Malam harinya, Aisyah tidak bisa tidur. Dia terus mengingat pertarungan antara dirinya melawan seorang gadis bernama Florensia Sihombing.
Efek yang dihasilkan berupa ototnya yang menegang. Aisyah tidak mampu bergerak untuk sementara. Dia membuka jilbab, melepaskan ikat rambut kuning menaruhnya di meja. Rambut pendeknya berurai dipenuhi keringat. Dia mendongak ke atap ruangan sambil merasakan pertarungan sebelumnya. Aisyah memejamkan kedua matanya.
Namun alih-alih mimpi yang indah, malah yang dia dapat berupa mimpi buruk. Kepala Aisyah sering berpindah-pindah. Keringat dingin mengalir wajahnya. Dadanya mengalami sesak napas.
Kedua kelopak matanya terbuka lebar tiba-tiba. Dia bangun dari sebuah kota. Banyak orang berlalu lalang di sekitar. Mereka mengabaikan keberadaan Aisyah. Anjing menggonggong dan kucing mengeong bergantian. Kadang kedua hewan saling berseteru untuk memperebutkan makanan.
Sebuah gang sempit yang dipenuhi banyak mayat tidak berdosa. Termasuk anak kecil dan dewasa. Kondisi mereka memprihatinkan. Mata Aisyah terbelalak tidak percaya. Serasa dirinya ingin muntah melihatnya. Namun anehnya Aisyah tidak dapat melakukannya. Dia merasakan, sebuah asap mencoba ke rongga hidung Aisyah. Tetapi tidak berhasil. Aisyah menerawang tubuhnya. Aku telanjang bulat, jeritnya dalam hati. Beruntung, tidak ada yang melihat dirinya. Pertama-tama, dia harus mencari kain untuk menutupi tubuhnya.
Aisyah melihat kain warna hitam. Dia langsung mengambil kain usang, menutupi kepalanya hingga tubuhnya. Lalu Aisyah mencoba berbaur dengan orang-orang sekitarnya. Ketika berada di tengah-tengah, ternyata mereka mengenakan baju dari kain goni. Ada juga tidak mengenakan baju hingga menampakkan tubuhnya penuh luka atau kotoran. Para laki-laki mengangkut sebuah kotak kayu ke tiap pedagang. Aisyah menduga mereka adalah kaum budak. Kemudian, dia bergegas menuju pintu keluar yang dijaga dua orang penjaga.
"Beneran tubuhku tembus pandang."
Sesampainya di sana, sebuah medan area pertempuran besar di sekitarnya. Ada puluhan pagar terbuat dari kayu runcing. Ratusan budak sedang menggali parit dan kubangan untuk pertahanan. Para prajurit turut membantu budak meski keduanya berbeda sisi. Aisyah berlari menuju ketiga ksatria berjubah.
Para ksatria mengenakan baju putih dengan lambang salib merah di bagian dada baju zirah. Jubah dan helmet yang mereka kenakan dilepaskan untuk dicuci. Beberapa dari mereka memasang baju zirah. Meminum botol berisi air putih. Senjata mereka gunakan lebih banyak pada pedang.
"Tidak mungkin. Ini kan Knights Templar!" katanya tidak percaya.
Saat dirinya mau menyapa mereka, sosok perempuan berpakaian suster ke arah laki-laki penuh luka mata kiri. Sekilas tidak ada yang aneh, hingga dia melihat sosok perempuan tidak asing. Rambut pendek warna hitam dan membawa kalung salib perak.
"Kakak!"
"Florensia! Kenapa kau kemari?"
"Aku mengkhawatirkan kakak, tahu? Memangnya tidak boleh?"
Mulut Aisyah menganga. Tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Aisyah bersembunyi di balik batu sambil mengintip kisah mereka. Jangan-jangan, Florensia yang kutemui di sekolah itu mengalami reinkarnasi? Ucapnya tidak percaya.
Karena penasaran, dia mencoba mendengarkan percakapan mereka.
"Nona Florensia, sebaiknya anda jangan berada di sini! Tempat ini perang lho!"
"Aku tahu itu! Tapi … aku tidak ingin berpisah sama kakak!" katanya meneteskan air matanya.
Kakak Florensia menghampiri laki-laki yang melarang, memukul kepala lebih keras.
"Jangan membuat adikku menangis!" katanya memasang ekspresi kesal.
"Maaf habisnya adikmu lucu sih. Jadi sesekali menggoda sedikit."
"Sedikit apanya? Yang ada malah aku yang kena hukuman oleh Grand Master!"
"Grand Master? Oh Grand Master Bernard ya?"
"Tapi apa tidak apa-apa Raja Baldwin III memberikan tanah Gaza padanya?"
"Ya. Lagipula, kita terpilih oleh Gereja karena mereka sedang disibukkan membangun benteng di beberapa wilayah Prancis. Apalagi kinerja Grand Master yang baru terlihat kurang meyakinkan. Ditambah kita harus merekonstruksi kota dan benteng sekaligus. Benar-benar Grand Master yang menyebalkan."
Apa yang disampaikan kakak Florensia ada benarnya. Dia melihat puing-puing bangunan kota yang hancur akibat perang Salib kedua. Belum lagi kesejahteraan rakyat Gaza sangat rendah. Aisyah menggigit bibirnya sampai berdarah. Tangan dikepalkan melihat pemandangan mengerikan.
"Kenapa? Apa ada hal yang membuatmu tidak nyaman?" tanya kakak Florensia menatap adiknya.
Dia menggeleng pelan.
Florensia memegang kalung perak sambil berdoa. Kedua kakinya berlutut meski tanahnya bercampur dengan darah. Matanya terpejam sambil kedua tangan dikepalkan. Sebelum melakukannya, dia mencium kalungnya sambil bergumam.
"I come courageously asking for Your divine safety and protection over the world. You told us to always pray, for You are able to keep, take care of, and bring to pass the things that I hand over unto You in prayer. Lord, I commit all things into Your able hands. Father, I pray that You would send strong and mighty angels to watch over the world, cities, and communities. May You envelope each one in a hedge of protection to keep safe in all their ways."
Meski kedengarannya seperti berdoa, setidaknya Aisyah paham bahwa setiap orang butuh perlindungan dari kepercayaan masing-masing.
Laki-laki itu berjalan mendekati ketiga ksatria dan Florensia. Ketika berusaha mendekatinya, muncullah seorang laki-laki dengan baju zirah serupa. Dia membuka helmnya, ternyata sosok laki-laki berambut coklat pendek. Dengan bekas luka pada pipi kanan akibat sayatan pedang. Mata biru muda dengan minim kumis dan janggut.
"Pascal kah?"
"Leo! Sudah lama tidak bertemu, saudaraku."
Keduanya saling berpelukan erat. Florensia menemui laki-laki bernama Pascal Fouquet. Dia mendapatkan elusan kepala olehnya. Senyuman di bibirnya telah melelehkan hati Florensia. Ketiganya bertemu setelah sekian tahun tidak bertemu.
"Leo, bagaimana kabarmu?"
"Baik-baik saja. Orang tuaku sehat berkat ramuan yang kau berikan padaku."
"Benarkah? Puji Tuhan atas mukjizat dengan engkau berikan. Lalu adikmu?"
Leo mengacungkan jempol ke arahnya. Dibalas dengan senyuman Pascal. Keduanya saling merangkul sisi bahu disertai tertawa bersama. Kedua ksatria saling melongo sekaligus menatap dengan keheranan.
"Kalian saling kenal?"
"Ya! Kami dulunya teman masa kecil. Terakhir kami bertemu saat berada di Gereja Ambronay Abbey."
"Ambronay Abbey? Bukannya di sana ketat dan harus mengikuti aturan dari Santo Benediktus?"
Pascal mengangguk muram. Dia tidak ingin membicarakan soal ordo keagamaan yang dianutnya. Termasuk Leo dan Florensia. Perkataan barusan membuat cepat menyadarinya.
"Maaf … apa barusan kami membuka luka lama?"
"Tidak juga. Hanya saja, kami menyadari bahwa aturan Benediktus cukup ketat bagi orang seperti kami."
"Lalu, siapa saja yang tahu akan hal ini?"
Ketiganya saling menoleh. Florensia menarik napas panjang. Gadis itu melangkah ke depan, mendekati salah satu Knights Templar.
"Tidak ada kecuali kalian," bisik Florensia. Dia menambahkan kalimat lagi. "karena aturan Santo Benediktus masih baru diadopsi oleh komunitas biarawati. Karena baru itulah, tidak ada yang berani menerapkan ini di gereja lainnya."
Mereka yang mendengarnya menelan ludah. Kedua ksatria menoleh pada Pascal dan Leo, yang nampaknya wajah mereka muram akibat perkataan dari Florensia.
"Baiklah. Aku tidak akan mengatakan apapun atau bertanya lebih lanjut soal ini. Tapi sebagai gantinya, kalian berdua harus membantu kami."
"Ya! Aku ingin kita semua pergi dari kota Gaza ini."
"Pergi dari kota Gaza? Apa kau serius?" ucap Pascal tidak percaya.
"Ya! Barusan memang ada titipan surat dari Templars. Isi suratnya berupa melepaskan wilayah tersebut dan membiarkan Grand Master Bernard de Tamelay di kota tersebut."
Dia juga menunjukkan amplop dengan stempel cetakan lambang Templar. Kemudian, Pascal membukanya. Isinya persis yang disampaikan oleh dia.
"Tidak salah lagi. Ini tulisan dari Grand Master sebelumnya! Bagaimana kalian mendapatkan surat ini?" tanya Pascal lagi.
"Kami mendapatkannya dari seorang pengirim. Surat pertama berupa pencabutan gelar pada Grand Master Everard des Barres karena gagal menghadapi perang salib kedua di Damascus."
Ketiganya menarik napas panjang. Saling merutuki satu sama lain karena Templar telah gagal menghadapi Kerajaan Byzantium, pasukan muslim.
"Bagaimana, Pascal? Apa kau menerima tawaran dari mereka?" tanya Leo pada Pascal.
Ketika dia menjawab, pemandangan berubah menjadi putih. Kedua mata Aisyah serta teriakan kencang. Seketika, dia terbangun dari tidurnya. Aisyah menoleh pada ibu angkatnya.
"Ya Allah nak. Kau kenapa?"
"Bukan apa-apa. Hanya mimpi buruk semata?"
"Tapi barusan mama dengar kau membacakan doa katolik lho. Apa mama salah?" tanya beliau pada Aisyah.
Namun dia membalasnya dengan gelengan kepala. Hanya berbisik ke telinga ibu angkatnya.
"Aku tidak apa-apa, mah. Sebaiknya mama tidur saja, ya."
Ekspresi beliau terlihat khawatir. Apalagi kondisi Aisyah pucat pasi dan dipenuhi banjir keringat di sekujur tubuhnya. Beliau ingin menanyakan lebih lanjut. Tetapi waktu sudah malam. Tidak baik jika bertanya lebih dalam.
Lampu dimatikan oleh ibu angkatnya. Menyunggingkan senyum masam pada putri semata wayangnya.
"Jangan lupa baca ayat kursi."
"Ok, mah!"
Kemudian, Aisyah tertidur pulas sambil membacakan doa tidur. Perlahan tapi pasti, kedua matanya berat untuk melek. Seketika, dia tertidur dengan nyenyak. Tanpa terganggu oleh mimpi buruk barusan.