Chereads / Another World Chronicles Universe / Chapter 5 - Chapter 05. Allen McCarthy (Airport & Accident) [Revised]

Chapter 5 - Chapter 05. Allen McCarthy (Airport & Accident) [Revised]

"Ladies and Gentlemen, flight number 30153 to Casablanca, Morocco. The flight has been delayed to bad weather conditions. The flight crew has arrived at the gate, but the ground crew is still de-icing the wings of the aircraft. Our new departure time is 23.35 pm. Thank you."

Pria tua berambut putih mengecek jam tangan merek casio. Menunjukkan pukul 20.00 malam hari. Bibirnya terbuka sedikit, berdecak. Tidak seperti biasanya pesawat mengalami delay dua jam dari jadwal sebelumnya. Ditutup lagi jam tangannya. Mengejar pesawat karena ada urusan kepentingan bisnis di Rabat, Maroko. Pria tua itu telah mengadakan pertemuan dengan salah satu klien dari China. Kaki kanan bergoyang tanpa henti. Tidak sabaran lantaran harus menunggu delay pesaawat. Sebuah layar telah mengonfirmasikan penerbangannya. Di luar, cuaca tidak mendukung berupa badai angin disertai mendungnya awan.

"Kenapa cuaca tidak mendukung sih? Mana baru sekarang pengumumannya. Belum lagi, perjalanan ke sana membutuhkan tiga hari untuk menemui klien," keluhnya.

Pria tua berambut putih berencana menghubungi petugas bandara untuk segera menerbangkan pesawatnya. Tetapi, antrean yang cukup panjang membuat dia mengurungkan niatnya. Tarikan napas berulang kali dilakukan. Bersikap rileks sekaligus menghubungi klien dari China, untuk menunda pertemuan lantaran situasi tidak kondusif.

Tas yang dibawa olehnya berupa buku disertai kamera digital dan paspor atas nama Allen McCarthy. Dia simpan baik-baik supaya tidak terjatuh atau tertinggal. Meski berhati-hati dalam memegang, tidak masalah kalau barang kecil berupa botol plastik ditinggal di bandara.

Semua kebijakan di tiap bandara memberlakukan pelarangan minuman cairan dibawa. Alasannya, takut botol minuman tersebut dijadikan senjata semacam rakitan bom dadakan. Oleh sebab itulah, petugas tiap bandara dikerahkan untuk mengawasi serta memperingatkan para penumpang yang kedapatan membawa botol cairan. Cukup ketat bisa dikatakan. Mereka diwajibkan untuk melepaskan benda logam ke sebuah mesin X-ray atau pendeteksi logam. Sisanya, mereka akan memeriksa isi tersebut. Memastikan tidak ada barang mencurigakan di dalam tas.

Sejam kemudian, para penumpang dipersilakan untuk meninggalkan ruang pemeriksaan serta memasuki pintu gerbang selanjutnya. Pria tua berambut putih memejamkan kedua matanya. Berusaha untuk istirahat sejenak. Menaruh buku bacaan ke wajah lantaran delay pesawat yang terlalu lama. Hingga sebuah sahutan dari seorang pemuda memanggil namanya.

"Allen McCarthy!"

Suara tersebut dari laki-laki yang pria tua itu kenal. Namanya Roger Devone sekaligus partner kerjanya. Rambut blonde dengan kumis tipis dan nyaris tidak ada rambut di bagian janggut. Pakaian yang dikenakan sama persis dengan Allen. Yaitu kemeja blazer abu-abu dengan dasi warna merah. Sedangkan Allen warna biru tua. Ditambah, dia memiliki bulpen yang disimpan di saku kemejanya.

"Jangan memanggil nama lengkapku. Aku kan sudah kubilang. Panggil Allen atau Mr. McCarthy," keluh Allen.

"Maaf, maaf. Habisnya kalau tidak begitu, nanti kau tidak akan mendengarkanku. Asik dengana dengkuranmu," ucap Roger.

Entah kenapa, Allen pasrah dengan sindiran Roger mengenai kebiasaannya.. Maklum, diusianya sudah 63 tahun ke atas merupakan waktu yang tepat untuk pensiun dari kerasnya dunia. Serta membiarkan generasi muda yang meneruskan. Itu merupakan hal yang lumrah. Sedangkan Roger separuh umur lebih muda darinya, yaitu sekitar 31 tahun. Secara fisik, dia terlihat lebih energik dibandingkan Allen. Laki-laki berambut putih teringat akan masa-masa mudanya. Usia yang sudah tidak muda lagi, dia sudah saatnya menunjukkan kemampuan kepada Roger untuk terakhir kali. Akan tetapi, entah kenapa semangat dalam diri Allen yang terus membara, hingga dia menunda-nunda untuk pensiun. Walau pada akhirnya, mengenai administrasi menyerahkan pada Roger merupakan keputusan tepat. Di saat Allen berada di dalam dunianya sendiri, tatapan tajam dari kedua mata Pemuda berambut blonde. Pipinya mengembung dan mendongak pada layar monitor lagi.

"Delay lagi ya?"

"Cuaca di sini sama sana sama-sama buruk," celetuk Allen.

"Benarkah? Sayang sekali kalau begitu. Apa kita makan saja di sana?" tunjuk Roger ke salah satu restoran di depan.

"Aku menolak. Karena sudah makan barusan."

"Ya sudahlah. Aku makan dulu. Kalau misalnya ada pengumuman dari bandara, kabari aku," ucap Roger kepada Allen.

Allen pun mengiyakan perkataan rekan kerjanya. Membiarkan Roger pergi duluan untuk memesan sekaligus memesan makanan di tempat. Sedangkan Allen melanjutkan kembali untuk menunggu. Sekilas, dia mengintip para penumpang yang protes. Allen sendiri juga sudah menghubungi pihak klien untuk menunda pertemuan. Dan mereka mengiyakan dengan kondisi cuaca serupa. Helaan napas keluar dari mulut Allen. Pasrah apabila cuaca masih terus memburuk. Karena penasaran, dia menaruh buku ke kursi. Menghampiri salah satu Customer Service. Mencoba menemuinya.

"Apa masih dipercepat penerbangannya? Karena saya ada janji dengan klien."

"Tunggu sebentar pak!" kata staf Customer Service di salah satu maskapai penerbangan.

Saat menunggu, Allen memergoki Roger sedang menggoda para gadis cantik, sedang duduk di kursi penumpang sedang bermain smartphone. Helaan napas keluar dari mulut Allen. Lalu menghampirinya sambil menjewer telinganya. Aksi tersebut membuat beberapa gadis menjauh dari kedua pria itu. Lirikan mata Allen tertuju pada Roger.

"Apa yang kaulakukan?"

"Tidak ada."

"Lalu … apa kau ke sana hanya untuk mengincar para gadis yang kau ajak tidur?"

"Kenapa anda berkata demikian?" tiba-tiba intonasi Roger berubah menjadi formal.

Allen menutup mulutnya, sepertinya dia salah berucap. Menurutnya, Roger seringkali dikenal sebagai flamboyant di mata para wanita. Selain mudah menarik pikat wanita, dia selalu mengutamakan wanita di atas kepentingan diri sendiri maupun misi. Hal itu membuat Allen pusing menghadapinya. Apalagi Roger nantinya akan meneruskan usaha sebagai perusahaan di bidang mercenary contractor atau kontrak militer. Dari sikap gugupnya Roger, Allen mengedipkan mata sebelah kiri.

"Cuma bercanda, Roger. Lagipula, aku tahu persis sifatmu sebenarnya. Jadi aku memakluminya asalkan kau bisa membedakan antara urusan pribadi dan bisnis," nasehat Allen kepada Roger.

"Baik, baik. Tanpa perlu kau kasih tahu pun aku sudah paham," intonasi nada berubah kembali menjadi akrab disertai senyuman khas Roger.

Namun, Allen memukul kepala Roger sangat keras. Berbalik arah dan berjalan untuk mengambil bagasinya. Mereka melihat hujan sudah reda. Badai mulai berhenti meski awan perlahan-lahan cerah. Allen memutuskan untuk menunggu sedikit lebih lama. Pesanan Roger telah dihidangkan. Salah satu pelayan memberikan buku menu, Allen menolaknya karena sudah makan pemberian dari istrinya. Tetapi dia minta pesan kopi pahit.

"Oh ya … kau tahu tujuan kita ngapain di Maroko?" ekspresi Roger berubah menjadi serius.

"Menurut informasi yang kudapat, sepertinya Taipan asal Abu Dhabi menyewa jasa kita untuk melindungi pangeran ke dua."

"Serius? Memangnya pangeran tersebut umurnya berapa?" tanya Roger tidak bisa mengungkapkan keterkejutannya.

Allen mengecek smartphone miliknya. Dia menunjukkan inti percakapan disertai foto kepada Roger. Terlihat Pangeran sangat muda dan kurus. Berambut pendek dan mengenakan peci putih bermerek. Matanya menunjukkan kepribadian yang polos dan imut. Roger ingin sekali memeluk pangeran tersebut. Ke mana perginya sosok playboy di mata perempuan? Gerutu Allen dalam hati.

"Umur 6 tahun. Dan jangan coba-coba memeluknya atau sekedar mencubit pipi dia. Bisa-bisa kau dianggap pelecehan seksual di bawah umur dan nama perusahaan kita tercemar," ancam Allen bernada bercanda.

Roger tertawa masam mendengarnya. Menepis tangannya sendiri, memastikan dia tidak mungkin bertindak semacam itu. Apalagi di depan kliennya. Tetapi bagi Allen, ini sudah kesekian kalinya menerima permintaan untuk melindungi anak kecil. Terakhir dia menerima permintaan ketika pengusaha asal Tiongkok, meminta kepada Allen untuk melindungi anak kecil dari serangan teroris. Usianya pun juga sama. Allen juga berjanji untuk melindungi klien dari sergapan teroris. Akhirnya, pria tua berambut putih memerintahkan pada staf dan jajarannya untuk memberikan perlindungan ekstra ketat. Hasilnya sukses besar. Dan reputasinya pun terjaga dengan baik. Sedangkan di tempat lain menjadi tercemar gara-gara skandal yang dilakukan oleh penerusnya. Belajar dari pengalaman sesama rivalnya, Allen sangat selektif dalam mencari penerus. Hasilnya, Roger Devone adalah orang yang tepat untuk menggantikan posisi Allen. Tentu saja keduanya sama-sama kewarganegaraan Inggris.

Sejak kecil, Allen menyukai hal-hal berbau berbahaya. Contohnya mendaki gunung, panjat tebing dan lain-lain. Hal yang paling disukai adalah senjata api. Allen merasa tanpa senjata api, rasanya ada kurang dalam diri pria tua berambut putih itu. Waktu itu, dia ikut dalam pelatihan militer. Tetapi dipecat secara tidak terhormat karena bertindak indispliner berulang kali. Akhirnya, Allen direkrut untuk menjadi prajurit bayaran. Selama bertahun-tahun, dia sudah menggeluti dan bertahan hidup cukup lama. Sampai di tahun ke lima, namanya langsung meroket. Allen memutuskan untuk mendirikan mercenary contractor bersama mentor dan rekan seperjuangan saat itu. Sayangnya, mentor yang mengajarkan dia mengembuskan napas terakhir akibat penyakit paru-paru. Menggantikan posisi mentor sekaligus fokus pada usaha tentara bayaran. Berkat tangan dinginnya, usaha mercenary contractor yang ditekuninya terus berjalan. Walau pun harus sembunyi-sembunyi.

Suatu ketika, dia bertemu dengan Vivian, salah satu Putri Kerajaan Monarki Monacco. Mulanya hubungan keduanya tidak direstui oleh Ayah Vivian. Hingga salah satu insiden tersebut telah menyadarkannya. Allen diizinkan untuk menikah, asalkan seluruh aset militer berupa prajurit bayaran dan teknologi Monarki. Sampai saat ini, mereka menyerahkan semua pada Prancis mengenai pertahanan. Akan tetapi, Allen menjadi opsi cadangan. Apabila prajurit Prancis kalah suatu saat. Allen dikontrak permanen dan bersedia menjadi prajurit pribadi Ayah Vivian hingga ajal menjemputnya. Hingga saat ini, berbagai klien telah diperkenalkan seperti pejabat eksekutif, Presiden hingga Kerajaan di Inggris terus memintanya. Sejak itulah, nama Allen McCarthy menjadi terkenal sekaligus orang pertama yang mendapatkan kehormatan sebagai Ksatria di Kerajaan. Walau tahu orang-orang menyebutnya sebagai legenda hidup. Hingga saat ini, tidak ada yang berani mendekatinya karena memiliki koneksi dengan Kerajaan Monarki Monacco dan Inggris yang terus meminta bantuan untuk menyanggupi sebagai pengawal tanpa kasat mata. Di sisi lain, urusan politik maupun administrasi diserahkan pada istrinya, Vivian dan juga keluarganya. Selain itu, mereka mengatur keuangan dan membebaskan teknologi senjata mutakhir yang dikembangkan mendatang. Sekarang, Allen menjalani kehidupan seperti pasangan suami istri umumnya. Duduk manis menikmati hidangan yang disediakan oleh istri tercinta.

Setelah penantian delay cukup lama, Allen dan Roger mulai beranjak dari restoran. Menaruh uang di atas meja sesuai tagihan pesanan. Mereka berjalan cepat untuk bisa masuk ke dalam bandara. Kemudian, pintu sudah mulai terbuka oleh petugas bandara. Melaukan proses pengecekan secara berkala. Logam sabuknya dilepas beserta smartphone maupun benda logam lainnya dikeluarkan. Allen menaruh paspor di tas cangklongan. Dilanjutkan dengan memasuki pintu gerbang. Sepertinya, mereka masuk ke dalam tanpa ada masalah apapun.

Allen sengaja tidak menyimpan senjata api di dalam koper. Pria tua itu menaruhnya di dalam sebuah kotak yang terbuat dari gabus. Dibungkus dengan rapi bersamaan dengan kopernya. Setelah diperiksa, mereka menaruhnya barang berat semacam koper dan kotak ke kereta berjalan dari karet.

"Sudah waktunya," ajak Allen tersenyum kepada Roger.

"Ok," jawabnya mengikuti Allen dari belakang.

Keduanya berjalan menuju pintu gerbang pintu gerbang pesawat tertulis A5. Setibanya di sana, mereka disambut pramugari yang tersenyum lebar. Menampakkan giginya yang berseri. Roger ingin sekali berbuat sesuatu terhadap wanita itu. Tetapi Allen mencolek pundaknya disertai cengkraman kuat. Menandakan untuk berhenti melakukan hal aneh-aneh. Roger menjulurkan lidahnya, langsung duduk sesuai seatnya.

"Apakah anda duduk di first class?" tanya salah satu pramugari.

"Betul. Ini tiket boarding pass milik kami," kata Roger menunjukkan bukti kepada pramugari.

Sebenarnya pengecekan tidak diperlukan. Berhubung karena aksi Roger yang dinilai mencolok, pramurgari pun tertarik pada kedua pria itu. Allen menunjukkan bukti valid mengatasnamakan dirinya dan Roger. Pramugari menadahkan kedua telapak tangan ke kiri, beserta meminta maaf kepada Allen dan Roger atas ketidaknymanannya. Satu persatu penumpang telah masuk ke dalam pesawat. Allen dan Roger duduk di kursi first class, mulai memasang sabuk pengaman terlebih dahulu.

"Tadi pramugari mengecek tiket kita?" celetuk Roger.

"Kau tahu … akhir-akhir ini ada orang mengklaim penumpang adalah first class. Sebab itulah, mereka mengecek kevalidan tiket yang kita punya," penjelasan Allen. Lalu dia menambahkan ucapan barusan, "sekaligus juga tindakanmu yang dinilai mencolok, jadinya kita harus diperiksa lagi."

Roger pun menjulurkan lidahnya. Memohon ampun karena telah merepotkan Allen beserta penumpang lainnya.

"Ladies and gentlemen, welcome on board passengers of Air Arabaia flight number 30153 to Casablanca Mohammed V Airport, Morocco. We are currently second in line for take-off and are expected to take off in approximately five minutes time," sebuah pengumuman berdendang lewat speaker.

Allen tidak memperhatikan apapun selain membaca di atas. Dia memilih beristirahat sebelum mulai take off. Allen cukup memejamkan mata kendati kelelahan di bandara.

"Please now fasten your own seat belts and make sure all the baggage underneath your own seat and in the overhead bins are securely stowed. We are also delighted to ask you to ensure your seats and your folding trays are in the correct position."

"Roger, kalau take off bangunkan aku."

"Eh? Kenapa begitu? Padahal ini masih belum lepas landas. Allen tidak asik," gerutu Roger dengan mimik terkejut.

Namun Allen mengabaikan perkataan dari Roger. Pria yang duduk di sampingnya menghela napas. Membuka smartphone miliknya, mencari tahu kontak siapa yang akan dihubungi nantinya. Ditambah menikmati membaca prosedur keamanan dengan bosan.

Mesin pesawat menyala, siap untuk meluncur. Pesawat memutar arah disertai tiga pramugari sedang memperagakan cara prosedur standar keselamatan. Meski demikian, belum menemukan wanita yang membuat Roger tertarik. Sampai matanya menatap ke sosok wanita paling belakang. Berambut blonde disertai body-nya aduhai. Kedua alis matanya diangkat berkali-kali, membuat pramugarinya tersenyum simpul. Kemudian, dia melanjutkan memperagakan keselamatan. Roger pun berjalan menuju toilet untuk buang air kecil. Berharap wanita berambut blonde kemari. Entah menawarkan minuman atau sekedar berbincang. Tetapi di mata Roger, dia perlu meniduri wanita berambut blonde.

Setelah 5 menit berlangsung, wanita tersebut mengetuk pintunya. Roger pun mencium pramugari tersebut. Hingga mereka melakukan di dalam toilet selama kurang lebih sepuluh menit. Meski demikian, tidak ada satu pun yang curiga.

Pesawat bersiap untuk take off. Keduanya berpegangan erat. Baik Roger maupun pramugari tersebut menahan tertawa karena kedua anggota tubuhnya saling bersentuhan. Sehingga jantung mereka berdetak sangat cepat. Darahnya berdesir.

Sementara itu, Allen terbangun dari tidur siangnya. Tetapi, tidak ada Roger di sampingnya. Dia menghela napas, menduga bahwa Roger sedang beradu nafsu sama pramugari pesawat. Allen mengetahuinya ketika Roger melirik mata pada perempuan blonde itu. Tepat saat melakukan peragaan.

"Aku kan sudah kubilang untuk tidak berbuat masalah," helaan napas berat dari mulut Allen.

Dia menyalakan smartphone miliknya, langsung mengontak Vivian, istrinya. Ada 13 panggilan tidak terjawab. Allen lupa tidak menyalakan smartphone sehabis pengecasan di bandara. Vivian pasti khawatir telponnya tidak diangkat. Ketika ada panggilan keempat belas, Allen menekan tombol hijau pada smartphone.

"Halo?"

"Sayang, maaf aku baru selesai take off dan sudah ada dalam pesawat," kata Allen.

"Benarkah? Kukira masih di bandara. Soalnya cuaca di sana tidak menentu akibat badai. Jadi, aku mengira sayang tetap di bandara sampai situasi mereda," ujar istrinya bernapas lega.

"Aku tahu itu kok. Tapi cuaca sudah mulai bagus dibandingkan sebelumnya. Ditambah para teknisi pesawat sudah melakukan terbaik supaya bisa terbang sampai tujuan."

"Syukurlah kalau begitu. Kurasa tidak ada hal yang perlu kukhawatirkan." Kata Vivian bernada lega.

Salah satu pramugari menawarkan makanan dan minuman di pesawat. Allen memesan air putih dan makanan berupa sandwich. Kemudian membayarnya sambil memperhatikan pramugari menaruh makanan. Pria tua berambut putih melihat wajahnya, mirip dengan cucunya berusia remaja.

"Ada apa tuan? Apa ada yang salah dengan wajah saya?" tanya pramugari kebingungan.

"Tidak apa-apa. Wajah anda teringat dengan cucu saya di Monacco. Semoga saja setelah urusan bisnis selesai, saya ingin menemuinya," katanya tersenyum.

"Semoga saja doa tuan terkabulkan."

Allen memakannya dan meminum energy drink isotonik. Membaca buku majalah yang ada di belakang kursi. Menatap heran dengan Roger yang memesan sandwich. Suara Vivian berdeham dari video call.

"Cucu ya? Apa sebaiknya kuberitahu ke Raja karena kau menggoda seorang wanita di dalam pesawat," goda Vivian ke Allen.

"Yang benar saja. Aku hanya bilang mirip, bukan? Tidak bermaksud menggodanya kok," bantah Allen disertai membalas ejekan pada Vivian.

"Ya, ya. Aku percaya kok, Allen. Lagipula, aku pasti akan—"

Suara mesin pesawat dari luar tiba-tiba rusak. Roger dan pramugari terkejut. Mereka berdua memasangkan pakaian masing-masing. Pramugari blonde menghampiri beberapa penumpang. Bergerak cepat menuju ke tempat penumpang. Begitu juga dengan Roger bergegas ke bangku pesawat, memasang sabuk keselamatan.

"Apa yang terjadi?" tanya Roger bernada panik.

"Bunyi apa itu, sayang?" tanya istrinya bernada cemas.

"Aku tidak tahu. Nanti kukabari lagi,ya. Berdoa saja semoga tidak terjadi kenapa-kenapa," ucap Allen buru-buru.

"Ya, sayang. Aku mencintaimu, Allen."

"Aku juga sayang," ucapnya lirih.

Suara telpon pun mati. Roger telah selesai memasangkan sabuknya. Dia berharap pesawat tersebut tidak mengalami hancur. Sedangkan Allen memejamkan kedua matanya. Berharap peristiwa ini segera berakhir.

Mesin kedua samping pesawat sebelah kanan mengalami ledakan. Guncangan pada kedua mesin terbakar. Sirene di dalam pesawat berbunyi nyaring. Membuat semua penumpang ketakutan dan mengencangkan sabuk pengaman di kursi. Mereka beerdoa sambil membacakan doa untuk keselamatan.

"Jangan khawatir, nak. Mama di sini."

"Tolong selamatkan saya, Tuhan!"

Jeritan dan kepanikan terus menjalar ke sekitar Allen dan Roger. Para pramugari berusaha menenangkannya. Lalu masker oksigen turun seketika. Satu persatu mereka memasang ke dalam mulutnya. Termasuk Allen dan Roger. Pesawatnya menukik ke bawah. Terlihat sebuah pulau tidak berpenghuni dari jendela. Tidak hanya itu, lautan ombak terlihat di sana. Allen menyadari, dirinya hidup tidak akan lama lagi. Saat itulah, sebuah ledakan besar begitu keras. Body pesawat hancur berkeping-keping hingga menjadi beberapa bagian. Kepulan asap mulai membesar.