Chereads / Another World Chronicles Universe / Chapter 19 - Chapter 18. Kebenaran Mengenai Peristiwa Perampokan [Revised]

Chapter 19 - Chapter 18. Kebenaran Mengenai Peristiwa Perampokan [Revised]

"Aku mau tanya. Apa rencana kalian setelah ini?" tanya Wolf secara blak-blakan.

"Rencana?" gumam Hiro.

"Benar. Rencana. Karena jarak antara hutan ini ke kota Ars cukup jauh. Dan tidak mungkin juga kalian menginap kemari lantaran barang kalian masih—"

"Kereta? Mungkin. Tapi sebenarnya, kita sudah antisipasi kok."

Wolf mengerutkan kening. Serigala berbulu tebal coklat mengerutkan kening. Memastikan ucapan Hiro tidak berbohong. Raut wajahnya lurus. Mata terbuka tanpa berkedip sama sekali. Kalaupun pernah, matanya terpejamkan satu detik. Menghirup napas melalui pernapasan dada. Dihembuskan pelan-pelan.

Allen mengeluarkan tas ransel untuk para otherworlder. Berisikan makanan yang dia belanja saat berada di kota Ars. Dimulai dari daging ayam dan air. Hanya, Rina dan Yumi tidak menemukan bumbu dapur seperti merica, cabai dan bahan-bahan lainnya. Alhasil, mereka makan seadanya. Marc dan Ronald menyayat kulit serigala. Menjadikannya sebagai sleeping bag. Membagikan ke tiap orang termasuk Fan.

"Apa itu untuk kami?" tanya Hiro.

"Kau mengira itu untuk siapa?" tanya balik Allen.

"Bagaimana ya? Aku penasaran saja dengan kulit serigala ini," jawab Hiro.

Mengingat persediaan makanan dan lainnya hancur akibat serangan monster tadi, membuat Hiro dan kawan-kawan memakan apa adanya. Tidak ada waktu untuk merelaksasikan diri secara mewah. Bagi Allen, sudah lama sekali tidak merasakan berkemah di hutan entah berata. Selama ini, dia berbaring di sekitar puing-puing bangunan maupun tenda markas tentara. Pria tua berambut putih memikirkan langkah selanjutnya. Apakah diharuskan untuk kembali melaporkan kepada Guild perihal quest pertama. Atau melanjutkan quest yang ada di depan mata. Sebuah pilihan yang dirasa akan mengakibatkan konsekuensi yang cukup berat.

"Quest pertama sudah selesai. Lalu yang kedua adalah Twin Tower Quest. Wolf-san, apa kau mengetahui soal menara itu?" kata Yumi memberikan tanda centang sebagai misi telah diselesaikan sekaligus.

"Ayolah Yumi. Aku butuh istirahat nih," keluh Hiro.

"Memangnya cuma kau saja yang butuh istirahat?" sahut Rina menyipitkan kedua matanya.

Percikan api yang dinyalakan oleh Allen. Menumpukkan puluhan kayu di tengah hutan. Hawa dingin menusuk kulit mereka. Berjatuhan dekat terbakarnya kayu. Satu persatu, mereka duduk bersila. Menikmati udara dingin di luar. Memancarkan sinar rembulan berjumlah dua bagian. Yang satu ada di sebelah kiri berukuran kecil. Sedangkan satu lagi berukuran sedang. Berdempetan satu sama lain.

Wolf menggeleng kepala. Begitu juga dengan Red Riding Hood dan Rapunzel. Keduanya mengangkat bahu. Helaan napas keluar dari mulut Yumi.

"Kami hanya diberitahukan untuk menyelamatkan kalian, para otherworlder. Setelah itu, kami bertiga diperintahkan untuk pergi keesokan harinya," ucap Red Riding Hood menambahkan.

"Kalau begitu, kalian lebih baik istirahat saja kemari. Tidak ada ruginya jika hanya butuh rehat sejenak bukan?" ujar Yumi menawarkan bantuan pada ketiganya.

Ketika orang bersamanya saling berdiskusi. Akhirnya, mereka bertiga sepakat dengan tawaran dari gadis berambut ponytail.

"Baiklah. Jika memang kalian semua tidak mempermasalahkannya."

"Ricchan, Allen-san, Hiro-san, Weidenmann-san dan Goldfarb-san, sebaiknya kita berkemah di sini. Langit sudah mulai malam. Tidak baik jika pergi terlalu malam," usul Yumi.

"Ok. Sejujurnya, aku mulai lelah dengan pertarungan barusan," tutur Rina menaruh [Book of Creator] ke dalam rune sihir berbentuk lingkaran ukuran kecil.

Marc dan Ronald saling mengangguk. Menerima usulan dari Yumi. Mengenai Fan, Marc akan menggendong. Tidak mungkin Ronald yang menggotongnya karena dia sibuk membawakan Flamethrower yang cukup berat. Sedangkan Marc membawa senjata rifle MKb 42(H). Menentengnya seperti membawa tas selempangan. Allen berharap setelah misi berakhir, pria berambut putih tua memutuskan untuk berlatih akrobatik.

Dari dalam istana lantai paling tinggi. Dua pria sedang mengawasi dari layar. Mengonsumsi daging sayuran yang sudah dipotong-potong oleh pelayan. Garpu dan pisau digenggamnya. Mengunyahnya sambil memperhatikan buku melayang. Wilhelm dan Jacob mengambil gelas berisikan air putih. Mengamati gerak-gerik mereka.

"Tidak buruk juga."

"Kurasa monster buatan kita telah berhasil membunuh kartu as yang berbahaya," kata Wilhelm kepada Jacob.

"Maksudmu Alexis?" kata Jacob.

"Tentu saja, kak! Ayolah kita sudah membahas hal ini bukan?"

"Aku tahu kok. Masalahnya, apa kau punya ide untuk menyingkirkan mereka? Karena durasi dalam penggunaan [Red Riding Hood & Wolf] mulai terbatas," sahut Jacob.

"Tunggu sebentar."

Wilhelm yang telah menghabiskan energi sihir memilih duduk dan menulis kembali ke buku berukuran kecil. Jacob yang mengamatinya hanya bisa tersenyum, melihat sinar rembulan yang mulai bersinar terang. Berharap rencana Wilhelm selanjutnya akan mengembalikan semangat dn motivasi para monster pasca dibunuh.

Hiro menghela napas panjang. Perjalanan yang mereka tempuh telah menguras banyak energi. Ditambah lagi, kematian Alexis telah membawa efek buruk bagi Fan. Gadis bermata merah itu tidak mengatakan sepatah kata pun.

Setelah membunuh para monster, Allen dan kedua prajurit New Germany mengambil sekop berukuran kecil. Dibantu oleh Hiro untuk menggali lebih dalam. Yumi dan Rina ditugaskan untuk mencari bunga di sekitarnya. Lalu mengikatnya hingga terbentuk salib. Menuliskan nama Alexis. Selama proses pemakaman berlangsung, Fan memegang erat kalung yang dia genggam. Menitikkan air mata, membasahi pipinya. Rina, Yumi, Marc, Ronald saling memandang. Mereka berniat ingin mengakhiri quest dan pulang dalam berduka. Tetapi, Fan hanya berkata, "Sebaiknya kita lanjutkan quest kedua. Aku tidak ingin pulang dalam keadaan setengah resolusi. Aku yakin … Alexis paham akan hal ini."

Semenjak itulah, tidak ada percakapan atau sesuatu hal yang ingin disampaikan peada Fan. Hiro dan kawan-kawan memutuskan untuk meembiarkan gadis bermata merah sendirian. Wolf, Red Riding Hood dan Rapunzel ikut menundukkan kepala. Marc dan Ronald mempersilakan untuk membiarkan Allen membacakan doa dalam pemakaman Alexis. Pria tua berambut putih meminjam [Book of Creator] milik Rina. Mencari isi bacaan yang bertuliskan doa untuk sesi upacara pemakaman.

"Kepada Dewa Agung yang menciptakan alam semesta. Engkau telah memanggil Alexis yang belum menorehkan kebaikan di mata Anda. Izinkan kami untuk mendoakan para arwah yang gugur. Dan menempatkan mereka ke dalam surga bersama-Mu!"

Semua orang saling bergantian menaruh bunga kamboja. Setangkai bunga ditaruh pemakaman ranting kayu. Menaruh memento pada salib tersebut, berupa kalung dari dedaunan. Tidak terlalu penting menurut mereka. Tetapi tidak dengan Fan.

"Kami harus segera pergi."

"Cepat sekali. Apa kau tidak berencana untuk berkemah di sini?" tanya Hiro.

Namun gelengan kepala dari Red Riding Hood hanya menggeleng kepala semata. Gadis itu tidak ingin merepotkan orang lain.

Ketika Red Riding Hood, Wolf dan Rapunzel berpamitan untuk pergi, gestur dan ucapan perpisahan mereka telah dilakukan, Hiro teringat kembali memori lamanya. Ingat betul saat pemuda berambut coklat menangis karena kepergian orang tua untuk selamanya. Dia ditemani oleh kakek dan kerabatnya. Ucapan, ekspresi dan gestur. Tidak salah lagi. Mirip dengan orang tuaku pergi untuk selamanya, kata Hiro dalam hati. Dia memutuskan untuk diam. Sebisanya untuk bicara apa adanya. Allen memperhatikan Hiro dengan raut wajah serius.

~o0o~

Para otherworlder telah selesai makan malam bersama-sama. Yumi memberikan Fan berupa sup ayam supaya tidak kelaparan di kemudian hari. Akan tetapi, gadis bermata merah menggeleng kepala. Duduk di pojokan sambil menitikkan air mata. Yumi berusaha menghiburnya. Sayangnya, tangan kiri Fan menepis telapak tangan gadis itu. Dia terkejut dengan responnya. Helaan napas keluar dari mulut Yumi. Menaruh mangkoknya dekat dengan Fan.

"Makan dulu ya, Fan-san."

Gadis berambut ponytail berbalik arah. Menemui para otherworlder yang sibuk menadahkan kedua tangan ke perapian. Situasinya benar-benar canggung. Termasuk Hiro yang baru pertama kali bertemu dengan dua prajurit New Germany. Lusuh dan dipenuhi banyak darah. Marc dan Ronald melepaskan pakaiannya. Mencuci hingga kainnya mengering. Hiro menggunakan elemen angin dan api. Menghasilkan pengeringan ekstra cepat. Marc mengerutkan kening.

"Kau—"

"Jangan berterima kasih kepadaku. Aku tidak ingin kau maupun Ronald masuk angin," gumam Hiro.

Ditambah perapian tidak dipadamkan. Sehingga tubuh mereka dalam keadaan hangat. Rina beranjak dari perapian. Memutuskan untuk tidur terlebih dahulu.

"Aku istirahat duluan ya. Selamat tidur," gumam Rina.

"Tunggu Ricchan!"

Kedua gadis itu tidak ingin jam istirahat mereka diganggu sebelum berjaga malam. Allen tidak mempermasalahkannya. Hiro menaruh pedang scimitar Grandark dekat dengan perapian. Berharap hawa kehangatan dapat menjaga kestabilitas kekuatan energi sihirnya.

Giliran pertama yaitu Allen dan Hiro berjaga. Situasinya menjadi canggung. Api unggun yang menyala, mulai mengecil. Allen mengambil tungku kayu, menaruhnya di antara abu kayu yang sudah terbakar. Percikan-percikan api mulai membesar. Begitu hangat dan menenangkan.

"Bagaimana perapiannya?"

"Itu sudah cukup, Pak Tua."

"Sudah kubilang jangan memanggilku pak tua," gerutu Allen.

"Gomen, Allen."

Percakapan mulai terhenti. Kembali sunyi tertiup angin kencang. Allen menggosok-gosok tubuhnya sendiri. Memastikan kondisinya tetap hangat dekat perapian. Begitu juga dengan Hiro. Mereka berdua mengecek status masing-masing.

Nama: Allen McCarthy

Umur: 63 tahun

Level: 8

Ras: Otherworlder

Job: Adventurer

Ability: [Dual Gun] Wind Elementalist] [Earth Elementalist] [Fire Elementalist] [Dark Elementalis] [Light Elementalist]

Skill: [Age Resistance]

Nama: Hiro Sakaki

Umur: 17 Tahun

Ras: Otherworlder

Level: 8

Job: Adventurer

Ability: [Sword Master] [Water Elementalist] [Wind Elementalist] [Earth Elementalist] [Fire Elementalist] [Dark Elementalis] [Light Elementalist]

Skill: [Flame Slash]

"Sistem macam apa ini? Kenapa hanya naik delapan digit sih?"

"Jangan tanya kepadaku. Aku kan bukan Dewa atau pemandu dunia ini," sahut Allen.

Helaan napas memancarkan kekecewaan dari wajah Hiro. Dia menenggak air putih, yang diambil dari sungai mengalir. Tiga gentong terbuat dari keramik, siap untuk dikonsumsi kapan saja. Tinggal mencari kuda yang ada di sekitar sini.

"Hiro, soal waktu itu. Perubahan bentuk pedangmu itu—"

"Pedang Scimitar yang kau maksud?" sahut Hiro.

Allen mengangguk pelan. Pedang itu memiliki nama yaitu Grandark. Sebuah pedang yang telah disarungkan. Dikeluarkan oleh Hiro. Sebuah pedang yang tidak diketahui. Menurut pemuda berambut coklat, sebuah keterangan bertuliskan bahwa pedang milik Hiro akan tiap harinya berganti jenis. Beserta mengikuti hari di dunia ini. Apabila sekarang hari sabtu, pedang tersebut akan aktif sendiri saat pagi harinya. Pedang tersebut akan mempresentasikan negara asalnya. Contohnya seperti bunga mawar. Berbentuk seperti anggar, tetapi ujung pedangnya menutupi pergelangan tangan. Itu adalah salah satu contoh tertulis dalam penggunaan pedang Grandark.

Hari ini bentuk pedang milik Hiro Scimitar. Di bagian ujungnya, terdapat enam batu sihir. Merah, biru, hijau, oranye, putih dan hitam. Ukuran batu hanya setengah sentimeter. Menyerupai Kristal layang-layang.

"Apa kau memahami perubahan pedang milikmu?" komentar Allen mengenai pedang Grandark Hiro.

"Sejujurnya tidak begitu pasti. Saat aku bertarung melawan monster berwujud kuda Pedang waktu melawan monster bertentakel bernama Tentakelpferd, pedang itu memancarkan sebuah sinar dan berubah jadi Scimitar. Tapi besok harinya bisa berubah lagi. Mungkin jenisnya Bastard Sword, Great Sword atau jenis pedang yang tidak kuketahui."

"Bastard Sword, katamu bilang?" teriak Allen.

Allen tersentak kaget. Lirikan kedua matanya tertuju pada pemuda berambut coklat. Kepala pria tua berambut putih tertunduk. Memikirkan sesuatu hingga Hiro menatapnya keheranan. Dia pun mendekati Allen, mendengarkan suara darinya bernada pelan. Bagi dia, tidak biasanya Allen terperanjat seperti ini.

"Allen, Ada apa denganmu? Apa kau baik-baik saja?" tanya Hiro kepada Allen yang dilanda panik.

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja," jawab Allen berusaha bersikap normal umumnya.

"Jangan bohong. Terlihat dari wajahmu itu tidak baik-baik saja. Kalau memang ada sesuatu yang ingin diceritakan, mendingan cerita saja," kata Hiro menatap Allen. "tapi kalau tidak, ya tidak masalah. Toh aku tidak mau memaksakan siapapun yang tidak mau cerita."

Pemuda itu nampaknya memiliki rasa ingin tahu tinggi. Bisa jadi, dia tahu akan peristiwa pada masa lalu Allen. Pria tua berambut putih menghela napas perlahan. Lirikan kedua bola mata tertuju kepada para otherworlder serta Fan. Berhubung mereka tertidur pulas, dia pun menyalakan perapian hingga keluar percikan-percikan mengambang di udara.

"Sebenarnya perkataanmu soal Bastard Sword mengingatkanku pada peristiwa itu."

"Peristiwa itu?" tanya Hiro.

"Empat tahun lalu, saat berada di Jepang. Waktu itu, aku dikontrak oleh salah satu klienku untuk melindungi orang itu. Karena banyak orang mengincar posisinya. Dia berharap banyak kepadaku, karena tidak ada satupun yang gagal dalam misi itu."

"Lalu? Apa yang terjadi?" tanya Hiro.

"Klienku … tewas dibunuh oleh para pembunuh. Bukan itu saja, mereka menyuruh para perampok itu menghabisi salah satu korban. Aku yang saat itu sedang berjaga, tidak berkutik saat seorang anak kecil nyaris terbunuh. Dan … yang melindunginya adalah orang yang harus kulindungi," jelas Allen memegang kening disertai mengacak-acak rambut ubannya.

Mendengar perkataan dari Allen, Hiro teringat saat dirinya berusia dua belas tahun. Saat itu, dia mendapatkan berita mengenai perampokan di Mizuho Bank Hino Branch, berlokasi di 1 Chome-3-1 Tamadaira, Hino, Tokyo 191-0062, Jepang. Lebih tepatnya Semula, Hiro tidak memperhatikannya. Akan tetapi, ketika pembawa acara berita mengumumkan nama-namanya, dia langsung panik. Bergegas menuju pintu keluar dan berlari ke bank. Kakek Hiro yang kebetulan selesai belanja, ditarik olehnya. Memohon kepadanya untuk ikut ke bank yang dituju. Beliau bergegas menuju lokasi kejadian perampokan. Namun sudah terlambat. Perkembangan terbaru terkini mengatakan, korban telah ditembak sejumlah tiga kali. Celakanya, lima orang telah tewas. Termasuk orang tua Hiro.

Saat itulah, kebahagiaan Hiro terenggut. Kedua tangan mengambil selimut tebal, mengonsumsi susu coklat panas. Dia menuangkan sendiri bubuk coklat pemberian Ronald sebelum tidur malam.

"Allen-san … aku tidak tahu apa yang terjadi dengan klienmu, tapi apa hubungan pedang milikku dengan seseorang menggunakan Bastard Sword?"

"Soal itu … senjata yang telah membunuh klienku bukanlah pistol maupun pisau. Tapi berupa Bastard Sword. Selama aku masih hidup, aku mencari tahu keberadaan orang itu bertahun-tahun lamanya. Dan bersumpah bahwa aku tidak akan istirahat sampai menemukan pedang itu!"

"Pada akhirnya, kau tidak berhasil menemukannya, kan?" cibir Hiro.

Allen tersenyum masam, tidak membantah perkataan sendiri. Semenjak kasus bergilir, para perampok dibawa ke kantor polisi. Menjalani hukuman seumur hidup. Hari ketiga dalam masa jeruji, seorang pria membawa Bastard Sword kabur dari penjara. Belum diketahui siapa yang membebaskannya. Akan tetapi, barang bukti berupa pedang itu telah dicuri. Belum sampai disitu, pertikaian politik antar anggota kongres dan Perdana Menteri mengalami tegang, sehingga mengalami kerugian pada sektor ekonomi. Ironisnya, klien yang terbunuh, merupakan orang yang terpilih menjadi Menteri Perekonomian dan mendapatkan catatan bersih dalam politik di Jepang. Akibatnya, pembunuhan terhadap calon kabinet di mana-mana.

Sampai saat ini, Allen memiliki penyesalan yang mendalam semasa hidupnya. Dia berharap bisa menyelesaikan pertarungan dengannya. Karena dia, reputasi Allen di Jepang hancur. Mengingatnya saja membuat pembuluh darah dalam tubuhnya mendidih.

"Tunggu sebentar. Aku ingin bertanya kepadamu. Tadi kau bilang perampokan, bukan?"

"Betul. Memangnya kenapa?"

"Apa kau tahu siapa nama yang kau lindungi?"

Allen membeberkan namanya. Mendengar perkataan dari laki-laki tua itu, mata Hiro terbelalak kaget. Dia menutup mulutnya. Tidak percaya dengan apa yang Hiro dengar.

"Tidak mungkin … ini pasti bohong. Aku tidak mempercayai ini," Hiro mundur pelan-pelan. Tubuhnya gemetar saking tidak percayanya.

"Memangnya ada yang salah?" tanya Allen mengenai kondisi Hiro.

"Takuma Sakaki dan Minori Sakaki … mereka adalah orang tuaku. Dan mereka telah tewas dalam insiden itu."