Hingga saat ini, orang tuan Rina, Juzo dan Yuuko tidak tahu harus bersikap atau berkata seperti apa terhadap putri semata wayangnya. Semenjak itulah, hubungan di antara mereka dan Rina mulai terputus. Kalaupun bicara, hanya seperlunya. Tidak seperti dulu yang terjalin akrab.
Juzo mengkhawatirkan kondisi Rina yang semakin memberontak. Akhirnya, beliau menemui Yumi di rumahnya. Sambil berharap pada gadis berambut ponytail. Beliau langsung bersujud di lantai. Kedua telapak tangan berjaga jarak. Dari kening hingga bibirnya bersentuhan lantai. Membuat Yumi kelabakan melihat sikap beliau. Mengira bahwa gadis berambut ponytail melakukan kesalahan.
"Saya mohon untuk selalu bersahabat dengannya, apapun terjadi. Ojii-san tidak tahu kepada siapa meminta tolong selain dirimu."
"Y-ya. Tapi kenapa anda bersujud? Saya tidak mengerti."
"Habisnya, dia tidak mau bicara denganku sejak itu. Apa karena Rina-chan punya pacar? Atau semacamnya?"
Yumi sendiri mengakui juga tidak tahu. Tetapi, gadis berambut ponytail tidak bisa mengatakan secara langsung. Kedua telapak tangannya melambai-lambai cepat. Kedua bola matanya masih menatap beliau yang terus bersujud. Entah sampai kapan beliau berhenti melakukannya.
Pada akhirnya, Yumi menerima permintaan Juzo untuk terus bersahabat dengannya. Napasnya tidak beraturan setelah berlari kencang dengan Rina. Secara fisik, Yumi seharusnya lebih baik dari sahabatnya. Akan tetapi, karena dia menerima tawaran untuk memperbaiki pekerjaan yang dilakukan OSIS, mau tidak mau harus begadang semalaman suntuk. Demi menyukseskan acara nantinya. Termasuk Festival olahraga yang akan datang.
Hembusan angin kencang, membuat para pelajan kaki termasuk perempuan menutup rok pendek mereka melalui kedua telapak tangannya. Untungnya, mayoritas di jalan lebih banyak perempuan. Sehingga aman dari intipan mesum kaum laki-laki melintas dari arah sekolah berlawanan. Sesampainya di sekolah Osaka Shin-Ai Jogakuin, guru piket dengan jaket warna hijau. Serta berkaos oblong putih. Celana hijau putih bergaris dengan sepatu putih membawa timer yang dikalungkan leher. Rambut sasak yang terlihat tidak diberi minyak sehabis mandi. Serta bau badan yang menyengat setelah melakukan jogging pagi. Bercampur keringat di sekitar kaos oblongnya. Beliau menyeka keringat dekat keningnya. Melihat Yumi dan Rina berjalan dengan sempoyongan.
"Untung tepat waktu," Rina ngos-ngosan.
"Yumi! Rina! Kalau jalan harus penuh semangat dong!" ucap pria berjaket warna hijau meninggikan suara.
"Maafkan kami, Akimoto-sensei."
"Nih kuberikan air putih pada kalian!"
Seketika, Rina maupun Yumi terkejut dengan sebuah lemparan dari Pak Akimoto. Sebuah gelas berisikan air putih. Menenggaknya sampai tidak tersisa. Yumi dan Rina mendesah lega setelah meminumnya. Beliau pun memberikan gelas secara cuma-cuma. Di bawahnya, beliau menaruh tiga dus berisikan gelas air minum.
"Enaknya anda produksi sendiri," cibir Rina.
"Berisik! Istriku mendapatkannya dari kerabat jauh yang tinggal di Indonesia. Setidaknya, kau berterima kasih karena itu!"
"Itu malah semakin enak, Akimoto-sensei," cibir Rina.
Tiba-tiba, sebuah kepalan tangan kanan mengarah pada kepala Rina. Gadis berambut panjang mengerang kesakitan. Mengelus-elus kepala sehabis dipukul oleh beliau.
"Apaan sih, Akimoto-sensei!" gerutu Rina melotot tajam pada beliau.
"Itu semua karena kau menjahiliku, bocah. Harusnya kau bersyukur dapat gelas gratis dariku."
"Entah kenapa saya merasa tidak senang dengan ucapan anda soal gelas gratis," gumam Rina menyerah untuk berdebat.
"Kau baik-baik saja Ricchan?" tanya Yumi mengelus-elus kepala Rina sembari berusaha menarik napas cepat.
"Maaf. Tadi aku berlebihan menjahili Akimoto-sensei."
"Lain kali jangan begitu lagi pada Akimoto-sensei. Masih beruntung beliau tidak memberimu nilai E," tutur Yumi menasehati Rina.
"Soal itu jangan sampai deh, Yumi."
Walau Rina mengisyaratkan untuk berhenti mengkhawatirkan dirinya, tetap saja Yumi khawatir dengan kondisi sahabat dia. Di sisi lain, keluarga Rina sibuk melatih para murid dari berbagai macam kota beserta beberapa dari mancanegara. Tidak lain karena Ayah Rina sendiri merupakan pemegang sabuk hitam di salah satu dojo-nya. Dan beliau tidak bisa menolaknya. Yumi sendiri juga murid dari Juzo. Tentu belajar dari beliau tidaklah mudah. Dia mencoba mengatur semaksimal mungkin supaya nilai akademik tidak jeblok saat dilatih oleh Juzo.
Satu-satunya pelajaran yang Yumi tidak bisa kuasai adalah Bahasa Inggris. Nilai rata-rata yang dia dapatkan antara 55-65. Belum lagi, Rina mendapatkan skor paling buruk dengan mata pelajaran serupa. Sampai harus berkali-kali tes ulang sampai mendapatkan nilai 50 ke atas, walau kenyataannya senasib dengan sahabatnya. Itulah alasan kenapa kemampuan Rina semakin menurun.
"Kumohon ajarkan aku Bahasa Inggris. Atau tidak, kasih buku catatan kepadaku dong, Yumi!" ucap Rina memohon kepada Yumi.
"Kau tanya kepada orang yang salah, Ricchan!" balas Yumi melengking suaranya.
Menurut Rina, Yumi cukup pandai dalam bahasa asing. Berbanding terbalik dengannya yang butuh perjuangan untuk menguasai beberapa bahasa. Spanyol, Prancis, Indonesia, Italia dan Bahasa Inggris. Sejak kecil, Yumi menyukai bahasa asing karena sejak kecil suka mendengarkan percakapan orang lain dalam bahasa asnig. Ironisnya, dia kesulitan untuk belajar memahami. Padahal, orang tua Yumi adalah seorang pebisnis yang malang melintang ke luar negeri. Baru-baru ini, mereka mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Jepang lantaran pekerjaannya telah usai. Ayah Yumi, Takeo pandai dalam segala bahasa. Dimulai bahasa Spanyol, Prancis, Indonesia, Italia, Inggris hingga Rusia sekalipun. Ibu Yumi, Umiko ikut bersama suami meminta bantuan pada Juzo untuk menitipkan putri semata wayangnya untuk tidur di rumah Rina. Bagi mereka, Yumi dianggap sebagai putrinya sendiri. Termasuk Rina. Serta membebaskan pilihan kepada mereka berdua untuk menentukan cita-citanya. Jadi tidak terbebani hanya karena dituntut untuk menguasai bahasa Polygon.
"Maaf! Aku tidak bisa membantumu … jadi kau harus semangat mengerjakan sendiri." Katanya menolak.
"Tidak mungkin! Kau jahat sekali!" keluh Rina memasang ekspresi cemberut.
"Habisnya aku juga tidak mengerti bahasa Inggris juga Ricchan," akui Yumi.
"Sial," gerutu Rina tertunduk lemas.
"Padahal hari ini ada pelajaran olahraga dari Ryohei-sensei. Sialan Pak Botak itu! Akan kubalas kau!" tambah umpatnya, menyalahkan kepada beliau.
Yumi tidak kuasa menahan tertawa mendengar ucapan dari Rina. Langkah kedua kaki gadis berambut panjang diseret keras. Pasrah bahwa dirinya akan dihukum di luar kelas. Ketika memasuki ke dalam sekolah, sebuah rune sihir berbentuk lingkaran putih bersinar terang di tanah. Tidak hanya itu saja, petir menggelegar pada area lingkaran tersebut. Semua orang menatap Rina dan Yumi ketakutan. Pak Ryohei membuka mulutnya. Berlari sekuat tenaga untuk menangkap mereka. Saat jemarinya berhasil menyentuh sebuah partikel cahaya, tangan Pak Ryohei kesetrum.
"A-a-apa ini? Kenapa aku tidak bisa menyentuhnya."
Jeritan dan teriakan dari para siswi. Mereka meneriakkan permintaan tolong. Yumi dan Rina berusaha memukul lapisan partikel cahaya itu. Hasilnya nihil.
"Yumi! Kita harus pergi dari sini!" teriak Rina.
"Tapi bagaimana caranya? Kita terus menggedor lapisan cahaya ini. Tapi tidak kunjung berhasil!" bentak Yumi dengan mata melebar.
Rina mengumpatnya dalam hati. Keduanya terus menggedor tanpa berhenti. Meminta tolong pada Pak Ryohei untuk membantunya melepaskan diri. Beliau juga mencari cara untuk menyelamatkan kedua siswa tersebut. Akan tetapi, saat berbalik arah, tubuh Yumi dan Rina sudah memudar. Para siswi bersama warga sekitarnya terbelalak melihatnya. Ditambah suara dari luar mulai tidak terdengar. Yumi dan Rina hanya bisa melihat teman-teman untuk terakhir kali. Kondisi mereka berangsur-angsur menghilang. Seperti debu bertebaran ke mana-mana.
~o0o~
Kedua mata Rina berkedip perlahan-lahan. Kilauan sinar cahaya menyilaukan indera penglihatan Rina. Gadis berambut panjang bangkit dari berbaringnya. Melihat sekitarnya yang nampak tidak ada bangunan menjulang tinggi kecuali sinar cahaya dari langit. Kedua bola matanya hanya ada pintu berbentuk persegi panjang disertai gembok dilapisi emas murni.
"Aku … aku ada di mana sekarang?" tanya Rina melongo pada sebuah pintu.
"Jangan tanya kepadaku. Aku juga ada di sini baru-baru ini," ucap seorang pria berada di sampingnya.
Terlihat tua, berambut putih serta tidak mengenakan sehelai benang pun. Terlihat alat kelaminnya terpampang jelas di mata Rina. Kulit pada pria tua itu mengeriput. Saraf pada ototnya turut menegang karena mengangkat beban berat di masa lalu. Itu menurut pemikiran Rina sendiri. Beberapa detik berselang, wajah dia memerah, kedua matanya menoleh ke kanan. Sedangkan pria tua itu memiringkan kepalanya. Tidak mengerti dengan reaksi gadis berambut panjang itu. Dia melihat ke pria tua berambut putih dalam keadaan memicingkan kedua mata.
"Kenapa anda telanjang? Cepat pakai baju atau apapun deh!" kata Rina berteriak lantang.
"Kau sendiri juga tidak mengenakan baju kok. Buktinya … kulit serta dadamu sangat mulus dan besar," ucapnya memalingkan wajah.
Rina menunduk ke bawah. Persis yang dikatakan pria tua itu. Wajahnya seketika menutupi bagian alat vital dan kedua payudaranya, saking malunya. Lalu dia berjongkok sambil menutupi semuanya.
"K-k-kenapa aku telanjang begini?" ucap Rina menatap dengan mata melebar dan alis terangkat.
"Sepertinya kita menanyakan ini nanti saja. Sekarang kita harus membuka pintu itu," kata pria tua berambut putih penuh analisa.
"Kenapa anda santai sekali?" sembur Rina.
"Kau mau aku bertanggung jawab soal ini?" tuntut pria tua berambut putih mengerutkan kening.
Namun, gelengan kepala Rina mencoba menghentikan perdebatan konyol di antara keduanya. Kepalanya menoleh ke arah sekitar. Tidak ada siapapun kecuali mereka berdua. Hingga Rina sadar ada seseorang yang tidak muncul.
"Benar juga. Ngomong-ngomong Yumi, menurutmu kita ada di mana?"
Namun tidak ada sahutan dari Yumi. Keringat dingin bercucuran di wajah Rina. Lirikan kedua matanya menoleh ke setiap penjuru. Mencari keberadaan Yumi sekelilingnya. Berharap bukanlah lelucon semata.
"Yumi … Yumi! Kau ada di mana?"
"Siapa itu Yumi?"
"Dia itu sahabatku! Jadi diamlah dan—"
"Saran dariku. Sebaiknya pikirkan dirimu sendiri dulu. Baru orang lain," saran pria tua berambut putih.
"Aku mengerti! Tanpa kau beritahu pun aku paham!" sahut Rina bernada tinggi.
Untuk saat ini, Rina menarik napas terlebih dahulu. Dia akan mencari jawabannya ketika di dalam pintu tersebut. Sekilas, Rina pernah bertemu dengan pria tua berambut putih sebelunya. Tetapi, gadis berambut panjang tidak begitu ingat. Suara maupun wajahnya tidak asing baginya. Belum selesai Rina berpikir sejenak, suara gembok terbuka disertai jatuh ke permukaan. Kemudian, suara pintu berdecit, mulai terbuka dengan nyaring.
"Sepertinya … kita akan menemukan jawaban di dalam pintu tersebut."
"Ya. Aku sependapat denganmu," ujar Rina bernada tegas.
Mereka berdua berjalan melangkah bersamaan. Memasuki ke dalam ruangan. Tanpa memedulikan penampilan mereka. Karena yang mereka cari adalah jawaban atas hilangnya Yumi dan penyebab mereka diculik kemari. Beberapa penjaga mempersilakan kepada keduanya untuk memasuki ruangan tersebut.
"Silakan tuan dan nona. eh—"
"Rina Shirasaki."
"Allen McCarthy."
Para penjaga membungkukkan badan. Mempersilakan mereka masuk. Dua penjaga berdiri tegap. Membiarkan pintu otomatis ditutup kembali. Saat keduanya masuk ke dalam sebuah ruangan, seorang laki-laki berambut putih memanjang dan seorang gadis seumuran dengan pemuda berambut coklat, menatap tajam kepada sosok agung di atas mimbar. Tepatnya mereka baru saja melewati sebuah pintu kehidupan, yang mana takdir mereka akan menanti. Seorang pemuda berambut coklat bernama Hiro, sudah berada di dalamnya.
"Masuklah Rina Shirasaki … Allen McCarthy."