Chereads / Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 44 - Kebaikan Redho Di Mata Siti

Chapter 44 - Kebaikan Redho Di Mata Siti

"Benar! Kita ke sini mau memasak. Mengapa malah mengobrol begini? Maafkan kami, Non Laila," ucap Siti menyesal.

"Bukan apa-apa. Ngapain minta maaf? Kalau begitu, mari kita masak sama-sama," ajak Laila.

"Ba-baik, Non," sahut Siti. Siti tidak melarang Laila lagi. Karena sikap baik Laila, membuat Siti tidak sungkan lagi. Kalaupun Siti menolak bantuan Laila, mungkin Laila akan kecewa. Itulah mengapa Siti membiarkan Laila membantu.

"Eh, tadi Mbak Laila sedang sholawatan. Suara Mbak Laila bagus. Boleh tahu judulnya, nggak?" tanya Dini. Dini sedari tadi penasaran dengan Laila yang suaranya merdu saat bersholawat.

"Oh, tadi judulnya ... apa, yah? Aku lupa, tadi aku menyanyi sholawatan yang mana, hehehe," kekeh Laila yang menampilkan senyum polosnya.

"Masa lupa, sih? Aku pengen belajar sama kak Laila, boleh?" tanya Dini. Ia juga ingin seperti Laila yang bisa menyanyikan lagu sholawat yang merdu. Ini karena ia setiap hari mendengarkan lagu sholawat di ponselnya, ia sangat suka.

"Aku mana bisa ngajarin sholawatan. Aku hanya sudah terbiasa saja," sahut Laila sambil meneruskan mencuci piring.

"Iyah ..." sesal Dini.

"Dini! Yang sopan," ujar Siti. Ia merasa bersalah karena anaknya suka seenaknya sendiri.

"Eh, iya, maaf," ungkap Dini menyesal. Ia terlalu terbawa suasana karena merasa sangat senang berbicara dengan Laila tanpa memandang siapa yang diajak berbicara.

"Tidak apa-apa, kok. Kita seumuran, kok. Ngapain harus pakai sopan-sopanan segala?"

Siti tersenyum senang melihat Laila yang tidak mempermasalahkan statusnya sebagai orang yang memiliki kedudukan sebagai istri Hilman. Namun ia harus tetap menjaga kesopanan di depan Redho dan Seruni.

Redho merupakan sosok yang tegas namun kebaikannya pada Siti dan Dini terlalu besar. Siti tahu watak semua orang di rumah. Tetapi ia belum tahu benar watak kedua istri Hilman. Setelah bertemu dengan Laila, ia merasa senang karena watak salah satu istri Hilman cukup baik dan bisa diajak berteman baik.

Hanya watak Eva yang tidak diketahui oleh Siti. Kemarin ia sempat bertemu dengan Eva yang membantunya di dapur. Namun Eva tidak mengatakan apapun. Eva terkesan cuek pada orang-orang di dapur. Jarang ia berbicara dengan orang lain pula.

Siti melihat Laila sudah selesai mencuci piring. Sementara dirinya sedang mencari bahan-bahan untuk dimasak. Ia mencarinya di dalam lemari es. Ia tersenyum pada Dini, anaknya. Ia senang karena Dini bisa berteman baik dengan Laila. Semenjak kecil, Dini hidup dengan dirinya dan bapaknya. Tragedi lima tahun lalu itu, membuat masa kecil Dini berjalan tidak baik. Semenjak dibawa ke kediaman Redho, Dini bahkan sempat disekolahkan hingga pendidikan menengah pertama.

"Sejak kecil kamu tidak punya teman untuk berbicara. Sekarang kamu memiliki teman bicaramu, Nak," gumam Siti yang melihat Dini sedang memindahkan piring-piring bersih yang telah dicuci Laila.

"Ini kok bentuk gelasnya aneh, yah?" ujar Dini yang sedang memegang gelas yang berbentuk kecil di bawahnya, namun lebar ke atasnya.

"Hehe, iya. Kenapa ada gelas seperti itu, yah?" balas Laila yang baru pertama kali lihat gelas seperti itu.

"Hehehe ... kamu tahu, enggak? Kalau yang pakai gelas ini, berarti orang kaya. Apa kamu pernah minum dengan gelas seperti ini?" tanya Dini. Ia terkekeh membayangkan sesuatu.

"Aku belum pernah," jawab Laila jujur. Dirinya dan sang Kakek tidak pernah memiliki gelas seperti yang mereka bicarakan.

"Aku pernah, lho, hehehe," kekeh Dini. "Ternyata minum pakai gelas ini, membuat kita menjadi seperti orang kaya, lho. Kamu nanti coba, yah! Tapi jangan sampai ketahuan pak Redho. Pak Redho orangnya galak," kata Dini mengingat Redho saat sedang marah.

"Apa pak Redho orangnya galak? Tapi aku rasa orangnya baik, kok," sela Laila. Ia pernah mendapatkan uang dari Redho untuk membangun tempat mengaji anak-anak. Uang itu ia serahkan semua pada orang yang mau membangun tempat itu. Saat ini sedang dalam proses pembuatan.

Laila memang pernah melihat Redho yang memarahi Hilman di depan orang-orang di pesta pernikahannya. Selain itu, ia tidak pernah melihat Redho yang memarahi orang lain.

"Hussh ... pak Redho orangnya baik. Kamu jangan bilang yang tidak-tidak dengan non Laila," peringat Siti pada Dini. Anak perempuannya memang belum tahu mana orang baik dan orang yang galak.

"Tapi pak Redho sering memarahi pak Hilman di rumah. Dulu saat pak Hilman membawa perempuan ke rumah, bukannya pak Redho, memarahi pak Hilman?" terang Dini. Dini masih mengingat jelas saat Redho sangat emosi yang membuat orang-orang ketakutan. Ia menampar Hilman sampai tersungkur dan mengusirnya dari rumah.

Bukan hanya alasan itu saja Dini berkata terang-terangan pada Laila. Ia juga pernah mendengar ibunya dimarahi oleh Redho karena kesalahannya. Ini karena saat sedang membawakan kopi untuknya, Siti tidak sengaja menyiram pakaian Redho. Itu yang membuat Redho marah pada Siti.

Redho tidak pernah main fisik pada perempuan. Ia hanya pernah menampar Hilman dalam hidupnya. Ini karena Redho yang merasa Hilman tidak pernah menghormatinya. Jelas Siti tahu hal itu semua. Karena Siti berada di situ waktu itu.

Siti tahu Dini belum dewasa dan mengerti. Sehingga Dini berpendapat seperti itu. Dini hanya melihat orang dari satu sisi. Kalau terlihat jahat dan kejam, berarti orang itu memang jahat dan kejam. Sebaliknya, kalau orang itu terlihat baik, maka orang itu baik.

"Dini, kamu jangan bilang pak Redho begitu! Bukannya kamu dulu pernah disekolahkan oleh beliau? Kamu juga pernah dibelikan hp yang kamu pegang itu. Kamu tidak ingat saat kamu merengek pada ibu, untuk dibelikan hp?" tukas Siti.

"Iya, sih. Hemm," gumam Dini sambil mengingat-ingat semua yang diberikan oleh Redho padanya. Ia juga pernah diajak pergi jalan-jalan dengan keluarga Redho. Maka ia salah kalau mengatakan orang itu jahat karena pernah memarahi dan menampar orang.

"Jadi kamu jangan mengatakan orang itu jahat hanya karena pernah menampar orang! Apakah kamu mau kalau orangnya tahu kamu bilang begitu?"

"Eh, enggak. Nanti aku bisa diusir dari rumah," balas Dini. Ia memang salah sangka selama ini. Ia baru tahu sekarang dari ibunya sendiri.

"Eh, kenapa Mbak Laila?" Dini melihat ke arah depan Laila karena ia tidak dikasih peralatan makan lagi. Setelah tahu bahwa semuanya telah dicuci, ia mendesah kecil.

"Alhamdulillah," ucap syukur Laila karena sudah selesai mencuci semuanya. Ia kemudian melihat sayuran yang dipilih oleh Siti. Siti selain memilih sayuran, ia juga telah menakar beras untuk dimasak. Ia sudah mengambil beras dari karung.

"Biar bibi saja yang mencuci ini, Non. Non Laila istirahat saja dulu!" perintah Siti. Karena peralatan yang dicuci Laila begitu banyak sehingga Laila sudah seharusnya sudah lelah.

Namun bukan Laila namanya jika ia merasa lelah hanya karena hal itu. "Tidak apa-apa. Aku yang akan mencuci itu semua. Biarkan aku yang mencucinya, Bi," ucap Laila.

"Laila, kenapa kamu ada di sini?" Seruni tiba di dapur dan melihat Laila yang sedang mengambil sayuran untuk dicuci.

"Eh, anu, Nyonya. Tadi Non Laila-" ucapan Siti terhenti karena langsung diputuskan oleh Seruni.

"Yang kutanya Laila, Bi. Bukan kamu!"

***