"Cepatlah Yumi! Kita terlambat nih!" gerutu gadis berambut panjang berlari ngos-ngosan.
"Aku tahu Ricchan! Tapi aku sudah mulai kelelahan nih! Mana sibuk mempersiapkan untuk keperluan OSIS?"
"Lagipula, kenapa kau harus meladeni mereka sih? Apa untungnya buatmu Yumi? Kau itu terlalu baik."
Pagi hari pada jam 07.40. Para siswa berjalan menuju Osaka Shin-Ai Jogakuin yang berada di Osaka, Jepang. Mana pelajarannya berupa olahraga di jam pertama. Alasannya karena guru yang mengajar, Pak Ryohei sedang ada kepentingan darurat. Jadi, beliau hanya menemani siswa sebentar. Sisanya, menyerahkan kepada ketua sekolah. Kemarin, beliau sudah mengumumkan akan ada sedikit perubahan di minggu ini saja. Selanjutnya berupa ilmu seni, ekonomi dan kimia.
Belum lagi, kereta komuter JR Tōzai Line yang mereka tumpangi terlambat lima menit karena perbaikan pada rel. Sehingga sampai stasiun Sekime sekitar pukul 07.25. Sisanya berjalan kaki selama 15 menit. Beruntung, bel masih belum berbunyi pada jam segitu. Sehingga guru olahraga tidak mempermasalahkannya. Tetapi Yumi dan Rina yang menginjak kelas 2, dirasa tidak nyaman karena mayoritas yang berjalan kaki adalah kelas 1.
Berciri-ciri rambut ponytail serta mata coklat yang indah, Yumi memancarkan aura menentramkan. Sedangkan Rina Shirasaki berambut panjang disertai tatapan mata sedingin es. Membawa tas berwarna biru. Dari mata mereka, kedua gadis itu menghubungi 'pacar' masing-masing. Yang paling agresif adalah Rina lantaran dia lebih banyak nge-date ketimbang latihan. Terlihat kepalan tangan pada Yumi mulai mengeras di bagian ototnya.
Mereka berdua sering pergi dan pulang bersama dengan naik kereta komuter. Jarak kedua rumah mereka bersebelahan. Rumah Yumi bercat dinding merah. Sedangkan Rina bercat abu-abu. Hanya saja, taman cukup luas karena terdiri dari kebun dan kolam ikan koi. Di samping itu, kotak pos tidak dimiliki oleh Rina. Sangat kontras dengan rumah Yumi.
Sebelum Rina dan Yumi saling kenal, mereka sebatas hubungan tetangga semata. Bahkan sekedar saling sapa saja mereka tidak peduli. Bukan tidak peduli lebih tepatnya. Hanya saja, orang tua Yumi sibuk dengan pekerjaan di kantor. Membuat putri semata wayangnya kesepian. Akan tetapi, semua berubah ketika keduanya menginjak umur 6 tahun. Dimulai saat masih Taman Kanak-kanak di sekolah sama.
Waktu sore hari, Yumi berjalan pelan pulang menuju ke rumahnya. Boneka beruang ditaruh di tas miliknya. Saat berada di taman, Yumi kedatangan tiga orang laki-laki. Kedua orang laki-laki bertubuh besar seperti pesumo. Sedangkan satunya bertubuh kurus dengan rambut jambul.
"Mau kemana, dasar aneh!"
"Jangan m-m-memanggilku aneh, dong."
"Diam kau! Di kelas, kau selalu bicara sendirian, tidak peduli di manapun berada! Benar, 'kan teman-teman?"
Para pembully lainnya terkekeh mendengarnya. Yumi menitikkan air matanya. Dia dibully setiap hari tanpa henti. Tidak ada perkataan keluar dari mulutnya, karena gadis itu tidak mampu membalas perkataan mereka. Akibatnya, laki-laki bertubuh besar menyuruh temannya untuk menjahilinya. Salah satu pembully mengambil sekaligus merogoh isi tasnya dan mendapati boneka beruang. Yumi mencoba merebutnya. Tetapi, direbut secara paksa.
"Tolong kembalikan bonekaku!"
"Tidak mau! Kalau mau, ambil sendiri!" ejeknya.
Air mata Yumi Bukannya berhenti menangis, Yumi semakin menangis keras. Berharap ada seseorang yang menolongnya.
"Hentikan!"
Teriakan muncul dari seseorang dari kejauhan. Pakaian yang dikenakan warna kuning disertai rok dan rambut pendek. Dia berjalan, melangkahkan kedua kakinya dengan berat. Tujuannya untuk menakut-nakuti mereka.
"Siapa kau?" tanya tukang bully kepada gadis itu.
"Tidak perlu tahu siapa aku. Berhenti mengganggu dia! Atau tidak … kalian akan merasakan akibatnya," ancamnya.
"Huh! Kami tidak takut kepadamu, gadis kecil! Jangan sok jadi—" tiba-tiba tubuhnya dibanting oleh gadis itu. Lebih tepatnya dia mengunci lengan kiri ke belakang, memutar dan mendorongnya ke belakang.
Yumi berhenti menangis. Dia mengusap air matanya, terkesima dengan aksi tersebut. Mata Yumi berbinar-binar. Melihatnya sebagai sosok pahlawan. Sementara itu, para pembully tidak terima dengan perlakuan tersebut.
"Sialan kau!"
"Apa? Kau mau menyerangku? Silakan maju ke sini!" tantangnya memberikan isyarat berupa telapak tangan diayunkan ke bawah.
Laki-laki berbadan kurus menagyunkan pukulan uppercut kepadanya. Akan tetapi, dia menarik lengannya, menggunakan sikut kiri. Mendorong sekuat tenaga. Lalu laki-laki bertubuh besar melancarkan pukulan serupa. Gadis itu memlintir lengan kanannya, sekaligus menjegal dengan keras hingga terjatuh. Dia menarik secara kasar lengannya hingga jeritan keluar dari mulu laki-laki bertubuh besar.
"Ampun, ampun, ampun! Ampuni kami!"
"Enyahlah! Sekali aku kelihatan kau menyakiti orang lain atau orang ini, lenganmu akan kupatahkan."
Ancaman tersebut membuat mereka langsung berlari ketakutan, sambil meneriakkan sesuatu, "cepat pergi dari sini!"
Helaan napas keluar dari gadis itu. Beruntung, tidak ada orang di sekitarnya, bisa-bisa dirinya dilaporkan ke pihak berwajib. Bisa-bisa urusan tambah panjang. Lalu dia mendekati Yumi. Tas yang direbut, sudah dikembalikan kepadanya.
"K-kau baik-baik saja?" tanyanya tersenyum.
"Aku baik-baik saja. Sepertinya aku kurang latihan ya. Tubuhku kaku banget."
"Latihan? Jadi barusan itu?"
"Itu teknik aikido. Yang barusan itu teknik Getan-ate dan Hiji Garami." jawabnya bernada malas.
"Luar biasa. Tidak kusangka kau bisa mengalahkan mereka dengan mudah." puji Yumi.
"Tentu saja. Ayahku memegang gelar master di dojo milikku. Beliau mengajariku teknik aikido kepadaku dan para muridnya."
Ekspresi terpancar dari wajah Yumi. Kedua bola matanya berbinar-binar. Mulutnya ternganga, mengagumi aksi Rina yang dilanda kebingungan.
"Dasar! Mereka cuma bisa ngebully doang. Tidak mampu melawan gadis sepertiku!" ucap Rina mengangkat dagunya.
Secercah harapan terlihat dari raut wajah Yumi. Gadis itu tidak tahu harus berkata apa setelah melihat Rina. Kedua tangannya ditaruh di pinggang. Mengacungkan jari telunjuk ke langit sambil tertawa terbahak-bahak. Rina berbalik badan. Mulai berjabat tangan kepada Yumi. Gadis itu menggoyangkan tangan kanan Rina.
"Tidak perlu takut, Yumi. Kata ayahku, aku harus menolong orang kesusahan siapapun orangnya. Oh ya, perkenalkan. Aku Rina Shirasaki. Panggil saja Rina," ucap Rina.
"Kalau begitu … panggil aku Yumi. Bolehkah aku memanggilmu Ricchan?"
"Rina yang benar! Panggilan itu … sangat memalukan bagiku," ekspresi Rina merah merona.
Yumi menyunggingkan senyum. Rina ikut membalasnya. Mereka berdua tersenyum lebar. Sejak itulah, hubungan kedua terjalin dengan baik dan susah terpisahkan kecuali acara keluarga. Mereka berdua memutuskan untuk menginap di rumah Rina. Nantinya, orang tua Yumi akan menjemputnya sehabis pulang kerja. Di depan pintu, terdapat garda bertuliskan Shirasaki yang merupakan nama marga keluarganya. Rina dan Yumi masuk ke dalam rumah. Melepas sepatu sekolah, menggeser pintu ke samping.
"Aku pulang!" teriak Rina.
"Rina … darimana saja kau!" teriak seorang wanita dari ruang dapur.
"Aku barusan menyelamatkan dia dari tukang bully, Kaa-san!"
"Waduh. Kenapa tidak bilang daritadi? Apa kau baik-baik saja nak?" kata Ibu Rina memperhatikan kondisi Yumi.
"Aku baik-baik saja kok, Obaa-san."
"Kaa-san yang benar! Kenapa yang harus dikhawatirkan itu dia, bukan aku sih?" kata Rina memasang cemberut.
Namun Ibu Rina memasang muka senyum menyeramkan. Wajah Rina dipenuhi keringat dingin. Dia mundur beberapa langkah, memojok diri sambil berharap dirinya mendapatkan ampunan dari Ibunya. Rambut beliau diikat kuncir kuda. Memudahkan untuk memasak di dapur. Apabila dilepas, rambut memanjang sampai seperempat tubuhnya. Sambil mengenakan apron bergambar panda. Kacamata hitam selalu dikenakan meski memasak sekali pun. Kaos merah putih bergaris-garis dan rok selutut dengan sandal slipper.
"Habisnya kalau aku memukulmu, pasti kau bisa membalasnya kan?"
"Bukan itu masalahnya, Kaa-san!"
"Benarkah? Ngomong-ngomong, siapa temanmu itu?"
"Lupakan sejenak perkataanku tadi. Kenalkan, nama dia Yumi.
"Nama saya Yumi. Salam kenal juga, obaa-sama," cara pengucapan dari Yumi sedikit formal membuat Ibu Rina tersipu malu.
"Yumi-chan ya? Kau pasti kelaparan bukan sehabis pulang dari sekolah?"
"Soal itu—"
Ibu Rina menyunggingkan senyum kepada Yumi. Bibir beserta matanya memancarkan kehangatan. Yumi melirik sekitarnya. Ruang makannya rapi. Dipenuhi makanan di atas meja. Kursi berjumlah empat orang. Hidangan yang disajikan berupa tamagoyaki, tempura serta sup kacang dan tahu. Yumi dan Rina duduk di kursi. Membelah sumpit jadi dua bagian. Saat hendak berdoa, muncullah langkah derapan cepat dan hentakan keras dari luar. Helaan napas dari Ibu Rina. Melompat tinggi menemui teman barunya.
"Ada tamu kah? Selamat datang di keluarga Shira—" Ibu Rina menendang perut seorang pria yang mendobrak pintunya.
Tendangan dari Ibu Rina lebih keras sampai Ayah Rina terpental ke dinding. Mulutnya sampai keluar berbusa. Yumi bergidik melihat pemandangan seperti itu. Menoleh pada beliau sembari menelan ludah. Tangan kiri Ibu Rina menyentuh pipinya. Menyipitkan kedua mata.
"Dasar, Juzo! Jangan menakuti tamu baru kita dong," keluh Ibu Rina mengambil memegang sendok sup dari lemari dapur.
"Yuuko-chan! Biarkan aku ingin mengelus-elus teman putriku ini."
"Apa kau tidak punya rasa malu?"
"Ayolah! Sesekali saja aku ingin memeluknya," balas Ayah Rina disertai kedua lengan saling berangkulan.
"Ya ampun. Rina, cepat bawa dia ke kamamu. Makannya kau bawa ke kamarmu saja. Otoo-san perlu diberi pelajaran sampai kapok," kata Ibu Rina melakukan pemanasan jemari-jemarinya dengan ekspresi senyuman iblis.
Seketika, Juzo bergidik. Tubuh beliau tidak mampu berkutik. Pasalnya, Yuuko mengeluarkan aura beserta topeng oni di belakangnya. Juzo menadahkan tangan kanan pada Rina dan Yumi. Terutama meminta bantuan kepada putri semata wayangnya. Tetapi, dia malah menjulurkan lidah disertai kelopak mata bawah ditarik. Ekspresi Juzo syok melihatnya.
Rina dan Yumi menaiki tangga secara bergantian. Membawa makanan dengan hati-hati. Sekaligus menunjukkan sebuah pintu bertuliskan nama Rina. Serta sebuah tulisan keep out! Menandakan siapapun yang boleh masuk hanya dirinya. Knop pintu dibuka oleh Rina. Ternyata ruangannya dicat warna putih dan pink. Ditambah puluhan boneka dipajang di alas dinding dalam kondisi terpaku. Peralatan tulis serta lemari yang disusun rapi hingga lantai tatami hijau bersih dari debu.
"Luar biasa sekali!" puji Yumi dilontarkan pada Rina.
"Tentu dong! Aku ingin tunjukkan sesuatu padamu."
Rina membuka selorokan lemari. Tangan kanan meraba sebuah benda. Dia menunjukkan kepada Yumi. Sebuah kotak hitam tanpa merk. Lalu dibuka olehnya, ternyata berisi kalung mainan berbentuk koin berwarna biru. Rina membantu memasangkan ke leher Yumi. Setelah dikalungkan olehnya, dia melihat cermin dekat meja belajar. Sedangkan Rina menaruh nampan makanan di bawah sambil duduk bersila. Menatap Yumi sambil memutarbalikkan badan dengan ekspresi senang.
"Indahnya," puji Yumi.
"Apa kau suka? Soalnya ini buatanku sendiri," tukasnya menggesek-gesek tatami.
"Sungguh? Ini buatanmu?"
"Y-ya."
Yumi langsung memeluk erat Rina. wajahnya dipenuhi rasa gembira. Bahkan dia tidak mau melepaskan begitu saja. Akhirnya, keduanya pun cepat menghabiskan makanan sebelum keburu dingin. Sejam kemudian, orang tua Yumi menghubungi orang tua Rina. Mereka datang untuk menjemput anak yang berencana menginap di rumah Rina.
Ayah Rina, Juzo selalu mengenakan baju latihan aikido dengan sabuk hitamnya. Padahal sudah diingatkan oleh istrinya, Yuuko untuk berganti pakaian. Sayangnya, Juzo tidak mau mendengarkan ucapan orang lain. Terutama dari istrinya sendiri. Mereka memutuskan untuk mengajak orang tua Yumi minum dan makan bersama. Setelah mengantarkan Yumi ke rumah. Kebetulan juga, rumah mereka ada bersebelahan. Orang Tua Yumi bercerita, baru-baru ini keluarganya baru pindah dari Sendai. Mereka baru saja mendapatkan pekerjaan setelah di tempat sebelumnya mengalami kebangkrutan. Sehingga jarang ada di rumah. Juzo mengangguk paham dengan situasinya.
"Begini saja. Kami akan menjaga Yumi selagi kalian tidak ada di rumah. Toh putriku dan para murid bodohku senang ada gadis kecil seperti dia," usul Juzo.
"Kalau begitu, kami tertolong. Terima kasih, Juzo Ojii-san. Tolong rawat putriku selagi tidak sibuk," kata Ayah Yumi membungkukkan badan bersama istrinya.
Yumi membuka mulutnya. Berteriak gembira serta menari-nari bersama Rina. Sejak itulah, jalinan pertemanan mereka dimulai. Hubungan kedua keluarga juga sulit dipisahkan. Begitu juga dengan keluarga dari Rina. Keluarga Yumi sering memberikan uang kepada Juzo sebagai balas budi atau memberikan uang pesangon. Tidak lupa juga mengunjugi atau menitipkan Yumi ke rumah Rina. Apabila ada kesulitan, Juzo mau pun Yuuko memiliki kontak, jadi bisa saling membantu satu sama lain. Bahkan tetangga sendiri juga terkejut karena keluarga Shirasaki yang selama ini wataknya keras dan sukar didekati.
Di samping itu, para murid semakin bertambah berkat kehadiran Yumi itu sendiri. Karena tidak mau dicap sebagai maskot, gadis itu ikut berlatih aikido bersama Rina. Bahkan dia mempelajari sedikit mengenai teknik karate. Yumi menyadari ada kelemahan pada aikido. Yaitu tidak cocok menggunakan teknik pertarungan di jalanan atau bersifat ilegal. Sementara itu, Rina memilih berlatih aikido di dojo milik Ayah Rina. Karena hanya beliau satu-satunya memegang sabuk master. Sayangnya, kehidupan sekolah menengah pertama hingga atas menumbuhkan rasa malas dalam diri Rina. Hal itu disebabkan karena kurangnya orang di dojo. Serta teman-temannya sibuk berdandan selayaknya seorang wanita. Meski Yumi menyukai juga, tetap bisa mengatur kapan waktu untuk merias diri dan berlatih fisik. Sangat disayangkan seusianya jarang berlatih.