Anak panah meluncur ke target di depan halaman rumah. Angin yang berhembus menerbangkan daun kering di pohon. Hampir saja sapaannya mengenai gadis berkerudung itu. Anak panah sudah dilepaskan, dia menancap pada titik merahdi kotak hitam. Tembakannya tepat, akurasinya semakin tajam dari sebelumnya.
Cuaca pada malam hari begitu dingin, dengan azan dikumandangkan. Seorang gadis mengakhiri latihan memanah lebih awal. Menaruh busur dan anak panah dekat dengan pintu roll kaca. Wajah putih dengan hidung mancung, disertai kedua mata biru laut bersinar. Dari pantulan sinar rembulan, dia begitu cantik dan menawan apabila mengenakan jilbab. Pakaian yang dikenakan berupa baju tebal dengan lengan panjang abu-abu. Mengenakan sarung tangan khusus supaya tidak terkena lecet. Rok panjang warna hitam, serta sandal jepit dengan kaus kaki putih.
"Akhirnya selesai juga," gumamnya.
Hobi yang digemari Aisyah selama kurang lebih enam belas tahun. Dia merancang dan membuat sendiri alat-alat seperti busur maupun anak panah. Dia rela menahan diri untuk tidak membeli pakaian atau baju hijab yang ngetren, demi membeli bahan-bahan memanah. Kendati demikian, dengan hasil tabungannya yang mencukupi, dia mampu merakitnya dengan baik walau tidak sempurna.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar!"
Suara azan subuh berkumandang. Aisyah menaruh busur dan anak panah dekat halaman. Bergegas mencabut anak panah tersebut dan melakukan salat berjamaah di masjid. Sebelum pergi, Aisyah minum air putih dan mengambil air wudhu di kamar mandi. Semprotan air kran membasahi anggota tubuhnya. Dari berkumur, mengusap hidung, wajah, kedua tangan hingga lengan, rambut, telinga dan kedua telapak kakinya.
Kemudian, gumaman doa mulai dipanjatkan. Lalu berjalan menuju masjid terdekat. Ketika pintu sudah di depan mata, muncul orang tua Aisyah, Ratih dan Hartoyo. Pasangan suami istri yang mengadopsinya sejak bayi. Ketika dokter telah memvonis keluarganya mandul, mereka dititipkan oleh dua orang yang kemari. Namanya Goro Tsukishima dan Sakurachi.
"Mau ke masjid ya?" tanya Ratih.
"Kok bisa tahu, mah?" tanya Aisyah cengengesan.
"Soalnya Aisyah ingin mengaji di sana juga. Benar, kan?" tebak Ratih.
Dia mengangguk pelan. Aisyah melirik jam sudah menunjukkan pukul 04.12 WIB. Bersiap mengambil mukenah dan sajadah.
"Lalu busur dan anak panah tidak dimasukkan ke dalam?" tanya Ratih.
Aisyah menggeleng kepala. Baru beberapa menit berselang, muncul Hartoyo yang mengenakan baju koko warna putih, dengan motif batik. Kopyah warna hitam polos disertai sarung merah dengan motif kotak-kotak. Ditambah dengan semprotan parfum mengelilingi orang tuanya. Sehingga terasa wangi. Sedangkan Ratih sudah lengkap mengenakan mukenah putih. Tinggal Aisyah saja yang belum memasang mukenah.
"Mah, pah. kalian kalau pakai baju itu terlihat serasi deh. Serasa mirip seperti pengantin baru saja," ucapnya sekaligus menggoda mereka.
Mendengar perkataan dari Aisyah, wajah mereka memerah dan saling malu-malu mendengarnya. Kemudian, Hartoyo mengelus kepala Aisyah.
"Terima kasih atas pujiannya, nak."
"Ngomong-ngomong, Aisyah mau langsung ke masjid bareng sama papa dan mama?" tanya Ratih.
"Tentu saja, Pah. Kebetulan, Pak Ustadz Akbar mau ceramah shubuh di sana. Mama mau ikut?" tawar Aisyah.
Namun Ratih menggeleng kepala. Aisyah menghela napas kecewa. Terlihat beliau sedang kerepotan untuk menyiapkan sarapan bertiga. Pekerjaan Hartoyo saat ini sedang menekuni bidang ternak ikan lele. Aisyah tidak mengerti kenapa Ayah tirinya ingin membuat usaha demikian. Padahal profitnya tidak terlalu besar. Ditambah banyak pengeluaran yang cukup besar, sehingga sekeluarga mengurangi belanja keperluan rumah tangga. Selama dalam waktu satu tahun lebih, usahanya cukup berhasil. Sampai Aisyah terheran-heran.
"Oh ya, nanti siang Bi Ijah masak apa, ya?" tanya Aisyah lagi.
"Entahlah. Mama juga tidak tahu. Kan yang beli bahan makanan di pasar kan dia. Mama saja tidak diperbolehkan untuk masak sendiri."
"Walah. Kalau begitu, kita pasrah aja deh, mah. Tidak berharap apapun soal masakan Bi Ijah," nada Aisyah tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya.
Sebenarnya, Aisyah berharap Ibunya sendiri yang masak untuk mereka. Karena baginya, masakan beliau paling enak sedunia. Terutama nasi kare. Tetapi nasi sudah jadi bubur. Jika yang beli adalah Bi Ijah, siap-siap saja kantung kertas muntah berada di meja. Atau kantung plastik harus ada supaya makanan tidak berhamburan di mana-mana.
Akhirnya, Aisyah dan Hartoyo berangkat ke masjid. Menunaikan salat subuh secara berjamaah. Kemudian, dia bersama jamaah lainnya mendengarkan ceramah dari Ustadz Akbar. Dilanjutkan dengan lantunan doa dan dzikir bersama. Beliau menjelaskan mengenai berbuat baik terhadap sesama kaum muslimin. Serta juga berperang melawan kaum kafir yang mendominasi dunia. Tapi diselipi dengan humor khas beliau. Sehingga Jemaah tertawa bersama-sama. Aisyah mendengarkan dengan seksama. Ada sebuah penjelasan, di mana kaum muslim bisa memanfaatkan media sosial dengan bijak dan menyebarkan dakwah. Tanpa harus menyakiti orang lain.
Aisyah merasa, kerudung yang dikenakan tidak nyaman. Aisyah berdiri, membungkukkan badan disertai lengan kanan berada posisi miring. Aisyah selalu mengucapkan 'Permisi' berkali-kali, hingga dia sampai di toilet. Lalu dilepaskan peniti kain jilbab tersebut. Rambut Aisyah berurai panjang, merasa tidak nyaman karena terlalu gatal akibat bercampur keringat. Dia menggaruk-garuk sekaligus menutupi rambutnya dengan mukenah. Kurasa aku salah beli jilbab deh, gumam Aisyah dalam hati.
Tiba-tiba jam tangan menunjukkan pukul lima WIB. Melihat langit gelap yang sudah mulai terang. Aisyah bergegas ke rumahnya tanpa menyelesaikan ceramah dari Pak Ustadz Akbar.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam. Lho, Aisyah? Sudah pulang?" tanya Ratih memanggil dari dapur
Aisyah melepaskan sandal jepitnya. Ketika sampai di sana, terlihat seorang gadis berdiri di depannya. Ternyata Fanesya sedang menunggu kehadirannya. Kaki kanannya digoyang berkali-kali sampai suara lantai terdengar. Dia merupakan teman sebaya Aisyah sekaligus masa kecilnya. Rambut coklat ditutupi dengan dominan hitam. Berkulit putih seperti orang bule dan bermata sipit. Tidak lupa, dia mengenakan kacamata pemberian Aisyah.
"Kau ya?"
"Apanya kau? Entah kenapa mendengar perkataanmu barusan membuatku kesal."
Namun Fanesya tidak bisa melihat apapun walau mengenakan kacamata sekalipun. Dia merasa lensa yang dipakai tidak begitu jelas. Barulah sadar, bahwa ada gumpalan embun pada dua bagian lensa. Fanesya mengusapnya hingga menjadi jelas dan cemerlang. Lalu memakainya kembali.
"Seperti biasanya, kau tidak bisa melihat tanpa kacamata minusmu. Mungkin sebaiknya kupecahkan saja kacamatanya ya," goda Aisyah bernada nyengir.
"Barusan kau berkata 'memecahkan' bukan? Sekali lagi kaubilang begitu, action figure yang aku pinjam enaknya dihancurkan saja," balas Fanesya.
"Oi!" bentak Aisyah.
Aisyah lupa action figure mahou shoujo dipegang olehnya. Harusnya ditagih saja ketika selesai pelajaran menggambar, pikirnya dalam hati.
"B-b-Begitu ya? Aku tidak takut dengan ancaman palsumu, lho!" kata Aisyah berusaha menghilangkan ketakutannya.
"Jadi kau tidak mempercayaiku ya? Berarti akan kupecahkan sekarang juga ya!" goda Fanesya terkekeh.
"Hentikan!" jerit Aisyah dengan menunjukkan wajah takutnya.
Fanesya langsung berlari sambil menjulurkan lidah kepadanya. Aisyah berusaha menghentikan aksi sahabatnya. Pintu terbuka oleh Fanesya, ditutup kembali oleh Aisyah. Hingga keduanya telah sampai di dalam rumah Fanesya. Saking buru-burunya, Aisyah tidak mengucapkan salam sama sekali. Terlihat Ayah Fanesya sedang sibuk membaca koran. Suara lantai bergemuruh kencang, melihat Aisyah dan putrinya berlari menaiki tangga. Beliau melipat lipatan koran sambil berteriak, "Kalian berdua! Jangan lari-lari di tangga!"
Namun suaranya tidak kesampaian. Mereka berdua sudah pergi. Ibu Fanesya hanya menghela napas. Entah kenapa melihat tingkah mereka berdua masih tetap akur seperti biasanya.
Di lain pihak, Aisyah masih sibuk mengejar Fanesya yang sudah keburu masuk ke dalam kamar pribadinya. Dia telah sampai ke dalam kamar. Sekaligus mengunci pintu kamarnya. Gadis bermukenah telah sampai pintu kamarnya. Mencoba mendobrak sampai tiga kali.
"Keluar kau, Fanesya!" teriak Aisyah.
"Tidak mau, Dasar maniak otaku!"
"Sudah kubilang, aku bukan otaku!" bantah Aisyah.
Dengan terpaksa, Aisyah tidak memiliki pilihan kecuali menendang pintu kamarnya. Dia menarik napas dalam-dalam, menyentuh pintu kamar dan menendangnya sampai Pintu kamarnya hancur seketika. Teriakan horror Fanesya tidak terdengar dari lantai bawah. Fanesya menduga, Aisyah menggunakan sihir miliknya. Dia merasa saraf ototnya naik secepat kilat. Aisyah terkejut, Fanesya menggelitik pinggang Aisyah sampai dia tidak mampu menahan tertawa.
"Hentikan, sya! Geli tahu!"
"Ampun atau tidak?" goda Fanesya serta menggelitik pinggang Aisyah.
Namun Aisyah tidak mau menyerah. Dia membalasnya dengan kelitik pinggang Fanesya. Mereka terus melakukannya sampai tidak menyadari ada Ibu Fanesya di luar kamar. Beliau terlihat membawa wajan dan spatula. Lalu diayunkan secara bergantian. Suara pantulan spatula dan wajan membuat telinga mereka berdua berdengung kencang.
"Kalian ini, ya. Sudah jam berapa sekarang, huh? Waktunya sekolah! Jangan main-main!" bentak Ibu Fanesya.
"Baik!" ujar Aisyah dan Fanesya kompak bareng.
Keduanya saling menyalahkan satu sama lain sejak itulah. Walau demikian, tidak ada rasa dendam atau benci diantara keduanya. Ibu Fanesya tersenyum kecut, menikmati masa muda mereka kala itu. Dari kejauhan, Ratih sedang melakukan pemanasan sebelum jogging. Rutinitas tersebut beliau lakukan setelah mengarungi rumah tangga bersama suaminya, Hartoyo.
Ketika itu, Aisyah sudah mengetahui asal usulnya saat sebuah kunjungan pertama dari seorang pria bernama Gufron. Dia menjelaskan bahwa Aisyah diadopsi. Oleh sebab itulah gadis berjilbab itu dengan santai menerima kebenaran dari Gufron. Alasan orang tua tirinya tidak mau memberitahunya karena itu tanggung jawab dari Sakurachi dan Goro. Meski demikian, Ratih dan Hartoyo menjadi orang tua yang bijak dan dapat membimbing Aisyah ke jalan benar. Dan Aisyah bersyukur dengan hal kehadiran orang tuanya.
Sesampainya di rumah, Aisyah menjawab salam dan bergegas ke kamar mandi. Lalu mengenakan seragam sekolah dan cium tangan kedua orang tuanya. Dia menggunakan sihir angin, menutup pintunya cukup keras. Ratih menghela napas berat.
"Aku pergi dulu ya. Assalamualaikum!"
"Waalaikumussalam!"
"Dasar, Aisyah. Selalu menggunakan kekuatan sihir angin," keluh Ratih.
"Mau gimana lagi, Mah. Sejak lahir memang sudah memiliki kekuatan semacam itu. Asalkan dia bertanggung jawab soal kekuatannya, tidak masalah bukan?" tanya Hartoyo.
"Tapi mama tetap khawatir, Pah! Banyak lho kasus seperti pencurian, perampokan atau pembunuhan di mana-mana. Takutnya, kekuatan Aisyah digunakan untuk kejahatan. Apalagi …"
Mulut Ratih mengatup. Seolah-olah tahu situasi yang terjadi. Begitu juga dengan Hartoyo. Sebenarnya, dia ingin meminta kepada Gufron untuk menghilangkan kekuatan itu. Tetapi dia berkata, "jika kekuatan dia dihilangkan, eksistensi Aisyah sebagai manusia seutuhnya akan hilang. Dan dia akan dipaksa menjadi iblis. Oleh sebab itulah, kekuatan miliknya itu tidak boleh dihilangkan, karena itu bagian vital. Tepatnya di jantung dan paru-paru." Hanya itulah yang disampaikan oleh Gufron sebelum pergi.
"Tidak usah khawatir, Mah. Lebih baik kita perkataan Gufron dan ikut mengawasi Aisyah pakai alat ini," rogoh sebuah alat pemberian dari Gufron.
Alat tersebut berbentuk jam saku. Ada indicator meteran warna hijau, kuning sampai merah. Berfungsi mendeteksi apabila ada ketidakberesan sihir milik Aisyah. Ditambah suhu temperature, jantung dan lain-lain. Dan hanya diketahui oleh Ratih dan Hartoyo. Bisa dikatakan, alat itu cocok jika digunakan untuk menguntit. Namun, mereka tidak mau mengganggu privasinya.
Fanesya berdiri disertai tangan dilipat. Senyuman renyah, membuka pintu mobil belakang. Kening Aisyah merengut, mengekespresikan kecurigaan yang dilakukan Aisyah. Dia duduk di dalam mobil sambil mengunyah sarapan pagi. Di dalam tasnya, terdapat busur dan beberapa puluhan anak panah. Mesin mobil dinyalakan dan berangkat menuju ke sekolah. Aisyah membuka isi bekalnya untuk makan siang. Ternyata nasi sayur bening dengan dadar jagung. Lalu menutupnya dan mengaretkan di bagian tengah bekal miliknya.
"Fanesya, sebaiknya kembalikan action figure milikku segera," kata Aisyah memasang muka cemberut.
"Apa kau masih membahas soal itu?" helaan napas keluar dari mulut Fanesya.
Aisyah mengembungkan pipinya, mata melirik ke samping kanan. Enggan menatap wajah Fanesya. Sampai di perjalanan, dia masih kesal terhadapnya. Tetapi, Fanesya memiliki cara mengatasinya. Dia merogoh tasnya, lalu memberikan sebuah kado kepadanya.
"Ini buatmu," ucapnya singkat.
"Ini isinya apaan?"
"Sudah buka saja. Cerewet sekali!" keluh Fanesya.
"Kalau sampai kadonya adalah tengkorak, akan kuhajar kau," ucap Aisyah cemberut.
Aisyah membuka bingkisan kado di dalamnya. Ternyata berupa mainan action figure mahou shoujo dengan tokoh berbeda. Kedua mata Aisyah berbinar-binar. Dia tiba-tiba memeluk Fanesya erat. Ekspresi sahabatnya kebingungan. Entah apa yang merasuki dalam tubuh Aisyah, dia terlihat senang.
"Sebenarnya sih itu hadiah ulang tahun buatmu. Jadi kuberikan saja hadiah ini kepadamu," gumam Fanesya.
"Tidak apa-apa. Aku malah senang lho atas pemberianmu. Maaf ya aku ketus kepadamu," balas Aisyah.
"Tidak perlu kau pikirkan. Asalkan kau senang saja, itu lebih dari cukup kok."
Akhirnya mereka sampai di sekolah di Jakarta, setelah menunggu sejam karena macet di jalan. Fanesya menutup pintunya sambil berkata, "pak, nanti dijemput seperti biasanya ya."
"Ok, non!" supir mengiyakan dengan mengacungkan jempol ke Fanesya.
Mobil pribadinya langsung pergi menjauh. Fanesya dan Aisyah masuk ke pintu gerbang. Menyapa beberapa teman sekelasnya. Beberapa siswa masuk ke dalam dengan mengendarai kendaraan motor pribadi.
Gedung sekolah menjulang tinggi sampai tiga lantai. Taman mulai dipermak menjadi bagus indah. Beragam fasilitas semacam lapangan olahraga diberi pagar pembatas, gawang dan ring basket. Air mancur dan jam dinding terpasang di tengah air mancur dan gedung bagian atap sekolah. waktu sudah menunjukkan pukul 06.45 WIB. Taman begitu asri dan menyejukkan. Pohon beringin berdiri tegak, menari kesana kemari. Sebagian siswa sedang duduk bercengkrama. Bahkan ada juga menyapu dedaunan yang berjatuhan di koridor maupun lapangan olahraga. Untuk masuk ke dalam sana, harus mendapatkan izin dari guru bersangkutan atau guru olahraga. Izinnya itulah yang merepotkan bagi para siswa yang hendak pulang lebih awal.
"Aisyah!" teriaknya.
Aisyah dan Fanesya terkejut mendengar suara tidak asing. Beliau bernama Pak Tono. Berambut pendek, berkumis tebal serta berbadan buncit. Bagi sebagian besar siswa kelas sepuluh sampai kelas dua belas, tidak ada yang berani menentangnya karena beliau guru BK. Aura terpancar mirip seperti harimau, yang siap menerkam siapa saja yang melawan beliau. Namun tidak berlaku bagi Aisyah. Sedangkan Fanesya menarik napas panjang sebelum bertemu beliau.
"Pak Tono. Anda datang di waktu yang tepat. Bolehkah saya taruh busur dan anak panah di ruang BK? Nanti saya ambil pas pulang sekolah. Bagaimana Pak?" usul Aisyah tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
"Aisyah!" Fanesya menyikut lengan Aisyah.
Aisyah menolehnya. Dia melihat banyak siswa menatap tajam kepadanya. Sedangkan Fanesya menepuk jidatnya sendiri.
"Bapak ingin tahu, tujuanmu membawa ini untuk a—"
"Sampai jumpa, Pak Tono!" teriaknya.
"Tunggu!"
Fanesya menghela napas berat. Dia menyusul langkah kaki Aisyah menuju ruang kelas. Sedangkan para siswa dibuat kebingungan oleh tingkah laku Aisyah. Pak Tono yang memegang busuk dan anak panah terheran-heran.
"Aisyah, Aisyah. Untuk apa toh kau membawa busur panah ke sekolah? Sekolah kan tidak ada ekskul pemanah," gumamnya.
Di sisi lain, seorang gadis berambut pendek, mengenakan bando merah polkadot, berjalan ke ruang sekolah. Kalung salib emas di bagian leher mengkilau. Dielus-eluslah kalung miliknya. Pantulan sinar juga mengganggu sekitarnya. Menutupi kalung Salib dengan seragam sekolah merupakan pilihan tepat. Bibirnya dikasih lipgloss, tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Membosankan."