Sinar cahaya yang semula bersinar terang, perlahan mulai meredup. Partikel cahaya kuat disertai bunyi petir menggelegar. Membuat siapapun yang mendekat akan terkena sengatan listrik beserta senam jantung. Dengungan yang dapat merusak gendang telinga tiap individu. Cuaca yang semula cerah, kini awan hitam yang nampak. Serangga-serangga beterbangan semacam kupu-kupu dan lebah, memilih menjauh supaya tidak terkena sambaran petir. Dan benar saja, sambaran petir menghancurkan permukaan tanah hingga berlubang. Muncullah empat orang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Partikel cahaya perlahan-lahan mulai memudar.
Allen, Rina, Yumi dan Hiro membuka kelopak matanya. Merasa mereka berempat telah letih sehabis melakukan perjalanan panjang. Pemuda berambut coklat mengucek-kucek kedua matanya, melihat cuaca yang semula mendung, berubah menjadi cerah kembali. Yumi, Allen dan Rina membuka kedua mata perlahan-lahan. Bersuara pelan mengerang. Anggota tubuh seperti tangan dan kaki ikut dicoba untuk digerakkan. Berkedip cepat sambil beradaptasi lingkungan asing. Hiro dan kawan-kawan melihat sebuah pemandangan yang indah di sana.
Burung berkicau silih berganti. Merasakan hembusan angin bersamaan sekelompok burung yang terbang di langit. Rumput-rumput bergoyang, menggelitik lubang telinga Hiro untuk segera bangun. Kemudian, dia bangkit dari posisi berbaring. Pemuda berambut coklat mendekati ketiganya. Sebuah uluran tangan dari Hiro, diterima oleh Allen. Disusul dengan Rina dan Yumi. Membersihkan kotoran tanah yang menempel di anggota badan dan pakaian yang dikenakan.
Keempatnya menyadari bahwa dunia yang baru saja pijak bukanlah dunia yang dikenalnya. Dari kejauhan, ada sebuah istana berdiri kokoh. Tembok membentang dari kayu, panjangnya mencapai 3 km.
"Apakah kita sudah resmi berada di Isekai?" kata Hiro berbicara sendiri. "kutarik ucapanku. Dunia ini sangat berbeda dari yang kubayangkan."
Di sisi lain, Gadis berambut panjang itu menggaruk-garuk kepala dengan heran. Kedua matanya dikucek-kucek pada pemuda berambut coklat. Sorot matanya berbinar-binar. Serasa ini bukanlah mimpi semata. Rina menatap tajam Hiro lebih lama dari biasanya. Sehingga pemuda berambut coklat merasa tidak nyaman dengan tatapan semacam itu.
"Memangnya kau berpikir, dunia yang kita tempati seperti apa, sih?" balas Rina.
"Kau tahu? Dalam sebuah film dunia yang kita pijak, akan muncul sebuah dinding, mengelilingi seluruh daratan atau semacamnya. Lalu dari jarak segini, biasanya terdapat lautan yang sangat luas. Belum lagi kita bicarakan tema yang diangkat seperti medieval era alias zaman abad pertengahan. Tapi arsitektur ini … begitu berbeda. Tidak ada penjaga, tetapi terdapat senjata semacam meriam dan basilisk. Apalagi benteng menjulang tinggi secara vertikal. Sedangkan di belakang tidak ada sama sekali kecuali lautan," beber Hiro.
"Kau tahu banyak mengenai arsitektur rupanya Hiro-san," sahut Allen.
Hiro menoleh ke sosok pria tua berambut putih. Memasang wajah cemberut. Bagi dia, terdengar seperti ejekan. Sebetulnya, Hiro iseng membaca majalah arsitektur ketika waktu senggang. Jadi dia sedikit paham bentuk serta desainnya.
"Tapi namanya juga Isekai. Ada keanehan pada arsitektur itu merupakan hal wajar. Jangan heran apabila salah satu aspek terbentuk secara tidak masuk akal. Itu sih pendapatku."
Aspek yang dimaksud Hiro adalah percampuran antara dunia yang mereka tinggali maupun hal-hal berbau sihir akan muncul nantinya. Semisalnya saja peta dunia akan meluas seiring berjalannya waktu. Bisa saja bangunan itu hanyalah 3% dari apa yang mereka ketahui.
Allen maupun Rina akan mengingat perkataan Hiro. Mereka berdua baru saja menemukan sesuatu yang baru. Apalagi di usia yang tidak berubah dari kehidupan sebelumnya. Bagi Allen, reinkarnasi seperti ini hanyalah sebatas lisan. Sekedar memindahkan jiwa dan tubuh ke dalam dunia buatan mereka sendiri disebut Metempsikosis.
Sementara itu, Yumi mengucek-ngucek mata tidak percaya. Dia baru sadar bahwa dirinya mengenakan rok seragam sekolah. Sangat kontras dengan pakaian Hiro, Yumi dan Allen. Hiro sendiri mengenakan baju zirah berwarna abu-abu dan sebuah pedang di pinggang sebelah kanan. Rina mengenakan setelan baju rok panjang, memperlihatkan belahan paha dan bersepatu kulit coklat. Sedangkan Allen mengenakan baju koboi dan bersepatu boot bergerigi. Ukurannya sangat pas dan lincah jika dibuat berlari. Di pinggangnya, terdapat dua buah pistol revolver.
Ekspresi Allen menyipitkan kedua bola matanya. Mengernyitkan dahi beserta mulutnya ternganga. Tidak percaya dengan apa yang pria tua itu lihat. Allen mendengar suara helaan napas keluar. Ternyata Yumi menyentuh pakaian yang dinilai terlalu minim. Berbeda halnya dengan Rina yang masih syok melihat penampilan ini. Lulut gadis berambut panjang tertunduk emas. Mengelus-elus pahanya, kebingungan mengenai jenis pakaian yang dikenakan. Hiro dan Allen memalingkan wajah mereka masing-masing. Tidak ada niatan untuk menatap lebih lama. Yumi menghampiri Rina yang masih dalam syok.
"Apa-apaan ini? Kenapa pakaianku menjadi seperti ini!" jeritnya memegang kepala sekaligus mengacak-acak rambutnya.
"Ricchan, sudah menyerah saja dan terima saja 'hadiah' dari Dewi . Pakaian yang kau kenakan sangat cocok denganmu," ujar Yumi tidak kuasa menahan tertawa.
"Tidak mau! Aku tidak suka dengan pakaian kayak gini! Nantinya para laki-laki akan menatapku dengan penuh nafsu. Ujung-ujungnya aku nanti diperkosa ramai. Apa kau mau tanggung jawab jika terjadi sesuatu kepadaku?" lanjut Rina meninggikan suaranya.
"Itukah yang ada dalam benakmu?" keluh Hiro dan Yumi serempak.
Allen menggeleng kepala penuh heran. Saat menoleh ke kiri, terdapat sebuah pohon besar yang kokoh. Pria tua berambut putih mengetuk-ketuk beberapa kali dan merabanya. Kulitnya kasar dan merasakan energi kehidupan di dalamnya. Senyuman miring terpancar dari bibir Allen. Puas mengetuk, dia mendekati ketiga remaja yang daritadi ribut. Saat hendak menghampiri mereka, dia mencium sesuatu yang menyengat. Gadis berambut panjang tidak suka dengan endusan hidungnya.
"Allen-san, Allen-san. Hentikan tatapan mesummu itu," cibir Rina.
"Bukan itu. Kau menginjak sesuatu," ujar Allen mengacungkan jari telunjuk ke tanah yang diinjak oleh Rina.
Sepatu Rina diangkat. Terlihat ada bekas kotoran warna kuning segar. Baunya menyengat dan mirip seperti kotoran hewan yang buang air besar secara sembarangan. Rina menggosok-gosok sepatu di tanah dengan tatapan jijik.
"Kenapa kau tidak memberitahuku kalau ada kotoran di bawah sepatuku?" teriak Rina kepada Allen.
"Itu karena kau tidak peka sama sekitarmu. Meributkan mengenai pakaian yang kau kenakan. Sampai lupa dengan sekitarmu," cibir Hiro.
Ucapan Hiro membuat Rina naik pitam. Kepalan tangan mengeras. Sebuah pukulan mendarat ke pipi pemuda berambut coklat. Dan dia menerima pukulan keras darinya. Hiro teriak kesakitan. Ambruknya pohon besar. Disertai serpihan kayu mengeropos begitu saja. Allen tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Kau membuatku marah, dasar otaku!"
Rina menggembungkan pipinya. Menggandeng tangan Yumi. Sepertinya gadis berambut ponytail kebingungan dengan perasaan dan sikap dari sahabatnya sendiri.
"Sudah, sudah Ricchan. Hiro-san cuma bercanda kok mengatakannya."
"Entah kenapa, terdengar seperti tidak bercanda bagiku," kata Rina bersujud lemas.
"Rina-ojouchan, Yumi-ojouchan, tidak perlu dipikirkan. Kadang-kadang, seorang pria butuh hiburan karena masa lalunya yang suram," Allen menyetujui perkataan Rina, mengangkat kedua bahunya.
"O-ojouchan katamu bilang?" ucap Rina berkedip berkali-kali. Dia kesampingkan dulu sejenak, "ngomong-ngomong, kau memahami sapaan bahasa Jepang. Apa dulunya kau pernah tinggal di sana?" tanya Rina.
Mendengar perkataan dari Rina, Allen mengangguk pelan. Sehabis itu, dia mencoba untuk bersikap normal. Pria tua berambut putih melirik Yumi yang sibuk menolong Hiro dari pukulan barusan.
Tiba-tiba, suara berdengung menyetrum sel saraf otak keempatnya. Hiro, Allen, Rina dan Yumi meringis kesakitan. Seperti sebuah plastik diremas-remas begitu kuat hingga permukaannya rusak.
"Ohayou Gozaimasu."
"Ohayou … Gozaimasu." ucap Rina, Hiro dan Yumi serempak menahan rasa sakit.
"Good Morning," jawab Allen.
Muncullah sebuah gambar seorang Dewi sedang berdiri di atas tangga pavilion. Mengenakan penutup kepala, berambut panjang blonde yang tertutup kain putih tebal, membawa tongkat berukir elang sedang mengepakkan sayap, terbuat dari emas. Gelang berjumlah lima buah mengelilingi di bagian atas. Mata berwarna merah tua, memancarkan sinar lingkaran pada kedua pupilnya. Secara kasat mata, wujudnya tidak terlihat di depan mata. Dan berbicara melalui telepati.
"Wah, kalian pada sadar semua ya?"
"Tentu saja. Kami kan orang je—" Rina terburu-buru menjitak kepala Hiro untuk diam. Laki-laki itu mengelus kepalanya.
"Kami berempat berterima kasih kepada anda, karena telah mendaratkan sekaligus membangunkan kita semua. Sehingga dapat berkumpul di sini. Bahkan anda dan para Dewa mengirimkan kami ke dunia ini membuat kami senang," puji Allen dilantunkan kepada Dewi bersangkutan.
"Walau percakapan yang tadi agak kurang wajar," sindir Rina kepada Hiro.
Ucapan Rina membuat Hiro kesal. "apa maksudmu, huh? Dasar nenek lampir!"
"Apa katamu barusan? Sekali lagi kau bilang, nenek lampir, sepatu akan melayang ke arahmu, sialan!"
"Tenanglah, Ricchan, Hiro-san!" Yumi berusaha menengahi kedua pihak bernada tinggi.
"Baik," jawab Rina dan Hiro kompak serempak .
Allen menghela napas. Lalu, pria tua berambut putih memejamkan kedua matanya. Dewi berambut blonde berdeham, membetulkan pita suaranya.
"Baiklah. Aku tahu ini kedengaran aneh. Tapi percayalah, dunia yang kalian tempati nantinya berbeda dengan tempat yang kalian tinggali. Jadi, kalian berempat harus melakukan usaha yang terbaik supaya bisa bertahan di dunia ini. Tidak masalah jika kalian menjadi seorang pahlawan, penjahat atau menjalani kehidupan biasa. Kami tidak akan mengintervensi kehidupan kalian karena tahu bukan hanya kalian berempat saja yang kami urus," ucap Dewi.
"Toh tidak ada salahnya kalian menikmati kehidupan baru di sini, walau dunia sebelumnya sama di sini berbeda," tambah Dewi menyunggingkan senyum.
"Memangnya jarak waktu dunia sebelumnya dan di sini berapa jam?" tanya Allen.
"Sehari di sini sama dengan 10 menit. Kalau sebulan maka sama dengan 300 menit," tutur Dewi.
Hanya 5 jam? Akselerasi waktunya cepat sekali, gumam mereka berempat dalam hati. Di sisi lain, Allen memikirkan sejenak mengenai kemungkinan dunia yang mereka tempati. Raut wajah Yumi maupun Rina sedih saat mengetahui kebenarannya. Tentu saja karena waktu antara dua dunia sangat berbeda jauh.
"Kalau begitu, Rina Shirasaki dan Yumi Hitomachi, kalian bisa cek status kalian masing-masing. Karena kalian mendapatkan kekuatan secara acak," kata Dewi menaburkan partikel cahaya pada mereka berempat.
Rina dan Yumi mengangguk pelan. Mengikuti usulan dari Dewi berambut blonde. Hiro dan Allen mengintip status mereka berdua. Memastikan mereka tidak keliru dalam mengambil keputusan ke depan.
Nama: Rina Shirasaki
Umur: 17 Tahun
Ras: Otherworlder
Level: 1
Ability: [Summon Monster Lv S+] [Book of Creator]
Skill: [Thunder Resistance]
"Summon Monster? Berarti dia seorang summoner dong? Enak dong kau bisa memanggil monster," komentar Hiro.
"Benar kata Hiro-san. Sepertinya aku tidak tahu antara senang atau bingung saat membaca statusmu. Bagaimana kalau kita memanggil T-Rex?" usul Yumi.
"Oi, jangan pernah panggil T-Rex! Kalau kau segitunya ingin mati, silahkan mati saja sendiri!" jawab Hiro dan Rina kompak menolaknya.
Gadis berambut ponytail tidak bisa menahan ketawa mendengarnya. Sedangkan Allen memperhatikan skill [Thunder resistance] milik Rina Shirasaki. Diartikan bahwa gadis berambut panjang memiliki ketahanan terhadap elemen petir. Sementara itu, dia juga mengecek status milik Yumi.
Nama: Yumi Hitomachi
Umur: 17 Tahun
Ras: Otherworlder
Level: 1
Ability: [Resurrection Spell] [Healing Magic]
Skill: [Monk's Aura]
"Ngomong-ngomong, skill [Monk's aura] itu apa?" tanya Allen.
"Entahlah … aku sendiri tidak tahu. Saat mengecek status milikku, munculnya seperti ini," jawab Yumi bernada polos.
Allen bergumam sekaligus mengelus dagunya. Mencari makna di balik kekuatan itu. Menurut dia, kata monk sendiri paham diartikan sebagai biksu. Tapi kenapa monk's aura? Apakah kekuatan skill-nya dapat meningkatkan kemampuan sampai mencapai batas maksimal? Ataukah ada makna di balik perkataan itu? Allen tidak sabar segera bereksperimen kekuatan mereka. Kedua bola matanya bersinar membuat Yumi menelan ludah. Dipastikan menyiapkan mental yang kuat untuk bertatap muka dengan pria tua berambut putih.
"Tapi kemungkinan akan bertambah ability atau skill seiring berjalannya waktu. Jadi jangan lupa terus mengasah kemampuan kalian ya," tutur Dewi mengacungkan jari telunjuk ke atas.
Perlahan-lahan, telepati dari Dewi berambut blonde mulai menghilang. Sedangkan Hiro dan Rina mau mengucapkan 'tunggu!', Akan tetapi, komunikasinya langsung terputus begitu saja. Tanpa ada pembicaraan lebih lanjut mengenai nasib kedua gadis itu.
Beberapa menit berselang, Yumi dan Rina bernapas lega. Mereka langsung berpelukan penuh mesra. Tidak menanyakan nasib mereka setelah Rina memohon pada Dewa untuk mempertemukan dirinya dengan Yumi.
Hiro melihat aksi kedua gadis langsung mengangguk-angguk paham. Sadar bahwa aksi mereka menimbulkan sebuah tatapan nyengir dari pemuda berambut coklat, Rina membalas tatapan pemuda berambut coklat dengan dingin. Bulu kuduk Hiro bergidik ngeri. Suasana canggung disertai angin berhembus kencang, Berhembus ke seluruh permukaan kulit mereka berempat. Hingga Allen mencairkan suasana.
"Ngomong-ngomong Rina. Ada sesuatu yang menggangguku," celutuk Allen.
"Ada apa?" jawab Rina sekenanya.
"Apa kau … penyuka Yuri?" potong Hiro tanpa basa-basi.
"Hiro!" sembur Allen mengekspresikan keterkejutannya.
Baik Rina dan Yumi mengernyitkan dahi. Terutama Rina yang sibuk mengorek-ngorek telinganya. Memastikan gadis berambut panjang tidak salah dengar mendengar ucapan Hiro.
"Apa barusan kau bilang tadi?"
"Aku tanya … apa kau … seorang … lesbian atau penyuka Yuri?" tanya Hiro tanpa rasa ada bersalah.
Rina yang mendengarnya sebanyak dua kali, langsung menonjok wajah Hiro tanpa ampun. Bahkan dia berkali-kali memukulnya dengan ekspresi kesal. Pukulan kedua langsung mendarat ke pelipis Hiro. Bahkan lebih keras dan banyak dari pukulan sebelumnya. Yumi menghela napas panjang. Tidak menyangka pertanyaan tersebut sangat tidak sopan. Di sisi lain, Allen menepuk jidatnya. Walau demikian, pria tua berambut putih dapat menarik sedikit kesimpulan. Dalam sebuah kasus tertentu, persahabatan di wilayah barat dan timur memiliki keunikan tersendiri. Allen mengakui tidak pernah berinteraksi langsung atau melihat dalam suatu hubungan persahabatan di dunia sebelumnya. Tetapi menurut penuturan cucunya, dia menjumpai kasus seperti itu. Lebih tepatnya orang yang berasal dari kalangan timur. Hingga perkataan Rina keluar dari mulutnya.
"Kami berdua bukan seorang lesbian atau Yuri, Hiro. Kami normal kok punya pacar masing-masing."
"Yang dikatakan Ricchan memang betul!" ucap Yumi menyetujui pernyataan Rina.
Kemudian, mereka berdua mengerumuni laki-laki itu. Menatap tajam pada pemuda berambut coklat. Memastikan tidak menanyakan hal serupa kembali terjadi. Yumi dan Rina menoleh pada Allen, yang terlihat mengerutkan kening. Memastikan pria tua berambut putih tidak menyinggung apapun soal hubungan mereka. Selanjutnya, kedua gadis itu kembali menoleh disertai menatap tajam pada Hiro.
"Sejak kapan aku menyukai sesama jenis? Bagaimana sih? Terlalu kebanyakan nonton anime bertemakan yuri, nih!" kata Rina dan Yumi mendekati Hiro bebarengan.
"Baiklah, baiklah. Aku mengerti! Tidak perlu kalian mendekatiku begitu. Aku tidak nyaman, tahu!"
Hiro mengisyaratkan kedua tangannya untuk menyerah terhadap tatapan para gadis. Sementara itu, Allen tertawa kecil mendengarnya. Langsung menepuk pundak Yumi dua kali. Berbisik ke telinga gadis berambut ponytail. Yumi mengangguk dan mereka bertiga pun memutuskan mengakhiri percakapan tidak berarti itu. Sama persis yang dilakukan oleh Hiro dan Allen. Rina dan Hiro menoleh status miliknya.
Nama: Yumi Hitomachi
Umur: 17 Tahun
Ras: Otherworlder
Level: 1
Ability: [Resurrection Spell] [Healing Magic] [Holy Spell]
Skill: [Monk's Aura] [Speed Boost]
Allen terkesima bahwa skill tambahan milik Yumi Hitomachi. Ability yang terdiri [Holy Spell] dan skill [Speed Boost]. Allen mengangguk-angguk paham. Dirinya bergumam, ingin melakukan eksperimen terhadap skill milik Yumi dan Rina secara berkala.
"Permisi sebentar," ucap Allen melangkahkan kedua kakinya untuk mundur sejauh sepuluh langkah.
Kemudian, Allen mengacungkan sebuah pistol revolver. Mengarahkan larasnya ke arah Yumi. Suara tembakan pistol revolver terdengar lantang. Telinga Rina dan Hiro mendengung, ketika tindakan Allen menembaknya secara tiba-tiba. Kedua bola mata Yumi menatap tajam pada peluru pistol di depannya. Kedua kaki gadis ponytail sedikit ditekuk, keluarlah rune sihir berwarna putih. Aliran halilintar menggelegar dari kedua kakinya.
"[Speed Boost]!"
Ketika Yumi mengatakan demikian, dia berhasil menghindarinya dengan mudah dengan menggerakkan badan ke samping. Lalu hentakan kedua kakinya melangkah lebih cepat. Sebuah pukulan mendarat ke wajah Allen. Akan tetapi, dia tidak bergeming. Dagu pria tua berambut putih terangkat, tetapi sorot matanya melotot tajam. Yumi terkejut bukan main. Memutuskan untuk menurunkan pukulannya. Menarik napas panjang.
"Bagaimana? Apa kau puas, Allen-san?" ucap Yumi memasang ekspresi tersenyum.
"Sangat memuaskan," balas Allen.
Mendengar pujian dari Allen, Yumi menundukkan kepala. Berterima kasih atas pujiannya. Sedangkan Rina merengut saat pria tua berambut putih memuji dia. Hiro dan gadis berambut panjang menemui Allen. Tetapi Rina tersebut mencengkram baju miliknya.
"Aku ingin sekali diuji kemampuanku olehmu Allen," kata Rina memancing Allen untuk memeriksa kemampuan dirinya.
"Kau ingin aku melakukannya sama seperti sahabatmu?"
"Begitulah. Apa masih bisa?" kata Rina mengangkat kedua bahu dan mata kanan berkedip.
"Aku juga! Tidak ingin kalah dengan Rina!" kata Hiro penuh antusias.
Pria tua berambut putih merapikan pakaian disertai mengisi peluru yang ditembakkan. Menatap tajam Rina dan Hiro. Sudah kuduga, Rina maupun Yumi merupakan sahabat sekaligus rival seumur hidup. Tidak salah jika mereka bisa saling memahami satu sama lain, gumam Allen dalam hati. Sedangkan Hiro, dia perlu diamati lebih lanjut. Tetapi belum menemukan yang pas untuknya. Akhirnya, Allen mulai berbicara.
"Kurasa itu sudah lebih cukup. Rina dan Yumi, untuk sekarang tidak boleh menggunakan kekuatan secara berlebihan. Kita tidak ingin menarik perhatian musuh bukan? Apalagi Hiro Sakaki-san," tunjuk Allen acungkan jari telunjuk ke arah pemuda berambut coklat.
"Aku?"
"Benar. Kuakui, status milikmu lebih kuat dibandingkan kami bertiga. Tapi perlu diingat, dalam medan pertempuran, kau tidak bisa mengandalkan kemampuan sihir dan fisikmu saja. Ada kalanya, gunakan otakmu dan insting untuk menyerang. Jika kau melupakan hal itu, seterusnya kau akan mati dalam pertempuran. Dan aku tidak ingin hal itu kembali," tutur Allen.
"Y-ya."
Allen mengakui, pengalaman kehilangan rekan seperjuangannya begitu terasa sampai saat ini. Pembuluh darahnya berdesir cepat. Jemari-jemarinya bergerak secara spontan. Allen sadar, dirinya baru kali ini merasakan sebuah pengalaman yang bernama kematian. Kedua mata pria tua berambut putih terpejam sejenak. Menarik napas dan mengeluarkan pelan-pelan dari dalam rongga dada.
"Apa kau sudah paham?" tanya Allen mengonfirmasi lagi.
"Baiklah, baiklah! Tanpa kau mengatakannya aku akan melakukannya!" keluh Hiro berdecak kesal. Tidak suka jika dirinya dinasehati oleh orang baru dikenal semacam Allen.
Tatapan kali ini berlanjut kepada Rina. Sepertinya, gadis berambut panjang memasang wajah rasa tidak suka.
"Selanjutnya, kau Rina Shirasaki-san. Kau terlalu emosional. Belum apa-apa, kau mudah terpancing emosi duluan sama ucapan Hiro. Ada saatnya, kau harus berpisah dengan Yumi, supaya kau dan dia bisa berkembang pesat! Ini demi kalian lho."
"Oi, Pak tua. Memangnya kau ayahku, yang berhak menasehatiku begitu?" kata Rina tiba-tiba intonasinya bernada tinggi.
"Ricchan, hentikanlah!" lirih Yumi memohon untuk tidak bertengkar.
Yumi berusaha menengahi kedua pihak, antara Rina dan Allen. Dibantu oleh Hiro. sayangnya, kedua pihak mulai memanas. Baik Rina dan Allen sama-sama tidak mau mengalah.
"Tapi kalau tidak begitu caranya, bagaimana kalian bisa bertahan hidup? Ini bukan di hutan amazon atau—" suara Allen disela oleh Yumi.
"Hentikan kalian bertiga!"
Teriakan Yumi membuat ketiganya diam membisu. Hiro yang sedari membantu Yumi, malah memainkan jemari-jemarinya dengan ekspresi ketakutan. Rina menundukkan kepala. Sedangkan Allen merapikan pakaian yang dikenakan olehnya. Memalingkan wajahnya.
"Kalian bertiga jangan bertengkar dong! Ingat, tujuan kita di sini untuk apa? Allen-san, dimohon untuk tidak keras terhadap kami bertiga. Memang tujuanmu baik. Tapi kami masih remaja. Dan membutuhkan pengalaman yang kuat supaya bisa bertahan hidup."
"Yumi benar, Allen. Kau bukanlah ayahku atau kakekku. Tapi setidaknya, kami ini teman seperjuangamu. Sekaligus ras otherworlder. Jangan lupakan itu, Allen!" tutur Hiro.
Allen terkejut dengan ucapan Hiro. Dia lupa bahwa mereka bertiga adalah teman barunya. Bukan penerus atau rekan seperjuangan semasa menjadi mercenary contractor. Ya ampun! Aku dimarahi oleh mereka yang masih labil. Benar-benar menyedihkan, gumam Allen dalam hati.
"Maaf. Bicaraku kelewatan. Aku lupa bahwa kalian bertiga itu rekan baruku. Untuk saat ini sih," ucap Allen. Kemudian, pria tua berambut putih berdeham. "sekarang … ayo kita ke kota atau desa terdekat. Siapa tahu ada informasi penting di sana sambil cari uang di sana."
Anggukan kepala dari ketiga remaja, mengiyakan perkataan Allen. Bagi Hiro, sifat ketegasan dari Yumi merupakan sebuah cambukan yang keras untuk terus bangkit. Entah kenapa, pemuda berambut coklat merindukan sosok ibu dan ayahnya yang meninggal dunia. Sedangkan Rina memutuskan untuk tidak membuat gadis berambut ponytail marah.