Chereads / Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 55 - Pertolongan Dari Anak Anak Desa

Chapter 55 - Pertolongan Dari Anak Anak Desa

Karena hujan deras yang tiba-tiba datang, membuat mereka kebasahan. Di dalam hutan, tidak ada tempat untuk berlindung dari hujan. Mereka hanya bisa berlindung di bawah pohon nangka yang lebat. Sementara tubuh mereka sudah basah dengan air hujan, membuat Eva menggigil kedinginan.

"Kenapa hujannya gede banget," keluh Eva. Ia memeluk sang suami untuk menghangatkan tubuhnya.

"Sabar, Sayang. Pasti kita akan segera pulang," ucap Hilman menenangkan Eva. Ia sudah berusaha mencari jalan keluar dari bukit itu. Namun ia dan Eva tidak mengingat jalan mana yang mereka lalui.

Mereka pun belum sampai di puncak bukit maupun air terjun. Hilman awalnya yakin dapat membawa Eva ke air terjun dan puncak bukit. Namun hasilnya nol besar. Ia sama sekali tidak tahu apa-apa.

"Maafkan aku, Sayang. Karena aku yang tidak tahu kemampuanku sendiri. Aku terlalu sesumbar untuk membawamu ke sini. Aku tidak tahu kalau akan terjadi sesuatu seperti ini," sesal Hilman. Namun semua penyesalan itu tidaklah bisa membuat mereka tahu jalan pulang.

Alih-alih ingin mendapatkan pengalaman yang membahagiakan dengan sang istri tercinta, Hilman malah membawa Eva ke dalam masa-masa sulitnya. Ia tidak berharap semua terjadi. Tidak mengharapkan hal seperti ini.

"Kamu tidak bersalah, Mas. Aku tidak apa-apa, kok," kilah Eva. Meskipun ia merasa takut karena hujan lebat di hutan, berada di sisi sang suami, membuat dirinya merasa aman. Setidaknya ia masih bersama orang yang paling dicintai.

Eva memeluk suaminya dengan erat. Di bawah pohon nangka, mereka benar-benar sudah kebasahan dan dingin. Suara petir yang terdengar sangat keras, membuat Eva merasa takut.

"Tenang, Sayang. Ada aku di sini," ujar Hilman. Hilman tahu Eva takut dengan suara petir. Ia khawatir bagaimana kalau tidak ada dirinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada Eva. Langit yang semula terang, karena hujan deras itu pun menjadi gelap.

JDARRR!

Suara petir yang sangat keras, membuat Eva menangis sesenggukan. Hal itu pula yang membuat Hilman khawatir. Pakaian yang dikenakan mereka basah dan terasa sangat dingin.

Meskipun berada di bawah pohon rindang, rintikan air masih menetes ke arah mereka. Hilman menggosokkan tangannya ke telapak tangan Eva. Setidaknya ia bisa membuat Eva merasa sedikit hangat. Walau itu hanya sebentar.

Berjam-jam mereka duduk di bawah pohon nangka tersebut. Mereka menunggu hujan reda. Namun sampai hari sudah semakin sore, hujan baru reda. Hilman menggendong Eva yang sudah tertidur di pelukannya.

"Eva! Aku pasti akan mencari jalan keluar dari bukit ini. Maafkan aku, Sayang. Aku tidak tahu akan begini akhirnya. Mungkin aku yang terlalu ceroboh, yang mengajak kamu ke sini tanpa tahu arah."

Hilman menyesal setelah terjadi hal seperti ini. Ia berjalan dengan menggendong Eva di punggungnya. Jalanan yang licin, membuatnya hampir terpeleset.

Lelaki itu berjalan melewati rimbunnya pepohonan dan tanaman liar yang tinggi. Rumput pun tingginya sampai satu meter tingginya. Ia berjalan sambil menyingkirkan tanaman berduri.

"Akh!" jerit Hilman ketika ia tergores duri dari tanaman puyengan. Walau durinya tidak panjang, karena ia sambil berjalan, duri dari ranting tanaman itu pun sampai menggores tangan dan kaki Hilman.

Karena tubuhnya terguyur hujan cukup lama, membuat tubuhnya rentan. Duri-duri itu akan lebih mudah membuat luka lebih dalam.

Hilman berjalan tertatih, masih berusaha berjalan melewati tanaman dan rumput yang tumbuh rimbun.

"Aku harus ke mana?" tanyanya pada entah siapa. Ia dalam kebingungan saat ini. Lama berjalan hingga tubuhnya lelah, ia mendengar suara anak-anak yang terdengar sedang bersenang-senang. "Apakah mereka ada di sekitar sini?"

Hilman mencari sumber suara. Ia berharap anak-anak yang tadi ia temui, tahu jalan pulang. Dengan menahan sakit di kakinya, ia berjalan ke samping kirinya. Ia menemukan jalan setapak setelah berjalan dua puluh meter dari tempatnya semula.

"Oh, mereka ada di sini?" Hilman sampai kaget karena melihat anak-anak itu terlihat ceria berlarian dan pakaiannya pun dalam keadaan kering.

"Eh, Pak Hilman," ujar Diyon yang melihat Hilman dalam keadaan menyedihkan itu.

"Eh, ada Pak Hilman," tutur Wawan. Ia berhenti mengejar teman-temannya karena juga melihat keadaan pria itu memang tidak baik.

"Apa yang terjadi?" Kali ini Ayub yang melihat itu pun bingung, mengapa mereka sampai kebasahan dan terlihat darah mengalir di kaki Hilman. "Pak Hilman kenapa?" tanyanya kemudian.

"Oh, syukurlah ada kalian. Aku tidak tahu jalan pulang," jujur Hilman dan meletakan Eva di bawah pohon jati. Ia meletakan di bawah pohon dan mendudukkan istrinya yang dalam keadaan tertidur.

"Itu kenapa, Pak?" tanya Ayub mendekat ke arah Hilman.

Empat anak lainnya pun mendekati Eva hingga berjarak satu meter dari wanita itu. Hilman tidak membalas pertanyaan Ayub. Ia lebih mementingkan bagaimana caranya agar mereka cepat pulang.

"Eh, sebentar, Pak," ungkap Diyon. Diyon berlari ke arah semak-semak. Ia menatap pohon lamtoro dan menarik rantingnya. Ia memetik daun yang masih muda dan membawanya kepada Hilman.

"Ini untuk apa?" tanya Hilman bingung. Ia tidak tahu mengapa Diyon menyerahkan daun lamtoro padanya.

"Ini namanya daun lamtoro. Ini bisa untuk obat luka luar seperti yang pak Hilman alami. Caranya, Pak Hilman hanya mengunyahnya lalu dibalurkan ke luka Pak Hilman," ungkap Diyon menerangkan.

Hilman menatap anak itu dan tidak langsung percaya dengan ucapannya. Apalagi ia tidak pernah melakukan hal seperti itu. Ini baru pertama kalinya ia mendaki ke bukit dan mengalami hal seperti itu.

"Kata si Embah, ini bisa mengobati luka seperti iyu, Pak. Pokoknya lakuin apa yang aku beritahu, Pak," ujar Diyon.

"Benar, Pak Hilman. Pak Hilman tidak bisa membiarkan luka itu. Darahnya ngalir terus," imbuh Wawan.

Sementara dua gadis yang bersama mereka, tidak berani mendekat lebih lagi. Mereka bersembunyi di belakang Ayub. Hal itu membuat Ayub sangat senang. Apalagi Ayub yang menyukai perempuan cantik, saat usianya saat ini, adalah sebuah anugerah baginya. Bagaimana tidak, kedua gadis itu menempel pada pundaknya dan berlindung di belakangnya.

"Kenapa? Apa kalian takut?" tanya Ayub lirih. Ia menengok ke kiri dan ke kanan. Di samping kiri bagian belakang, ada Nur yang berdiri di situ. Sementara Neni berada di sisi kanan belakang.

"Eh, aku nggak kenal orang itu," aku Nur yang memang tidak tahu menahu.

"Aku juga nggak kenal. Lagipula lihat saja, ada darah di kakinya," ujar Neni. Ia tahu adiknya takut darah. Ia pun tidak berani dekat-dekat dengan orang asing. Meskipun ia sudah diberi tahu siapa Hilman oleh Ayub.

Sementara Hilman menerima daun lamtoro dan mengunyahnya. Ia mengikuti arahan dari Diyon untuk mengunyah daun lamtoro itu dan dibalurkan ke lukanya.

Karena luka Hilman tidak terlalu dalam, maka tidak perlu diikat dengan kain lagi. Cukup dibalurkan daun itu di lukanya. Maka lukanya lebih cepat mengering.

"Ini beneran mendingan," ungkap Hilman. Ia sangat bersyukur bahwa anak-anak itu bisa membantunya meringankan luka itu. Untuk sekarang, ia hanya ingin membawa Eva pulang atau ke rumah sakit.

"Kalau begitu, Pak Hilman beristirahat sebentar. Eh, bibi itu kenapa, Pak?" tanya Diyon.

"Bibi? Oh," Hilman baru ngeh, kalau Eva dipanggil bibi oleh mereka. Ia juga dipanggil 'pak' oleh mereka. Hanya saja panggilan untuk Laila sendiri adalah 'kak.'"

***