Hilman tidak bisa berkata apa-apa setelah mendengar penuturan Laila. Ia tidak tahu agama islam secara menyeluruh. Baik hadist atau ilmu agama lainnya. Ia hanya bisa melongo mendengar Laila yang fasih menjelaskan itu semua.
"Kamu nggak mau sholat di mushala, Mas?" tanya Laila.
"Eh, iya ... aku berangkat!" putus Hilman yang berjalan ke arah pintu.
"Tunggu!" cegah Laila. "Ini sudah lewat waktunya sholat. Lagipula, apa kamu mau ke mushala dengan berpakaian seperti itu? Dan apakah kamu yakin, pakaian kamu bersih dari najis?"
"Apa yang–" ucap Hilman berhenti karena mengingat sesuatu. Dirinya semalam telah melakukan hubungan suami istri dengan Eva. Ia juga belum mandi wajib untuk mensucikan tubuhnya. Lagipula pakaian yang dikenakan juga masih tersisa hasil perbuatannya dengan Eva semalam.
"Maaf, aku hanya menebak saja. Semalam aku mencium bau yang aneh dari badanmu. Aku tidak tahu apa itu, aku hanya menebak, kamu sama mbak Eva ..." lirih Laila tidak meneruskan ucapannya. Ia tidak tahu, hanya menduga bahwa bau itu adalah sisa dari perbuatan Hilman dengan Eva.
"Iya ... semalam aku dan Eva berhubungan suami-istri. Dan di pakaianku ...." Hilman menyadari kesalahannya. Ia sudah terlambat untuk ke mushala. Ia juga tidak sadar kalau dia malah menurut pada Laila.
"Kamu kenapa, Mas?" tanya Laila heran. Ia menatap suaminya dengan rasa penasarannya.
"Aku, akh! Mengapa aku jadi nurut sama kamu? Taulah ... aku mau tidur lagi!" pungkas Hilman. Hilman berjalan ke arah ranjang dan menghempaskan tubuhnya.
"Kamu nggak jadi sholat, Mas?" tanya Laila sembari membuka mukena. Laila melipat mukena dan sajadahnya. Ia kemudian menaruhnya di atas meja.
"Sudahlah ... aku mau tidur saja!" ujar Hilman. Badannya terasa pegal karena semalaman tidur di sofa yang ukurannya terlalu pendek. Sementara Hilman merupakan orang yang tinggi.
Laila menghembuskan nafas panjang. Ia menaklumi suaminya yang belum mau diajak beribadah. Ia akan mengajak secara perlahan. Dalam hatinya ia merasa bahagia, Hilman sampai menuruti ucapannya walau sebentar saja. Ini lebih baik daripada Hilman yang marah-marah dan membentaknya. Atau Hilman yang melakukan kekerasan padanya, seperti semalam.
"Baiklah, Mas," ucap Laila lirih. Laila keluar dari kamar. Ia kemudian menuju ke dapur. Di sana ia melihat perlengkapan makan yang berantakan.
Sebenarnya mereka membawa dua orang pembantu yang dibawa dari rumah besar keluarga Redho ke vila itu. Saat mereka tidak ada di vila, dua orang penjaga yang merawat vila tersebut.
Karena hari masih terlalu pagi, belum ada yang bangun. Saat di rumah, Laila terbiasa bangun pagi dan menyiapkan masakan untuk kakeknya. Karena ia melihat barang-barang yang berantakan, ia membereskannya. Seperti kebiasaannya, ia mengucap basmalah terlebih dahulu sebelum melakukan pekerjaan.
Dengan hati yang senang, Laila mulai mengambil peralatan makan itu. Ia tahu cara mencuci piring di vila ini setelah kemarin sempat melihat pembantu rumah tangga menggunakan kran air di tempat pencucian piring. Kalau di rumahnya, ia harus menimba air terlebih dahulu. Itu mengapa badan Laila lebih sehat jika ada di desa. Setiap paginya Laila selalu berolahraga menarik timba air di sumur.
"Huwan Nuuru Yahdil Haairiina Dhiyaauhu. Wa fil Hasri Zhillul Mursaliina Liwaauhu. Talaqqoo Minal Ghoibil Mujarrodi Hikmata ...." Sambil mencuci peralatan dapur, Laila tidak lupa bersholawat dengan riangnya.
Dua pembantu rumah tangga yang baru bangun mendengar sholawat dari Laila. Mereka langsung menuju ke arah dapur. Mereka melihat Laila yang sudah mencuci sebagian peralatan dapur itu. Melihat itu, dua pembantu itu segera menghampiri Laila.
"Non, biar kami yang mencuci. Non, nggak perlu ke dapur. Biar kami saja," ungkap wanita paruh baya yang merupakan seorang pembantu rumah tangga yang sudah bekerja lebih dari tujuh tahun di keluarga Redho.
"Iya, Non. Biar kami saja," sambung seorang gadis yang berumur sama dengan Laila.
"Kenapa panggil aku, Non? Aku Laila, Bu. Eh, namaku Laila," ujar Laila yang menyodorkan tangannya pada pembantu paruh baya itu.
"Iya, Non. Panggil saja bi Siti," ucap Siti yang juga menyodorkan tangannya. Ia tersenyum pada Laila. Namun ia tidak menyangka, Laila mencium tangannya. Ia segera melepaskannya.
"Kenapa, Bi Siti?" tanya Laila bingung. Laila menghormati orang yang lebih tua darinya. Siapapun itu walaupun seorang pembantu rumah tangga. Namun bagi Laila, siapa orang itu, baginya sama saja. Siti orang yang lebih tua darinya. Bisa dikatakan lebih tua daripada mendiang ibunya.
"Tidak, Non. Saya hanya pembantu, tidak pantas non Laila mencium tanganku," ujar Siti. Ia tidak ingin berbuat tidak sopan pada menantu dari majikannya.
"Oh, aku hanya mau menghormati orang yang lebih tua dariku, Bi. Apa tidak boleh? Maaf, Bi aku yang salah," ucap Laila sambil menundukkan kepalanya.
"Eh, enggak-enggak. Kamu tidak salah, eh ...." Siti keceplosan memanggil 'kamu' pada Laila.
"Tidak apa-apa, Bik. Oh, iya ... Kamu namanya siapa? Namaku Laila," ujar Laila menyodorkan tangannya pada gadis yang bersama Siti.
Gadis itu pun menyambut tangan Laila. Ia merasa Laila adalah perempuan yang baik. Ia tidak gila akan posisi sebagai menantu dari orang nomor satu di desanya. "Oh, aku Dini," sahut Dini sambil tersenyum.
"Kamu umur berapa, Dini?" tanya Laila. Ia merasa umur Dini dan dirinya sama. Sehingga Laila memberanikan diri bertanya.
"Aku berumur sembilan belas tahun, Mbak Laila," sahut Dini. Ia sangat senang sampai ia tidak sadar posisinya yang sebagai pembantu, kurang sopan terhadap Laila yang merupakan menantu dari majikannya.
"Dini!" tegur Siti agar berlaku sopan pada Laila. Sebagai seorang pembantu, mereka harus sadar posisinya.
"Nggak apa-apa, Bik. Biarkan saja. Aku juga orang desa, kalian orang desa sini juga, kan?" tanya Laila. Ia menatap Siti dengan seksama.
Wajah Siti terlihat seperti wanita berumur lima puluh tahunan. Rambutnya sudah ada beberapa yang memutih, beruban. Sedangkan Dini terlihat cantik dengan rambutnya yang panjangnya sebahu.
"Kami dari desa sebelah, Non. Lima tahun lalu, kami kehilangan rumah dan satu-satunya lelaki dalam keluarga kami. Suami bibi meninggal karena tanah longsor yang terjadi di desa kami. Kebetulan saat kami mengungsi, kami bertemu dengan pak Redho dan istri. Mereka membantu kami dan kebetulan kami dibawa ke rumahnya untuk bekerja di sana," tutur Siti.
"Oh, Bi Siti dan Dini korban longsor lima tahun yang lalu? Maaf, Bi. Aku tidak tahu, jadi membuat Bi Siti dan Dina mengingat masa lalu," sesal Laila.
"Tidak apa-apa, Non. Kami sudah melupakannya juga. Eh, maaf, jadi curhat ke kamu, Non," ujar Siti. Ia senang karena Laila tidak memarahinya. Memang pantas Laila menjadi bagian keluarga Redho.
Bagi mereka, keluarga Redho adalah keluarga yang sangat baik padanya. Mereka mau membantu orang dalam kesulitan seperti Siti dan anaknya. Itu juga yang membuat orang-orang yang bekerja pada Redho sangat setia. Mereka sangat senang bekerja untuk keluarga Redho.
"Eh, bukannya kita ke sini mau memasak? Nanti kalau ngobrol terus, kapan masaknya?" celetuk Dini.
Laila dan Siti menoleh ke arah Dini. Benar apa yang dikatakan gadis itu. Mereka terlalu asik mengobrol, sampai lupa tujuan mereka ke dapur.
***