Laila bangun dari tidurnya saat mendengar suara adzan. Ini saatnya untuk menuaikan shalat subuh bagi yang menjalankannya. Walau ia masih merasa nyaman tidur di tempat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tidurnya terasa nyenyak dan hangat di balik selimut tebal.
"Alhamdulillahiladzii Ahyaanaa Ba'damaa Amaatanaa Wa Ilaihinnusyuur ...." Laila mengusap wajahnya setelah mengucapkan syukur karena masih bisa bangun di pagi ini.
Laila melihat sekeliling dan menemukan Hilman yang masih tertidur di sofa. Perasaan takutnya kembali datang saat ia mengingat kejadian semalam. Laila mencoba menahan rasa takutnya pada Hilman. Ia harus meyakinkan dirinya, tidak akan terjadi apapun.
"Kenapa tidur di sofa?" Laila menghampiri Hilman. Ia melihat Hilman yang tidur tidak dalam posisi yang benar.
Hilman tidur dengan posisi kaki menggantung. Laila tidak tega melihat orang tidur seperti itu. Dirinya tidur di tempat yang nyaman sementara Hilman tidak seperti dirinya.
Laila membangunkan Hilman dengan cara menggoyangkan tubuh lelaki itu. Walau ia masih mengingat perlakuan Hilman semalam padanya. Ia tidak memiliki dendam sama sekali.
"Mas Hilman, bangun." Namun Hilman tidak bangun juga. Laila berpikir bagaimana caranya membangunkan Hilman. Sudah kewajibannya untuk membangunkan suaminya untuk melaksanakan sholat subuh.
Maka Laila mengambil handuk kecil dari tasnya. Ia biasa menggunakan handuk itu untuk mengompres atau untuk mengelap wajahnya setelah mencuci muka. Kemudian Laila ke kamar mandi dan membasahi handuk kecil itu.
"Semoga dengan ini, kamu bangun dari tidurmu, Mas," gumam Laila sambil mengusap pelan handuk basah itu ke wajah Hilman.
"Ahhh." Hilman merasakan sesuatu yang dingin menyentuh wajahnya. Ia terbangun karena usapan yang dilakukan Laila. "Laila?" panggil Hilman saat melihat Laila yang membangunkannya.
Laila mundur beberapa langkah. Ia takut Hilman melakukan kekerasan seperti tadi malam. Ia takut jika Hilman marah padanya. Namun ia berkewajiban untuk membangunkan Hilman. Karena adzan subuh telah berkumandang.
"Kenapa kamu bangunkan pagi-pagi banget, Laila? Aku mau tidur lagi," putus Hilman. Ia kembali membaringkan badannya di sofa itu. Walau badannya pegal-pegal karena posisi tidur itu.
"Shalat, Mas. Ini waktunya sholat subuh. Kamu nggak pergi ke Mushala?" tanya Laila.
"Kamu aja yang ke Mushala! Aku mau tidur," sahut Hilman dengan malas.
Laila menggelengkan kepalanya sembari mengucap istighfar, "Astaghfirullahhal'adzim, Mas." Laila kembali membangunkan Hilman untuk melaksanakan sholat subuh.
"Jangan ganggu aku tidur!" bentak Hilman. Ia tidak ingin tidurnya diganggu oleh siapapun.
Setelah membentak Laila, Hilman menyesal. Ia seharusnya tidak membentak Laila lagi. Walau semarah apapun, tidak boleh membentak Laila. Padahal Laila hanya menyuruhnya untuk melaksanakan sholat subuh.
"Maaf, Laila," sesal Hilman. Ia melihat Laila sudah mundur. Hilman berdecak kesal pada dirinya sendiri.
"A-aku ... aku mau ambil wudhu," kata Laila menghindari Hilman. Ia tidak ingin dibentak lagi oleh Hilman. Kalau tidak mau, Laila tidak memaksa Hilman.
"Laila ... maafkan aku!" Hilman bangun dari sofa. "Akh!" pekiknya karena terjatuh.
Akibat terburu-buru, Hilman tidak menyadari kalau dirinya masih berselimut. Dimana selimut itu nyangkut di sofa. Alhasil, pria itu harus merasakan sakitnya karena terjatuh ke lantai yang keras itu.
Hilman berjalan tertatih menghampiri Laila. Ia menuju ke kamar mandi dan Laila sedang berwudhu. Tidak seperti dirinya yang selalu meninggalkan sholat lima waktu. Laila selalu rajin menunaikan kewajibannya.
"Laila, aku ..." ujar Hilman. Ia melihat Laila yang mengangkat roknya. Terlihat betis Laila yang putih dan mulus. Membuat Hilman terpana.
Laila membasuh kakinya bergantian. Setelah masing-masing tiga kali dibasuh, Laila melafazkan doa di dalam hatinya. Kemudian ia berbalik dan mendapati Hilman yang terbengong karena masih memikirkan Laila yang tadi menyingkap rok dan terlihat betisnya yang mulus.
"Mas?" kaget Laila. Ia mundur satu langkah dan masuk ke dalam kamar mandi.
'Kenapa aku jadi nafsu melihatnya?' pikir Hilman. Lelaki itu pun tidak menyangka bahwa dirinya akan jadi seperti ini.
Sementara Laila memberanikan diri. Ia maju dan keluar dari kamar mandi melewati Hilman. Ia melihat mukena yang berada di ranjang dan memakainya. Sementara di lantai sudah ada sajadah yang lupa Laila lipat. Karena kejadian semalam dengan Hilman.
"Tidak!" elak Hilman dari pikiran buruknya. Dulu ia tidak memiliki nafsu seperti ini. Namun ia hanya seperti ini pada istrinya. Baik kepada Eva ataupun Laila.
Laila sudah memakai mukena dan berdiri di atas sajadah. Ia tidak lagi menyuruh Hilman untuk melaksanakan sholat. Itu membuat Hilman heran. Ia kemudian menghentikan Laila. "Tunggu aku berwudhu! Aku akan mengimami kamu," ujar Hilman.
Namun siapa sangka, Laila malah menjawab, "Tidak. Seorang lelaki tidak sholat di rumah. Kalau kamu laki-laki, sholatnya di masjid!"
"Apa aku tidak pantas menjadi imammu?" tanya Hilman. Yang ia tahu, ia sudah menjadi seorang suami. Mengapa ia tidak boleh mengimami istrinya?
"Maaf, Mas. Kamu pantas menjadi imamku. Tapi itu imam dalam rumah tangga. Tetapi lelaki yang baik adalah lelaki yang sholatnya berjamaah di masjid atau mushala. Karena sejatinya, sholat berjamaah lebih baik dari sendirian."
"Tapi kenapa kamu sholatnya sendirian?"
"Karena aku perempuan. Berbeda laki-laki. Kalau seorang perempuan memang lebih baik sholat di rumah sendirian."
Hilman belum mengerti apa yang dimaksud oleh Laila. Namun ia masuk ke dalam kamar mandi untuk berwudhu. Ia ingin menjadi imam bagi Laila. Yang ia tahu, sebagai suami memang harus menjadi imam sholat bagi istri.
Sementara Laila mulai melaksanakan sholat. Ia tidak menunggu Hilman, memang karena ia terbiasa melaksanakan sholat seorang diri.
"Allahuakbar ...." Laila membaca takbir dan membaca bacaan sholat di dalam hati.
Saat Hilman sudah selesai berwudhu, ia melihat Laila sudah melaksanakan sholatnya. Ia kecewa terhadap Laila yang tidak menunggunya berwudhu. Ia melihat sampai Laila selesai melaksanakan sholatnya. Ia duduk di lantai dan posisinya di samping Laila. Menunggu sampai akhirnya Laila selesai mengucap salam.
"Mas, sudah terlambat kalau ke mushala. Kenapa kamu nggak ke mushola?" tanya Laila. Ia menggeleng pelan melihat suaminya.
"Kenapa kamu nggak nunggu aku wudhu dulu? Aku kan bisa menjadi imam sholatmu. Aku memang sudah lama tidak mengerjakan sholat. Tapi aku masih ingat bacaan sholat, kok," ujar Hilman.
"Alhamdulillah ... tetapi sudah aku katakan tadi, seorang lelaki itu harus sholat berjamaah di masjid atau mushala. Bukan sholat di rumah," terang Laila.
"Bukannya sama aja? Yang penting sholat, kan?" tanya Hilman.
"Tidak! Dalam hadits riwayat al-Bukhari dan muslim, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda,
'Sholat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat dibandingkan sholat sendirian. HR. Bukhari dan Muslim.' Jadi apa kamu tidak mau sholat berjamaah?"
"Lalu bagaimana denganmu?" tanya Hilman. Kalau dirinya sholat di mushala, sementara Laila sholat di rumah.
"Shalat seorang wanita di kamar khusus untuknya lebih afdhal daripada shalatnya di ruang tengah rumahnya. Shalat wanita di kamar kecilnya lebih utama dari shalatnya di kamarnya. Itu dari hadist riwayat Abu Daud, nomor lima ratus tujuh puluh. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha'if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat pengertian hadits ini dalam 'Aun Al-Ma'bud, dua pasal dua ratus dua puluh lima, yang artinya, 'Tempat shalat wanita di dalam rumah semakin tidak terlihat dan jauh dari ikhtilath (campur baur dengan lawan jenis), akan semakin utama. Dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha.'
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya, 'Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka. Dari hadist riwayat Ahmad, enam pasal dua ratus sembilan puluh tujuh. Syaikh Syu'aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya).' Apa aku mengatakan masih kurang paham?" tandas Laila.
***