dengan perlakuan Hilman. Hilman dengan lembut, membuka pakaian istrinya.
***