Setelah menunggu lama, sopir keluarga Redho yang bernama Warso itu sudah sampai ke vila. Langsung saja Redho mengajak semua yang ada di vila untuk ke rumah sakit. "Ayo kita ke rumah sakit," ucap Redho pada semuanya.
Tanpa menjawab, mereka pun mengikuti Redho dari belakang. Setelah ke rumah sakit, niatnya mereka akan pulang ke rumah. Sekarang mereka dalam perjalanan.
Dini duduk di depan bersama dengan Warso. Laila dan Seruni berada di tengah, sementara Pramono dan Redho duduk di kursi paling belakang.
Jalanan yang menurun dan berkelok-kelok membuat sang sopir harus berhati-hati dalam mengendarai mobil. Apalagi habis hujan, jalan menjadi licin.
"Duh, lama banget sampainya," keluh Seruni. "Bisa nggak, lebih cepat lagi, Pak?" seru Seruni pada sang sopir. Khawatir dengan keadaan Raisya anak mereka.
"Sabar, Mah. Pasti Raisya tidak apa-apa. Dia hanya pusing saja, kan?"
"Bukan begitu, Pah. Kalau hanya sakit kepala, mengapa dibawa ke rumah sakit? Dan di rumah sakit pun harus rawat inap. Bagaimana mama nggak panik, Pa," kilah Seruni.
"Iya sih, Mah. Kita doakan saja, tidak terjadi apa-apa pada Raisya," usul Redho yang dari belakang Seruni.
"Ma, aku yakin Raisya tidak apa-apa. Percayakan sama Allah saja," lirih Laila. "Bagaimana kalau kita doakan saja, semoga Raisya dalam keadaan baik-baik saja," ujarnya sembari menggenggam tangan mertuanya.
"Iya, Laila. Terima kasih," balas Seruni. Saat berada di samping Laila, ia merasa senang.
Beruntung Seruni memiliki menantu yang perhatian seperti Laila. Memang ini yang dia inginkan di usianya yang tidak muda lagi. Dirinya sangat menyayangi Laila sebagai menantu dan menganggap sebagai anaknya sendiri.
"Entah di mana Hilman itu. Apa kita beritahu Hilman, soal Raisya, Pah?" tanya Seruni pada Redho.
"Biarkan saja, Ma. Lagian ada atau tidak ada dia, Raisya tetap saja masuk ke rumah sakit. Biarkan dia sama istrinya itu. Yang penting, kita sampai di rumah sakit terlebih dahulu," tangkas Redho.
Karena kepergian Hilman yang entah ke mana, ia tidak peduli lagi. Karena merasa sudah tenang setelah Laila menanda tangani surat kuasa dan dokumen-dokumen yang telah ditanda tangani Laila.
Setelah turun dari bukit, sampailah mereka di jalan desa yang terdapat banyak lubang sana-sini. Mobil itu melaju dengan kecepatan rendah. Apalagi banyak jalan berlubang dan genangan air. Sang sopir harus berhati-hati untuk mengendarai mobil, jangan sampai terjebak lobang yang menganga lebar.
"Jalan di sini tidak kunjung diperbaiki. Bagaimana kalau ada orang lewat dan terjadi kecelakaan?" keluh Redho.
"Tenang, Pak. Setidaknya kita hampir sampai di jalan besar," ucap Pramono.
Satu jam berlalu, akhirnya mereka sampai di jalan raya yang lebih besar. Jalannya pun tidak separah jalan desa itu.
"Iya, Pak. Tidak habis pikir dengan perangkat desa di sini. Apa mereka tidak Bekerja dengan baik? Dari pemerintah kan harusnya mendapat dana untuk perbaikan jalan desa. Apa mungkin tidak sampai ke desa ini?"
Desa Wanadadi memang merupakan desa yang luas. Lebih luas dari desa-desa lain di satu kecamatan bahkan kabupaten. Namun jalan desa sangat menyedihkan. Bahkan warga desa lain akan kesulitan untuk mengakses jalan tersebut. Maka tidak banyak para pengunjung yang mengeluh atas desa tersebut.
Redho sudah mengeluarkan banyak uang untuk memperbaiki sebagian besar jalanan di desa. Namun ia tidak bisa melakukannya untuk semua jalan. Ia hanya memperbaiki jalan-jalan untuk jalur truk-truk besar ke kebunnya. Ini ia terpaksa lakukan karena tidak ingin menunda pengiriman.
"Yah, mungkin di pemilihan kepala desa berikutnya, akan ada perbaikan dalam pembangunan, Pah," ujar Seruni. Ia menyayangkan juga, kalau hanya menggunakan milik pribadi untuk memperbaiki jalan umum. Yang jumlahnya pun tidaklah sedikit itu.
Saat ini mobil yang dikendarai sopir keluarga Redho sudah melenggang dengan nyaman karena saat ini, sudah berada di wilayah jalanan yang sudah diperbaiki. Warso sang sopir pun lebih leluasa mengendarai mobil itu. Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah sakit yang dituju.
Mereka turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah sakit. Redho melihat Siti yang berdiri di depan ruangan rumah sakit. Karena mereka telah diberitahu tempat Raisya dirawat. Siti memberitahukannya melalui pesan singkat yang diberikan.
"Bagaimana dengan Raisya, Bi?" tanya Seruni pada Siti. Ia yang pertama kali melihat Siti dan berlari ke arahnya.
Namun sebelum Siti menjawab, Seruni terlebih dahulu masuk ke dalam kamar rumah sakit itu. Ia lebih ingin melihat kondisi Raisya secara langsung. Itu lebih utama buatnya.
"Kamu kenapa, Nak? Apa yang sakit?" Seruni menghampiri Raisya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ia melihat Raisya dengan wajah pucat menatap ke arahnya.
"Mah, kepalaku sakit," keluh Raisya lirih. Ia meneteskan air mata melihat Seruni yang datang bersama yang Laila.
Saat ini Redho dan Pramono berada di depan ruang rawat inap tersebut. Mereka tidak masuk karena Pramono ingin mengajak Redho ke musala rumah sakit.
"Ini sudah waktunya shalat asar. Lebih baik kita ke mushala untuk melaksanakan sholat berjamaah," ajak Pramono.
"Baiklah, Pak. Mari kita ke sana," tunjuk Redho. Redho menunjukkan jalan ke arah mushala yang ada di rumah sakit tersebut.
Redho dan Pramono meninggalkan tempat. Sementara Siti masih berada di depan ruangan di mana Raisya dirawat. Ia bersama dengan Dini, anaknya. Duduk berdampingan di bangku lobi rumah sakit.
"Kamu baik-baik saja, Nduk?" tanya Siti pada Dini. Ia mengusap rambut anaknya. Anak satu-satunya yang ia punya.
"Nggak apa-apa, Bu. Eh, tau enggak? Aku tuh, diajak makan bareng satu meja sama mbak Laila dan keluarga pak Redho, loh," ungkap Dini bangga.
"Apa, Nduk? Kan ibu sudah bilang, kita ini hanya pembantu. Tidak pantas ikut makan sama mereka. Siapa yang ngajakin kamu?" selidik Siti.
"Kan Mbak Laila yang ngajak, Bu. Kak Laila orangnya baik, yah. Aku juga masak banyak sama kak Laila. Dan–"
"Cukup!" pekik Siti. Ia tidak ingin mendengar kata yang keluar dari mulut Dini. Ia merasa sangat bersalah karena membiarkan anaknya sendiri, tanpa pengawasannya. Bagaimana ia menghadapi majikannya jika nanti datang padanya? Ia tidak bisa menanggung konsekuensinya.
"Bu," lirih Dini. Ia sebenarnya ingin menceritakan pertemuannya dengan lelaki tampan yang makan bersama di kelurga itu. Ia juga mengatakan kalau lelaki itu makan di sebelahnya. Namun ia tidak berani menatap Siti karena takut.
"Dengarkan ibu, Nduk. Jangan sekali-kali kamu melakukan itu lagi! Kita hanya pembantu, Nduk. Kamu ingat, status kita dengan mereka, tidaklah sama."
"Tapi mbak Laila sama kayak kita, dia juga anak desa juga, kan? Kalau Mbak Laila saja bisa menikah dengan orang kaya, aku pasti bisa, kan?"
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Dini. Sebuah tamparan dari sang ibu yang telah menjadi satu-satunya tempatnya berkeluh kesah dan orang yang selama ini paling menyayanginya. Namun tamparan itu membuka matanya. Bahwa ia melakukan kesalahan besar.
"Ampun, Bu. Ampun!"
"Kamu!" Seruni hendak menampar Dini sekali lagi. Namun ia tidak melakukannya karena ia mengingat, dirinya tidak pernah membahagiakan anaknya. Ia selalu membawanya untuk bekerja dan bekerja. Bahkan Dini telah kehilangan masa remajanya karena sibuknya bekerja dengan Siti. Dalam hati, Siti menyesal karena tidak bisa memberikan kebahagiaan yang berhak didapatkan oleh Dini.
***