"Mama," panggil Laila pada Seruni. Laila yang berniat membantu di dapur, tidak ingin orang lain disalahkan. Apalagi melihat ekspresi tidak suka Seruni terhadap Siti.
"Aduh, kenapa menantu mama sampai di dapur begini? Ayo Laila, keluar dari dapur!" titah Seruni. Ia menarik tangan menantunya.
"Maafkan aku, Ma. Aku hanya ingin memasak saja," ujar Laila. Ia terbiasa melakukan pekerjaan setiap paginya. Tidak bisa jika ia berdiam diri saja.
"Seharusnya biarkan bi Siti dan Dini yang di dapur!" Seruni menggeleng pelan. Ia tidak marah pada siapapun tapi ia tidak ingin Laila kecapaian seperti saat pernikahannya kemarin. Apalagi yang membuat Laila pingsan.
"Benar, Non Laila tidak seharusnya berada di dapur," lirih Siti yang merasa bersalah karena membiarkan Laila melakukan pekerjaan yang seharusnya sudah menjadi tugasnya.
"Kamu lanjutkan masak, Bi. Dan lain kali, jangan biarkan menantu saya ini memasak di dapur lagi!" tegas Seruni pada Siti.
Sementara Dini terlihat takut terhadap Seruni. Membuat Seruni tidak tega jika marah-marah lagi. Sifat Dini dan Raisya sama-sama melakukan apapun dengan bebas. Namun Dini kini menyadari kesalahannya karena mengajak Laila berbicara. Ia harus tahu diri, tidak mungkin bisa berteman dengan Laila. Melihat statusnya yang hanya anak seorang pembantu.
"Kamu kenapa, Dini?" panggil Seruni. "Bukannya aku marah pada ibumu. Tapi ini peringatan untuk ibumu, agar tidak membiarkan Laila memasak di dapur." Seruni berkata seperti itu untuk memberi pengertian pada Dini.
"Iya, Nyonya. Aku–"
"Sudah Dini," ucap Siti. Mencegah Dini berkata lebih panjang lagi.
"Ma, mereka tidak salah. Aku yang mau melakukan pekerjaan di dapur, Ma," bela Laila.
"Kamu tuh, Laila. Sudahlah ... ayo ikut mama, Sayang," ajak Seruni. Ia mengajak Laila yang saat ini belum memakai kerudungnya. Seruni baru ngeh, kalau Laila tidak memakai kerudung. "Eh, kamu nggak pakai kerudung, Laila?"
"Astaghfirullah ... aku lupa, Ma. Aku ke kamar dulu, Ma!" ujar Laila yang berlari ke kamarnya. Karena kebiasaannya yang tidak langsung memakai kerudung saat bangun tidur.
Kalau di rumah, Laila memang tidak memakai kerudung. Berbeda sekarang yang berada di tempat yang berbeda. Bisa saja ia menemui Redho dan melihat rambutnya. Apalagi di vila ini ada pria yang bertugas menjaga vila dan membersihkan kebun.
Saat berlari, ia menemui Pramono yang baru pulang dari mushala. Ia berhenti karena melihat kakeknya.
"Kenapa pagi-pagi malah lari-larian, Laila?" tanya Pramono dengan heran.
"Aku lupa, Kek. Aku nggak pakai kerudung. Nanti ada yang lihat, bagaimana? Aku ke kamar dulu, ya Kek," pungkas Laila berlari menuju me kamarnya.
Pramono menggelengkan kepalanya. Cucunya itu memang seperti itu sifatnya. Kadang seperti gadis kecil yang suka berlarian ke sana-kemari. Pramono menuju ke dapur untuk mengambil air minum.
Laila membuka pintu kamar dengan terburu-buru. Alhasil, pintu itu terdorong keras menabrak tembok. Terdengar suara keras dan membuat Hilman kaget. Ia baru saja terlelap, kini harus terkaget karena dobrakan pintu yang dilakukan oleh Laila.
"Siapa sih, yang membanting pintu!" pekik Hilman. Ia bangun dari tidurnya dan melihat Laila berdiri di depan pintu.
Laila meringis, terlihat giginya yang putih. Ia sungguh tidak sengaja karena terburu-buru. Ia perlahan menutup pintunya dari dalam. Kalau Hilman marah padanya, ia harus menghadapinya.
"Kamu, Laila! Ngapain membanting pintu segala?" tanya Hilman yang sudah tidak mengantuk lagi. Suara pintu itu seakan menjadi cambuknya untuk menyadarkan nyawanya. Ia berdiri dan menghampiri istrinya.
"Emmm ... maaf, aku tadi tidak sengaja," ungkap Laila. Ia kemudian mencari kerudungnya yang berada di lemari pakaian. Ia mengambil kerudung berwarna biru muda.
Hilman mengambil handuk di lemari dan masuk ke kamar mandi. Karena tidak mungkin juga bisa tidur lagi. Ia harus membersihkan semua kotoran yang melekat di badannya. Sementara Laila sudah sudah selesai memakai kerudung dan keluar dari kamar.
Laila menghampiri Seruni yang berada di ruang keluarga. Di sana Seruni sedang duduk sambil menunggu Laila. Ia tersenyum dan meletakan ponselnya di meja. Ia mempersilahkan Laila untuk duduk di sampingnya.
"Mama ingin berbicara dengan Laila. Apa Laila ada waktu untuk berbicara dengan mama?" tanya Seruni pada Laila.
"Bicara apa, Ma? Laila sebenarnya biasanya menyiapkan makan buat kakek. Apa tidak apa-apa, aku ngobrol sama Mama?"
"Enggak, Laila. Mama hanya mau berbicara sama Laila. Apa semalam kamu tidur dengan nyenyak?" tanya Seruni.
"Iya, Ma. Kamarnya nyaman banget. Aku nggak pernah tidur di kamar yang seperti semalam," jujur Laila.
"Apa Hilman memperlakukanmu dengan baik? Kuharap Hilman tidak bersikap kasar padamu. Wataknya keras seperti papanya."
"Dia–"
"Dia kenapa? Dia kasar padamu? Mana, mama ingin lihat di mana! Biar mama obatin kamu." Seruni membolak-balik tubuh Laila.
"Eh, enggak, Ma. Mas Hilman tidak berbuat kasar pada Laila, kok. Dia sangat baik pada Laila," tutur Laila membela Hilman. Walau sebenarnya Hilman berbuat kasar semalam. Ia tidak mau mengadu pada mertuanya. Urusan rumah tangganya, biarkan menjadi urusan pribadinya. Lagipula saat ini Hilman sudah tidak emosi lagi padanya.
"Oh, syukurlah kalau begitu. Kamu tidak bohong, kan? Sekarang di mana Hilman?" selidik Seruni. Karena semalam ia mendengar suaminya mengatakan bahwa Hilman baru masuk ke kamar pengantinnya dengan pakaian yang acak-acakan.
"Dia lagi mandi, Ma," jawab Laila. Laila juga belum mandi pagi ini. Setelah membuat sarapan, ia biasanya akan mandi di bak mandi. Tapi sekarang belum saatnya.
Sementara Seruni sedang menunggu Redho yang sedang mandi duluan. Nanti setelah Redho, baru gilirannya. Setiap kamar di vila tersebut, memiliki kamar mandi masing-masing ada satu. Itu yang membuat mereka tidak perlu lama antri. Hanya bergantian dengan satu orang saja.
"Kita menunggu saja di sini, hihihi. Papa mertuamu juga lagi mandi. Kita ngobrol begini tidak apa-apa, yah! Anggap saja mama ini ummi kamu sendiri, Laila." Seketika Seruni mengingat Maisaroh, umminya Laila.
"Iya, Ma. Terima kasih," ungkap Laila. Ia juga mengingat umminya. Selama sebelas tahun ini, Laila sudah berpisah dengan kedua orang tuanya karena dipanggil Sang Pencipta.
"Andaikan ummi kamu masih ada, mungkin kami sudah mengobrol sesama wanita. Tapi tidak apa-apa, Laila. Ada kamu, mama sudah tidak kesepian lagi di rumah."
"Kenapa kesepian, Ma? Bukannya ada Raisya? Ada papa? Ada mas Hilman juga? Selain itu, ada bik Siti dan Dini," ujar Laila.
"Tidak apa, Laila. Mungkin mama yang merasa sepi saja. Raisya harus sekolah, papa dan Hilman kerja di perkebunan. Sementara bik Siti dan Dini, kami memang tidak dekat." Seruni memang tidak pernah berbicara banyak dengan keduanya. Lagipula mereka tidak berani berbicara bebas di hadapannya. Pernah sekali Dini yang berbicara spontan dan langsung ditegur oleh Siti.
"Kalau begitu, mengapa mama tidak ajak mereka berbicara?"
"Sudahlah Laila. Yang penting ada kamu di sini. Mama boleh memeluk Laila? Kamu satu-satunya menantu mama, Sayang," ujar Seruni.
"Ma?"
"Iya, Sayang?"
"Kan ada Mbak Eva. Bukannya mbak Eva menantu mama juga, kan?"
"Entahlah Laila. Mama hanya tahu, kamulah menantu mama," tandas Seruni.
Sementara di balik pintu, ada Eva yang mendengar ucapan Seruni. Ia baru saja selesai mandi dan ingin bertemu mertuanya dan ingin memasakkan sesuatu untuk Seruni. Tapi mendengar perkataan Seruni yang mengatakan bahwa Laila menantu satu-satunya, membuat hatinya hancur.
***